Jari-jari Alexander bergerak menyisir rambutnya buat yang terakhir kali. Kaus polos dipadukan dengan jeans hitam, menjadi sandang yang Alexander pilih buat datang ke pesta. Hanya perlu menambahkan jaket menggunakan warna senada, maka akan jadi kumpulan tepat.
Sebelum meninggalkan rumah, Alexander pergi ke dapur terlebih dahulu untuk berpamitan pada Emma. Rupanya Emma tak sendiri, Nicholla sedang duduk pada sisi counter sambil menikati dua buah donat. ketika Alexander datang, mereka yang semulanya menghadap ke versus arah pribadi menoleh tanpa diminta. sepertinya bunyi asal sepatu Alexander terlalu keras.
"Ck! Gayamu tidak berubah," decak Nicholla.
"Maksudmu aku harus mirip apa? Memakai tuksedo? Ini pesta rumahan, bukan kerajaan." Senyum sinis tercetak di bibir Alexander karena mampu menghasilkan Nicholla bungkam. "Membisu lebih baik."
"Sensitif sekali. mirip anak bayi saja."
"Dia memang masih bayi, Nicholla," Emma menambahkan. "Alex tidak ikut makan malam?"
Alexander menggeleng mungil. "Allard telah menunggu buat dijemput."
"Jika nanti di saat kembali harus menyetir, jangan banyak minum atau lebih baik tidak minum sama sekali. Austin mengatakan akan mengajakmu menginap, mungkin setelah tiba di daerah itu, Austin tidak mampu jadi solusi. Jadi jangan sampai mabuk berat."
pada kenyataannya Alexander bukan pria polos yang tidak pernah minum alkohol atau semacamnya. Ia bahkan pernah minum hingga mabuk dan bukan hanya sekali. ada beberapa alasan serta kejadian kurang bagus yang membuat Alexander wajib meminum cairan pekat yang membakar tenggorokannya. akan tetapi malam ini beliau memutuskan buat tidak minum apa pun kecuali soda atau air mineral.
"Mom, aku bahkan tidak berpikir untuk mengeguk alkohol apalagi sampai mabuk. setelah puas berjalan-jalan di sana, aku akan langsung kembali. Allard akan ikut dengan Austin."
"Baiklah kalau begitu, hati-hati ketika menyetir."
Jarak antara tempat tinggal Alexander dan Allard tak terlalu jauh. Usai bertemu dengan Allard, Alexander melajukan pulang mobilnya menuju lokasi yang telah dikirim oleh Austin. Butuh waktu satu jam lebih bagi mereka buat tiba di sana. Ini akhir pekan, wajar bila jalanan sedang ramai.
Entah apa yang dipikirkan oleh teman Austin itu hingga-sampai rela memakai vilanya buat berpesta. mobil-kendaraan beroda empat terparkir rapi. Bagian depan vila dihias memakai lampu-lampu mungil berwarna mencolok. suara musiknya bahkan terdengar sampai luar walau tidak terlalu keras. Saat sampai di dalam sana, suasananya bahkan sudah sangat ramai.
"Akhirnya kalian tiba. Terlali lama," cibir Austin sambil merangkul ke 2 temannya secara bersamaan.
"Alex," panggilnya. "Ini dua sahabat yang kumaksud sebelumnya. Alex serta Allard."
"Senang mengetahui kalian tiba. Namaku Alex. semoga kalian suka pestanya. sampai bertemu nanti, saya harus menyapa yang lain."
"Sebelum masuk, berikan ponsel kalian. Allard, jangan minum hiperbola, kau wajib menyetir nanti. Austin, kau jua sebaiknya berjaga-jaga. Minum saja yang banyak Bila telah di apartemen. Bahaya menyetir dalam keadaan mabuk."
Ada hal penting yang harus Alexander lakukan pada ponsel ke dua temannya. Demi berjaga-jaga, beliau sengaja memasang perangkat lunak spesifik yang bisa lokasi eksistensi Allard serta Austin asal ponselnya. Alexander melakukan ini buat memantau mereka tidak pergi ke daerah yang galat sebab mabuk.
"Jangan dimatikan," pintanya ketika menyerahkan ponsel kembali di pemiliknya.
"Perintah dimengerti, Capt," kekeh Austin.
Seperti dugaan Alexander, suasana di dalam benar-benar ramai. Setiap ruangan yang ada dibuat remang-remang, didominasi sang cahaya biru. aneka macam dekorasi ditata dengan menarik di dinding serta langit-langit. Musik, minuman, makanan ringan, hingga meja billiards, rasanya mirip suasana pesta pada Amerika yang tak jarang Alexander lihat pada film.
Setelah mengambil kaleng soda, Alexander menentukan buat berpisah menggunakan Allard serta Austin. dia pulang menuju laman samping buat mencari kawasan yang tidak terlalu sesak. Beruntung Alexander tidak merasa asing di sini. ia mengenal beberapa undangan yang hadir. Itu mungkin karena sebagian berasal mereka belajar pada universitas yang sama dengan Alexander, bahkan ia sempat mendapati sahabat high schoolnya.
"Saya pikir kau tidak datang karena mobilmu tidak terlihat. namun waktu memahami Allard terdapat di sini, aku konfiden kau pula datang."
Alexander berusaha santai ketika memahami ia bicara dengan siapa. "Pernyataanmu seolah pertanda jika kau hafal nomor mobilku."
"Memang begitu. Kau senang dengan bunga yang kukirim?"
Leanore Fiorelli. Gadis ini mantan kekasih pertama Alexander. Rambutnya pirang, namun bagian bawahnya diberi sedikit sentuhan warna biru kehijauan. Leanore terlihat begitu nyaman menggunakan baju yang memberikan pundak serta sedikit bagian perutnya. Dipasangkan dengan rok dengan tinggi paha, menghasilkan orang-orang meliriknya tanpa perlu berpikir. Alexander tidak menolak keterangan Jika Leanore memang mengesankan.
"Sudah kukatakan padamu Jika aku menyukainya."
"Biar kutebak, kau pasti sedang mencari daerah yang tak terlalu ramai."
"Kau tahu diriku. Punya saran?"
Leanore tidak menjawab, namun mengangkat sebuah kunci menggunakan tangan kanannya. Alexander kentara memahami itu kunci kamar mengingat ini adalah vila. Bukan hal yang aneh bila kamar-kamar yang tersedia mampu dipergunakan begitu saja. buat apa lagi selain bersenang-senang semalaman?
"Leanore, kenapa kau membawa kuncinya?"
"Sengaja sebab aku tahu kau tidak membutuhkannya. Sebelum semua kamar terisi, lebih baik jika aku mengamankannya terlebih dahulu. Kita hanya bicara Alex, kecuali kau ingin melakukan yang lain."
"Jika sesuatu yang lain adalah bermain monopoli, maka saya akan ikut."
Alexander tidak menolak waktu Leanore mulai menarik tangannya. ia yakin orang-orang yang tahu hubungan masa lalunya dengan Leanore, berpikir bila mereka kembali dekat. Hal itu dibuktikan beberapa pasang mata yang tidak henti menatap ke arahnya.
"Jadi pesta ini yang membuat kalian pulang dekat?" Austin menatap Alexander menggunakan matanya yang menyipit. Beruntung Leanore tidak pada sini. Gadis itu sedang pergi mengambil sesuatu di dapur. "Lucu sekali."
Mengabaikan ucapan Austin, Alexander mencoba mengalihkan topik pembicaraan. "Darimana saja Allard?"
"Mirip biasa, merayu gadis asing."
"Saya mungkin akan kembali satu hingga dua jam selesai ini."
"Itu terlalu cepat, Alex. Ya, tetapi terserah kau saja. Kuharap kau tidak berakhir di ranjang dengan Leanore nanti. Dia terlihat indah."
Alexander duduk di atas ranjang menggunakan kedua lengan menjadi tumpuan. Leanore membawakan satu cup es krim ukuran akbar menggunakan 2 botol air mineral. dari hubungan yang pernah terjalin, tentu saja membentuk Leanore paham ihwal apa yang disukai serta tidak disukai oleh Alexander. Es krim menjadi keliru satu hal yang Alexander sukai. Beruntung tempat ini menyediakan es krim di lemari pendingin menggunakan banyak sekali macam rasa.
"Beberapa hari kemudian saya bertemu dengan Nicholla. ketika bertanya kabarmu, dia mengatakan kau sebagai pengangguran."
"Dia tidak berbohong. Saya memang ingin istirahat untuk sementara waktu."
"Dua bulan lagi saya berencana pulang ke Manchester. tidak sendiri, beberapa temanku pula ikut. aku memahami kau sudah kerap ke sana, namun mungkin saja ingin pulang untuk mengisi waktu luang. Kebetulan kami punya satu kamar kosong."
"Entahlah, aku perlu berpikir untuk itu," jawab Alexander sopan walau hatinya sudah menolak. Sinkron dengan ucapan Leanore, ia sudah seringkali pergi ke Manchester sebab terdapat sebagian keluarga dari pihak ayahnya yang tinggal di sana.
"Kirim pesan padaku Jika ingin bergabung."
Waktu Alexander benar-benar dihabiskan dengan berbincang beserta Leanore. Sejujurnya gadis itu beberapa kali membelai kulitnya dengan gerakan sensual. Leanore memang tipe gadis yang sedikit liar. tetapi dia bisa bertahan buat tidak menyerang Alexander. Lagi jua Alexander tidak sekalipun membagikan balasan buat Leanore. Mungkin itu alasan kenapa Leanore tidak berkecimpung lebih jauh. menjadi gantinya, ketika Alexander akan meninggalkan vila, Leanore memberinya anugerah mungil yaitu sebuah ciuman hangat pada kedua pipi.
Sebelum kembali Alexander memutuskan buat mampir ke sebuah restoran cepat saji. dia menggunakan sistem drive-thru supaya mampu makan sembari menyetir. jeda kawasan ini asal rumahnya cukup jauh. Buang-buang ketika Bila dia duduk pada dalam sana dan menghabiskan makan malamnya.
Hari yang semakin malam membuat jalanan sudah tak sepadat sebelumnya. Terkadang Alexander heran, di antara ramainya Turin kenapa ayahnya malah harus memilih tempat tinggal yang jauh asal sentrakota. sebenarnya ada bagusnya memang, beliau jadi punya kolam renang pribadi serta halaman yang relatif luas. Kekurangannya artinya Alexander tidak mampu dengan simpel menikmati keramaian kota. Maka berasal itu dia memutuskan buat membeli sebuah apartemen ketika masuk ke universitas, walau kenyataannya Alexander masih tak jarang tidur pada tempat tinggal . Alasan terkuatnya ialah untuk memudahkan Alexander ketika wajib pulang larut dampak jadwal yang padat dan sudah tak punya energi buat menyetir sampai ke tempat tinggal. Alasan lain tentu saja demi kebebasan ad interim.
"Halo, apa Allard ada? Aku sedang menyetir."
"Alex. aku tahu kau mungkin akan kesal mendengarnya, tapi Austin hilang. Maksudku dia mabuk kemudian pulang entah ke mana."
Alexander mendesis kesal. Sedikit lagi beliau akan datang pada tempat tinggal dan Allard justru mengacaukan sisa harinya. "Allard, kau dari mana? Austin bisa jadi gila Bila sedang mabuk. Tunggu, apa beliau pulang menggunakan membawa mobil?"
"Aku menyesal telah menjawab jika jawabannya tetap ya."
"Baiklah baiklah. Kini kau telah minum berapa banyak?"
"Entah, tak banyak. Aku masih bisa meminjam mobil kemudian menyetir dan mencari Austin. Kau pulang saja, relatif bantu aku memantau lokasinya berasal jauh."
"No," tolak Alexander tegas. "Kau hanya boleh pergi Jika menerima tumpangan. Minta bantuan seseorang buat mengantarmu ke lokasi Austin. Aku akan pulang mencarinya."
Alexander memutar kembali mobilnya serta melaju menggunakan kecepatan tinggi. beliau terus berjalan menuju titik di mana Austin berada. Alexander mencicipi cemas saat tahu titik Austin berhenti berkiprah. Otaknya tidak mampu buat diajak berpikir positif. Napas Alexander sesak, jantungnya berdebar kencang.
Perasaan lega menyelimuti Alexander ketika memahami Austin dalam keadaan baik. Mobilnya memang sedang berhenti dan pria itu tergeletak lemas pada sisi jalan. Austin tidak sendiri, terdapat seorang gadis di sebelahnya yang terlihat berusaha buat membantu.
"Austin, astaga. Kau ini benar-benar," geramnya. "Nona, terima kasih sudah menjaga temanku. Apa kau bagian dari pesta? tampaknya kita belum pernah bertemu."
"Alex," erang Austin.
"Sepertinya kalian berteman."
Alexander sedikit terkejut ketika mendengar gadis itu bicara dalam bahasa inggris. Itu berarti terdapat kemungkinan Jika dia bukan bagian dari pesta. Alexander baru ingin bertanya tetapi gadis itu mendahuluinya bicara.
"Baguslah. Aku harus pergi," ujarnya lalu berlari menjauh.
"Hei tunggu," teriak Alexander yang sayangnya diabaikan. "Apa wajahku terlihat mengerikan hingga-sampai wajib berlari seperti itu. tidak mungkin, Mommy saja berkata Jika aku mirip bayi. beliau aneh sekali, padahal saya ingin berterima kasih dengan benar."
Allard tiba tidak lama kemudian. dia benar-benar mengikuti ucapan Alexander yaitu mencari tumpangan.
"Alex, saya baik. sungguh. kawasan ini tidak jauh berasal apartemen Austin. Kau bawa dia, aku akan bawa mobilnya."
Alexander menatap Austin dan Allard bergantian. tidak ada pilihan, lagi juga Allard tampak sadar seratus persen "Baik," ungkapnya. "Saya akan menyetir tepat di belakangmu. Malam ini saya akan tidur di kawasan Austin sekaligus memastikan kau tidak minum lagi. Salahmu sendiri mengabaikan ucapanku."
Allard tak menjawab apa pun. Hanya ada ekspresi duka pada wajahnya tetapi Alexander tidak peduli menggunakan hal itu. Satu-satunya yang beliau pedulikan merupakan gadis yang sempat menolong Austin. Kenapa menghilang begitu saja? dia benar-benar manusia 'kan?
***