"Tolong, angkat aku menjadi muridmu, Tuan Lian!" Aku berlutut pada pertapa tua di depanku.
Aku membaca selebaran tentang Tuan Lian—guru magic legendaris dari Middleside, di tiang Kota Wateras. Penduduk di sana seringkali membicarakan kehebatannya. Aku pun berniat untuk mempelajari kekuatan magic (kemampuan mengendalikan sihir), agar bisa mengalahkan Kaisar Harvey.
"Jika bukan karena wajahmu yang tampan, aku tidak akan mau menjadi gurumu, Bocah ingusan!" Pria tua dengan rambut putih sepunggung itu berdiri, lalu menghujamkan sebuah pedang, yang memiliki simbol berwarna merah—pertanda diterimanya menjadi seorang murid, di hadapanku.
"Dih, guru yang aneh! Huh, di dunia ini seakan selalu mengedepankan fisik, dibandingkan hal lain!" ucapku menggerutu di dalam hati.
Penduduk Wateras bilang, masuk perguruan itu sangatlah susah, karena Tuan Lian hanya akan memilih orang-orang hebat. Namun ternyata, jauh lebih mudah dari yang kubayangkan. Aku bersyukur bisa diterima menjadi muridnya tanpa seleksi. Walaupun, lolos lewat jalur ketampanan.
Setahun berlalu. Aku telah mahir dalam mengendalikan teknik magic tingkat tinggi, meregenerasi luka, dan teleportasi. Kekuatan physicalku juga semakin bertambah kuat. Aku begitu bangga dengan kemajuan yang telah kucapai.
Suatu hari, Tuan Lian memintaku untuk menemuinya, sebelum fajar menyingsing. Nona Azura—asisten sekaligus tangan kanan Tuan Lian, mendampingiku ke kuil utama—tempat suci yang hanya boleh dimasuki, jika mendapatkan izin oleh pemiliknya.
"Aku yakin, ini adalah akhir dari perjuanganmu, Achilio," kata Tuan Lian, memulai percakapan.
Aku sontak terkejut, setelah mendengar ucapannya. "A apa? A akhir perjuanganku?"
"Ya, sudah saatnya 'kau melanjutkan perjalanan berat selanjutnya, Guardian. Di masa yang akan datang, pasti akan lebih banyak lika-liku. Semoga segala hal yang kamu lakukan, tidak melenceng dari aturan Aksa."
"Ba baik, Guru!" Aku sangat senang, karena sudah tiba saatnya untuk bebas. Ya, tidak ada lagi yang namanya latihan berkala, ataupun materi-materi lainnya.
"Ada satu hal lagi yang perlu kusampaikan padamu, Pangeran Achilio. Tulisan Ratu Felicia hampir seluruhnya menggunakan bahasa Darkness. Aku tidak bisa menerjemahkannya, karena isi surat itu hanya bisa dibaca oleh pure devil." Tuan Lian bangkit dari duduknya, lalu berjalan ke arahku—yang berdiri di depannya. "Tapi, aku tau di mana letak pecahan kedua berada," lanjutnya.
"Di mana pecahan itu, Sensei?" tanyaku dengan penuh semangat.
"Ada pada Nyonya Suzuya yang tinggal di gerbang pertama Amorgold. Bawalah ini padanya, katakan bahwa, aku memberinya salam," titahnya sembari memberikan sebuah gulungan pesan.
Aku terharu, dan spontan memeluknya erat. Tidak kusangka, guru yang pemarah itu ternyata adalah orang yang sangat baik.
*
Hati terasa berat untuk meninggalkan mereka, juga segala kenangan di sana. Namun, ketika Nona Azura memberitahukan bahwa, Middleside telah ditaklukkan oleh Kaisar Harvey, membuatku harus pergi melanjutkan perjalanan ke Amorgold—kerajaan yang terletak di sebelah kiri wilayah Middleside.
Hari ke-tiga berkelana, aku menemukan kediaman Nyonya Suzuya. Hal yang mudah, karena namanya tertulis pada sebuah bar di kaki Gunung Zu—dekat tugu perbatasan antara Middleside dan Amorgold.
Saat masuk, monster dari yang buruk rupa hingga yang biasa saja, memenuhi bar kecil itu. Bau wine begitu menyengat, aku menutup hidung untuk mengurangi sesak.
Bruk!
"Ma maaf, Nona. Aku tidak melihatmu tadi." Aku tidak sengaja menabrak wanita bergaun ungu, dan menjatuhkan gelas wine-nya ke lantai.
"Dasar tidak sopan!" Wanita itu tampak berkacak pinggang. Raut wajahnya berubah menjadi merah padam. "Karena kecerobohanmu, cipratan minuman itu mengenai gaun mahalku! Kamu harus ganti rugi!"
"Maaf, tapi aku benar-benar tidak sengaja, Nona. Selain itu, aku tidak memiliki uang untuk menebus kesalahanku." Aku berkata jujur sambil menundukkan kepala.
Kami terlibat perdebatan panjang, sampai akhirnya pesta terhenti, ketika jubahku terbuka. Aku melihat semua orang di sana, mengarahkan senjata ke arahku.
"Pangeran Sean, kamu ternyata masih hidup. Aku merasa sangat bahagia, karena dapat melihat wajah tampanmu lagi." Wanita bermata ungu di sampingku tiba-tiba memelukku. "Kukira kamu benar-benar mati di malam pengorbanan itu," sambungnya.
Tanganku melepaskan dekapannya dengan lembut. "Ma ... maaf. Tapi, aku bukan Sean. Anda mungkin salah orang, Nona."
Debuk!
Monster dengan lima tanduk di kepalanya, telah memukul keras dinding di sebelahku. Tubuhku gemetar. Jantung terasa berpacu sangat kencang. Ketakutan seakan menjalar ke seluruh tubuh. Aku benar-benar merasa seperti santapan makan siang, bagi mereka.
"Apakah 'kau adalah Pangeran Achilio yang menjadi buronan Darkiles? Jika iya, maka bersiaplah untuk mati!" Monster itu menempelkan ujung kapaknya, di bawah daguku. "Memanfaatkan wajah yang sama dengan Sean, tidak akan meloloskanmu dari maut, Achilio!"
Oh, sial! Aku mati langkah. Di saat aku telah pasrah dengan kematian, tiba-tiba asap hitam menutupi ruangan itu. Monster di depanku, seketika jatuh tak berdaya ke lantai. Samar-samar, aku melihat semuanya telah terbujur kaku, hanya dalam waktu yang singkat.
Aku hampir tak percaya dengan apa yang kulihat. Bagaimana bisa Ratu Alea hidup kembali? Kenapa dia menolongku?
Ratu dari Middleside itu telah menyelamatkan, dan membawaku ke tepi sungai—seberang bar. Saat aku menoleh, bar itu telah meledak hingga hancur takbersisa. Asap tebal mengepul di bawah Gunung Zu, seakan-akan ia baru meletus.
"Terima kasih, My Lord. Berkat pertolonganmu, aku bisa bebas dari kendali Luna, yang selalu mengambil alih tubuhku di luar kesadaran," ucap Ratu Alea seraya mengambil sesuatu dari dalam air.
"Apakah Zay bersamamu, Nona?" Aku menatapnya penuh harap. Namun, dia hanya menjawabnya dengan sebuah gelengan. Entahlah, wajahnya terlihat kebingungan dengan pertanyaanku. Apakah dia benar-benar tidak mengingat peristiwa, di malam tragis itu?
Aku mencoba untuk menahan genangan air mata agar tidak jatuh. Saat itu, mataku mungkin memerah. Sungguh, aku hanya ingin temanku itu kembali. Setelah menghela napas panjang, aku kembali bertanya, "Bagaimana kamu bisa mengetahui keberadaanku, Nona?"
"Entahlah, aku hanya mengikuti naluri, hingga menghantarkanku padamu. Anda pasti sedang mencari Nyonya Suzuya, kan?" Dia mengembangkan seulas senyum yang sepertinya tulus.
Aku mengernyit, lalu memandang wanita seputih salju itu, dengan keterkejutan di wajahku. "Dari mana kamu bisa tau? Kamu bisa baca pikiranku, ya?"
"Karena Nyonya Suzuya memberontak dalam pemerintahan Kaisar Harvey, dia telah dihukum mati dua hari yang lalu. Sebelum kematiannya, burung scocbill miliknya memberikan pesan padaku. Berdasarkan isi surat itu, dia memintaku untuk memberikanmu ini." Ratu Alea meletakkan sebuah pecahan kristal phoenix, di telapak tanganku.
Tanpa pikir panjang, aku langsung menyimpan kristal itu di dalam tas, yang telah tersegel kekuatan suci. "Aku akan memberikan nyawa Kaisar Harvey, sebagai tanda balas budi pada Nyonya Suzuya. Sebelumnya, terima kasih atas bantuanmu tadi, Ratu Alea."
"Aku juga ingin membalaskan dendam atas kematian Nyonya Suzuya. Tolong, ajak aku bersamamu, Pangeran!" Ratu Alea menekuk punggungnya, dengan posisi tangan ke bawah. Aku melihat air matanya mengalir deras, membasahi tanah.
"Berdirilah! Wanita tidak boleh berlutut pada lelaki. Justru, kalianlah yang harusnya dihormati. Lagi pula, aku tidak akan menolak permintaanmu, Nona." Aku menggenggam erat jemarinya, lalu mengajaknya pergi dari sana.
Aku tidak bisa mengambil keputusan dengan tepat, saat itu. Entahlah, dua sisi yang saling bertolak belakang, membuatku ragu. Di satu sisi, aku tidak bisa mengambil resiko buruk, apabila meninggalkan seorang wanita sendirian di hutan. Sisi lainnya seakan berkata, "Di masa lalu, dia membunuh temanmu, dan hampir mencelakakan nyawamu. Seharusnya, tidak ada kata maaf lagi untuk orang jahat sepertinya."