Anka membuka matanya dan menatap sisi sebelahnya yang sudah kosong. Tidak ada Amora tapi perempuan itu meninggalkan jejaknya. Sobekan baju Amora yang memperlihatkan keganasan Anka semalam. Anka mengusap kepalanya. Dia tidak bisa membayangkan bahwa dia akan seganas itu semalam.
Apakah karena Anka selama ini terlalu lama menahan dirinya sendiri? Entahlah! Rasanya Anka tidak pernah berusaha benar-benar menahan. Dia hanya tidak tertarik. Dia dengan Amora malah kebalikannya. Anka begitu menginginkannya sampai dia tidak bisa menahan apapun. Senyum Anka terbit lagi ketika dia menyadari kemejanya yang dibawa lari oleh Amora. Ia geleng-geleng kepala. Pasti karena Amora tidak sempat waktu menuntut baju ganti.
Anka beranjak dari duduknya. Saat ia menyingkap selimut, dia terkejut mendapati noda darah disana. Pria itu menggigit bibirnya. Sepertinya Momnya akan membunuhnya jika tahu fakta ini. Sejenak dia bimbang, akankah dia mengaku pada orang yang sudah melahirkannya itu atau tidak.
Anka berdecak kecil. Dia ada kelas mengajar hari ini. Ia tidak menunda waktu lagi untuk memasuki kamar mandi dan membersihkan dirinya. saat akan pergi berangkat, barulah ia menyadari kunci mobilnya yang lenyap. Anka tertawa tipis. Apakah boleh menyebut Amora sebagai pencuri?
Begitu sampai taksi online, mamanya menghubunginya. Anka sempat menimbang dulu selama beberapa saat sebelum memutuskan mengangkatnya. "Anka, Mom melihat skandal kau semalam yang berseliweran di media sosial."
Anka memainkan lidahnya pada pipi bagian dalam dia sudah menduga mamanya akan berbicara seperti itu. "Lalu? apa yang ingin mama tahu? Apakah Anka harus berlutut dihadapan mama? Bisakah Anka menundanya sampai nanti malam? Anka harus mengajar hari ini."
Terdengar sebuah dengusan tipis dari seberang telepon sana. "Kalau tiba-tiba ingin berlutut kamu melakukan kesalahan hm? Apa wanita itu seorang gadis?" geram mamanya.
Anka tidak menjawab. Menyadari keterdiaman anaknya dia mengerang frustasi. Bingung harus berkata seperti apa pada Anka. "Bagaimana bisa kau menemukan perempuan itu sekarang hm? Oh, Anka, mama tidak suka dengan hubungan satu malam seperti itu."
"Tidak akan aku buat seperti satu malam, Mom. Akan aku usahakan," ujar Anka.
"Bagaimana caranya? Apa kamu sudah mengenal dia sebelumnya?"
Anka mengusap rambutnya kebelakang. "Dia … calon menantu mama mungkin."
"Anka?" sekali lagi isteri dari Adam Claiment itu mematung. Memastikan dia tidak salah pendengaran sama sekali. Puteranya mengatakan perihal calon menantu untuk kali pertama di hidupnya.
"Dia temannya Bella. Tapi jangan desak Anka membawa dia kehadapan mama sesegera mungkin."
Terdengar sebuah decakan lagi. "Bagaimana tidak jika pemberitaan sudah heboh seperti itu?"
"Bisakah mama meredam dulu? Katakan saja kamu berpacaran."
"oh .. jadi kalian benar-benar berpacaran hm."
Anka tidak menjawab. Dia diam. Akan lebih baik jika pemberitaan seperti itu karena dia bisa mengikat Amora secara tidak langsung jika perempuan itu menolaknya nanti. "Ngomong-ngomong kamu tidak di kelas sekarang? Tumben sekali waktu mengajar kamu mau mengangkat telepon."
"Anka masih di taksi online. Masih diperjalanan."
"Taksi online? Memangnya kendaraan kamu kemana?"
Anka memainkan bibirnya lagi. "Entahlah. Kunci mobil Anka hilang." Pria itu berkata dengan santainya.
"Dan mama tahu kamu tidak hanya punya satu mobil. Motorpun kamu punya dua Anka. Mama yakin kamu belum menjual satupun."
Anka berdecak kecil. "Anka tutup dulu, Ma. Miss you!" ujarnya menghindari interogasi yang panjang dari mamanya. Anka mengakhiri kelas dengan cepat. Untuk kelas siang, dia mengirim asistennya untuk mengajar, menggantikan tugasnya.
Setelahnya Anka berhenti di butik itu benar saja mobilnya terparkir disana. Anka menarik bibirnya. Tanpa alasan yang tidak begitu jelas dia tersenyum.
Sementara itu di ruangannya, Amora ketar ketir melihat kedatangan Anka, dia berniat bersembunyi di bawah meja tapi staffnya masuk ruangan secara tiba-tiba sebelum Amora bisa melakukan niatnya. "Ada yang mencari Mbak."
"Bilang aja aku lagi sibuk enggak bisa diganggu. suruh tamunya pergi!" ujar Amora.
"Sayangnya aku udah disini," ujar Anka dengan senyuman yang paling menyebalkannya yang pernah Amora lihat.
Amora meneguk salivanya. "Ini kunci mobilnya. Saya minta maaf sudah membawanya lari. Untuk baju Anda akan saya kirimkan lagi ke alamat Anda setelah kering." Amora buru-buru memberikan kunci mobil Anka. "Mohon jangan laporkan sebagai tindakan pencurian," ujar Amora.
"Kalau sebagai tindakan pelecehan?" balas Anka menaikkan alisnya.
Amora membelalakkan matanya. "Sejujurnya tidak bisa dikatakan seperti itu, karena Anda lebih banyak menyerang saya. Bahkan tampak lebih menikmatinya." Amora segera membela dirinya sementara Anka meledakkan tawanya mendengar penuturan Amora.
"Aku sempat khawatir bahwa kamu akan melupakan kenangan kita itu. Mengingat betapa mabuknya kamu semalam. Aku senang, kamu masih mengingatnya dengan jelas."
Amora berdehem. Wajahnya memerah. "Saya akan membersihkan nama Anda dari pemberitaan dan mengatakan yang semalam hanya kesalahpahaman."
Anka menarik nafasnya. "Tidakkah kamu seharusnya mempersilakan tamu untuk duduk terlebih dahulu. Banyak yang kita bicarakan. Kenapa kamu bertindak malu-malu padahal semalam kamu begitu berani." Anka tersenyum tipis.
Amora melototkan matanya lagi dengan wajahnya yang makin memerah bak kepiting rebus. Dia meminta staffnya untuk keluar, meninggalkan dia dan Anka yang melakukan pembicaraan pribadi. Amora membuka lemari pendingin lantas memberikan Anka sebotol kemasan rasa cappuccino.
"Hanya ini yang ada," ujar Amora sebelum Anka protes.
Anka melirik Amora selama beberapa detik. "Saya tidak akan memakan kamu Amora walaupun aku memang suka menggigit."
"Bisakah Anda sedikit lebih sopan? Itu bisa masuk ke dalam pelecehan verbal."
Anka menarik nafasnya. "Baiklah. Aku minta maaf," ujarnya. "Apa kamu baik-baik saja?" wajah Anka berubah serius.
"Ehm?" tanya Amora mengerutkan keningnya.
"Aku ingat saat kamu mencakarku sangat keras semalam." Anka memperlihatkan tangannya yang terdapat bekas kuku Amora disana. "Pasti sangat sakitkan. Apalagi untuk seseorang yang pertama kali. Maaf, aku juga enggak punya pengalaman sebelumnya. Aku enggak tahu cara bersikap lembut. Aku baru menyadari setelah bercermin dan melihat jejak yang tinggal."
Wajah Amora makin memerah. Ia merutuki dirinya sendiri. "Aku udah kasih salep. Udah enggak terlalu sakit."
Anka melirik Amora sekali lagi memastikan. Amora berdehem. "Tapi enggak akan kedua kalinya kalau kamu pengen." Amora memalingkan wajahnya.
Anka tersenyum mendengar perkataan Amora. "Ah, kamu kejam ternyata. Kamu membut aku ketagihan tapi setelah itu kamu menolakku. Padahal sebelum ini aku tidak pernah tahu rasanya seperti itu. Bagaimana bisa berakhir seperti ini?"
Amora mengerjap-ngerjap matanya beberapa kali. "Apa maksud Anda?" tanyanya dengan kening yang berkerut.
"Aku mencintai kamu Amora. Aku mencintai kamu tapi aku menahannya sebaik mungkin untuk mencoba di jalur yang benar. Lalu kamu tiba-tiba melakukan itu padaku semalam. Aku paham kamu mabuk, tapi … tidakkah kejam ketika kamu tidak memberikan kesempatan keesokan harinya. Sekian tahun aku tidak pernah tertarik pada perempuan tapi kamu satu-satunya. Kamu enggak bisa langsung nutup pintu gini aja dong. Minta pertanggung jawaban ke aku kek, bahas hubungan kita ke depannya kek, apa gitu."