Chereads / Hurt Married / Chapter 6 - Hari H

Chapter 6 - Hari H

Udara pagi ini memang terasa sedikit dingin. Kaca-kaca di kamar bahkan tanpa sadar ikut berembun karena pagi ini memang terasa dingin bahkan terasa menusuk di kulit. Tak sampai di sana, air yang diletakkan di teko yang berada di atas nakas juga terasa dingin padahal pendingin ruangan tidak dinyalakan saat tidur.

Udara segar yang berhembus dari fentilasi tentu semakin membuat kasur terasa dingin bahkan tanpa sadar tubuh itu berguling berganti posisi guna mencari tempat yang dingin.

Dering alarm nampaknya tidak cukup untuk membangunkannya sama sekali. Musik yang digunakan sudah dibuat sekencang mungkin tapi apa daya jika terlalu pulas tidur maka tidak mendengar apapun bahkan teringat bangun saja sepertinya tidak.

Bunyi ketukan pintu yang sedikit kasar itu membuat diri yang terlelap mulai nampak tak nyaman tetapi kedua mata itu masih saja terpejam nampak enggan untuk terbuka.

Dia, yang berada di depan pintu kamar tertutup itu sudah tak sabar. Membuka pintu dengan kasar adalah jalan lain untuk membangunkan kakaknya yang terlelap seperti orang pingsan. Khansa masuk dengan buru-buru, tangannya mengambil bagian ujung selimut.

"Dalam hitungan ketika akan Khansa tutup wajahnya dengan selimut," ucap Khansa pelan.

Tangan itu menunjukkan hitungan jari sampai di angka ketiga baru ditariknya selimut yang menutupi tubuh Mahira. Tak segan Khansa langsung menutup wajah Mahira dengan selimut.

Berbanding terbalik dengan Khansa yang cengengesan karena berhasil membekap wajah Mahira dengan selimut, Mahira justru terkejut dan langsung berteriak. Khansa merasa khawatir takut membuat kakaknya itu mati seketika karena kehabisan napas.

"Kak Hira makanya bangun, dari tadi udah Khansa bangunin masih aja tidur," ujar Khansa sambil merapikan kembali selimut Mahira.

Mahira tanpa sadar berdecak kesal melihat Khansa yang mengganggu waktu tidurnya. Ia baru saja tidur selama enam jam, lagian dirinya juga tidak pergi ke kantor pagi ini karena harus mendatangi acara Star Group itu.

"Kakak udah bilang ke Ibu buat bangun jam 10. Kamu lihat sekarang jam berapa di tembok, sana keluar aja," ucap Mahira sambil melempar bantal ke Khansa menyuruhnya untuk keluar.

Khansa diam saja dan balas melempar bantal itu sebelum pergi meninggalkan Mahira di kamarnya sendirian. Mahira masih terbangun dan melihat ke arah handphone miliknya yang menyala karena alarm berbunyi.

"Ini juga berisik terus dari tadi," ucapnya kesal sambil mematikan handphonenya.

Mahira bukannya bangun tetapi memilih untuk kembali melanjutkan tidurnya. Bergelung kembali dengan selimut miliknya. Tak ada sepuluh menit Mahira mencoba untuk tidur nyatanya kedua matanya sudah tidak mau terlelap, ia mengalahkan Khansa yang membangunkannya dengan paksa.

Kedua kakinya langsung menyentuh lantai yang dingin lalu beranjak dari kamarnya. Mahira bahkan belum mencuci wajahnya sama sekali dan pergi begitu saja menuju meja makan.

"Ibu, mau Mahira bantu?" tanyanya pada sang Ibu yang berada di dapur.

Maya, Ibunya itu diam saja dan meliriknya. Anak gadisnya memang berbeda sekali. Padahal umur Mahira sudah terbilang dewasa tetapi sikapnya masih seperti anak-anak.

"Cuci muka dulu sana, Ibu udah selesai masak baru kamu turun. Khansa juga udah bangunin kamu kan tadi tapi kamu gak mau bangun juga," ucap Maya, Ibunya.

Mahira memasang wajah sinisnya yang ditujukan pada Khansa yang berada di belakang ibunya itu. Benar-benar pintar sekali membuatnya terkena wejangan di pagi hari.

"Tanya dulu sama Khansa Bu, dia bangunin aku caranya gimana gitu. Aku di bekep pakai selimut tau," ucap Mahira.

Belum juga Mahira membuka mulutnya kembali, omongan Ayahnya langsung membuatnya terdiam.

"Inget umur kalau ribut sama adik kamu," ucap Bastian.

Mahira cuma bisa melipat bibirnya saja sambil menatap Khansa dengan pandangan yang penuh kesalahan dirinya. Khansa malah semakin senang saat melihat Mahira di nasihati oleh orang tua mereka.

"Kamu berangkat jam berapa? Kenapa belum disiapin apa aja yang mau dibawa atau siapin yang kamu pakai nanti dressnya," tanya Bastian padanya.

Mahira memilih untuk menghadap ke arah Ayahnya agar bisa lebih leluasa memandang ayahnya itu.

"Nanti jam 10 aku sudah siap-siap kok, Ayah gak berangkat kerja?" tanya Mahira kembali.

Bastian menggeleng saja karena dia memang tidak memiliki jadwal hari ini jadi dirinya akan mengantar Mahira untuk pergi ke acara Star Group.

"Nanti ayah yang nganter kamu ke sana, jangan lama siap-siapnya ya."

Keadaan ini berbanding terbalik dengan suasana keluarga Aldo lantaran semua orang sedang sibuk mondar-mandir dari tadi. Naka memperhatikannya saja dari lantai atas Ibunya yang mondar-mandir memanggil semua anggota keluarganya untuk berkumpul dan memberikan baju mereka yang sudah disiapkan.

Melihatnya membuat Naka sedikit tertawa karena di matanya Ibunya sangat lucu sekali bahkan tidak mau diam dari tadi terus berbicara.

"Ibu, tenang aja masih lama waktunya." Naka berucap sambil menuruni setiap anak tangga.

Bagaimana bisa Laras merasa senang jika anggota keluarga besarnya tidak ada yang mau bergerak sama sekali untuk membantunya menyiapkan segala keperluan untuk acara nanti.

"Aturan ibu matiin listrik pasti semua langsung kumpul di ruang keluarga karena kepanasan," ucap Naka sambil tertawa terbahak-bahak.

Guyonannya bahkan tidak masuk sama sekali dengan selera humor milik Ibunya. Naka bahkan tidak sadar kalau suara tawanya begitu kencang.

"Bisa banget kamu ketawa, kamu lihat ini baju punya kamu sendiri aja belum diambil."

Ucapan itu nyatanya berhasil membungkam mulut Naka dan membuatnya diam dengan langsung mengambil jas miliknya.

"Bawa ke kamar terus kamu turun ke sini lagi, kita sarapan bareng-bareng," perintah Laras pada Naka.

Naka langsung berbalik ke kamarnya untuk menggantung jas miliknya di lemari. Belum juga jas miliknya masuk ke dalam lemari, bunyi dering handphonenya berhasil membuatnya menghentikan kegiatannya.

Melihat layar handphonenya yang menyala dan menampilkan nama Sannaia di sana membuat Naka langsung mengangkat panggilan itu.

"Halo Naka," ucap Sannaia di seberang telepon.

Bagaikan bunga yang mekar tentu saja begitu juga kondisi bibir Naka yang langsung tersenyum merekah. Ia bahkan tidak bisa tak langsung tersenyum kala mendengar suara wanita pujaan hatinya.

"Halo juga sayang, ada apa nelpon pagi-pagi?"

Arah pandang Naka terus mengarah pada pintu kamarnya, takut kalau Ibunya akan masuk tiba-tiba.

"Aku kangen sama kamu, kamu gak mau main lagi ke rumah?"

Pertanyaan ini tidak bisa Naka jawab untuk saat ini, ia bisa menebak jika acara kantor akan berakhir malam hari dan sulit untuknya pergi ke sana.

"Kalau besok gimana? Aku ada urusan hari ini sampai malam. Kamu bisa kan nunggu aku besok?"

Kalau bukan acara kantor sudah pasti Naka akan memilih untuk pergi ke rumah kekasihnya itu dari pada berlama-lama berbincang dengan kolega ayahnya.