"Nyatanya, banyak sekali kejadian-kejadian yang janggal, yang membuat prasangka buruk bersarang di pikiran,"
***
Pagi ini sepert i biasa aku sibuk menyiapkan sarapan untuk keluargaku. Suami, sepasang anak, dan Ibuku yang ikut serta tinggal di sini. Si sulung masih saja mengurusi rambutnya yang belum tersisir rapi. Padahal umurnya sudah dua belas tahun. Sedangkan si bungsu, dia dibantu oleh Neneknya mengurusi peralatan sekolahnya. Memang anak itu tidak pernah menyiapkan peralatan sekolah di malam hari. Selalu merepotkan Neneknya.
Suamiku, Mas Indra, seorang manajemen operasional di sebuah perusahaan terbuka di kota ini. Ya, dia bilangnya seperti itu. Aku percaya saja. Gajinya di atas rata-rata dan sudah mencukupi kebutuhan sehari-hari. Bahkan kerap sekali membelikan barang-barang mahal untuk kami semua. Sehingga aku tidak terlalu bertanya mengenai pekerjaannya.
"Eh, Mas, kamu duduk dulu, biar aku panggil yang lainnya," kataku langsung menarik kursi meja makan, mempersilakannya duduk.
Aku gegas memanggil kedua anakku serta Ibu. Terlihat Viandra masih sibuk di depan cermin lalu badannya berputar-putar layaknya anak kecil yang girang dibelikan baju baru. Baju seragam yang melekat di tubuhnya dan rambut yang dibiarkan tergerai. Sekarang sudah kelas satu SMP, bisa dibilang remaja tanggung. Ia sudah banyak berubah, lebih memperhatikan penampilannya.
"Viandra, sarapan dulu yuk! Ayah sudah menunggu di meja makan," ajakku sambil merangkul pundaknya.
"Aku sudah cantik kan, Bu?" tanyanya meminta pendapat. Aku mengangguk jujur. Karena memang putriku ini sangat cantik.
"Kamu itu cantik sayang. Lebih cantik lagi, kalau kamu ikut sarapan dan menjalankan hari ini dengan senyuman," ujarku lalu menggandeng tangannya menuju ke meja makan.
Viandra menurut saja. Pasrah. Padahal ia selalu susah diajak sarapan. Karena terlalu banyak menatap cermin, memperhatikan wajahnya. Terkadang mengoles bedak kembali agar lebih putih. Ah, anak perempuan selalu begitu. Aku pun sama seperti itu dulu.
Ibu dan Ifandi sudah berada di meja makan. Ifandi terlihat bersemangat sekali pagi ini. Ralat! Setiap hari ia selalu ceria saat berangkat sekolah. Alasannya adalah akan bertemu dengan teman-teman di sekolah. Entah mau belajar atau bermain di sekolahnya, yang penting dia bahagia dan aku pun senang melihatnya.
Aku mengambil piring dan menyendokkan nasi ke Mas Indra yang masih sibuk dengan ponselnya. Selalu saja begitu di mana-mana. Di meja makan, di ruang tv, bahkan di kamar mandi pun masih asyik dengan ponselnya. Mungkin memang masalah pekerjaan.
"Ayah, belikan aku tas baru dong," pinta Viandra pada Mas Indra.
Aku menggeleng mendengar permintaannya itu. Padahal tasnya masih bagus dan keluaran terbaru. Kenapa mau minta lagi?
"Kamu kenapa minta tas lagi? Tas kamu yang sekarang kan masih bagus," kataku memberi pengertian.
"Ish Ibu mah gitu, kemarin aku lihat tas keluaran terbaru di ponsel. Bagus sekali. Belikan ya, Yah," rengek Viandra.
Mas Indra hanya diam menikmati sarapannya. Terlihat dari wajahnya sedang berpikir. Aku tahu, pasti ia akan menuruti keinginan Viandra lagi. Kalau seperti ini terus, bisa-bisa anak itu semakin jadi. Umurnya bukan anak kecil lagi. Tetapi kelakuannya masih seperti anak-anak yang merengek ini dan itu.
"Kamu suka tas itu?" tanya Mas Indra.
Viandra mengangguk cepat.
"Ya, sudah, besok kita beli."
Kan! Aku sudah bisa menebak. Mas Indra selalu memanjakan Viandra. Dan ia lupa jika mempunyai anak laki-laki, Ifandi. Berbeda dengan kakaknya, Ifandi malah tidak begitu dekat dengan Ayahnya. Minta sesuatu? Tidak pernah meminta ke Ayahnya, pasti selalu minta kepadaku. Jika aku tanya alasannya tidak meminta ke Ayahnya, ia menjawab dengan singkat 'malas'.
***
Setelah Mas Indra pergi berangkat kerja sekaligus mengantarkan Viandra ke sekolah, aku langsung membersihkan halaman depan. Seperti biasa menyapu dan mencabut rumput-rumput liar. Rutinitas setiap hari selalu begitu. Bingung juga mau apa selain beres-beres rumah. Mau belanja ke pasar pun jaraknya jauh sekali. Dan aku tidak bisa mengendarai motor.
TIN TIN
Suara klakson mobil nyaring hingga membuatku terkejut. Sebuah mobil berwarna merah berhenti tepat di depan gerbang rumah. Tidak mungkin ini mobilnya Mas Indra, sebab mobil suamiku berwarna hitam. Mungkin mobil temannya, pikirku positif.
Dari dalam mobil itu nampak seorang wanita yang tengah menatap rumahku. Ia pun turun dari mobilnya. Penampilannya sangat berkelas. Bisa dibilang ia adalah wanita karir. Aku pun menghampirinya, takut itu temannya Mas Indra.
"Apa benar ini rumah Indra Pratama?" tanya wanita itu. Aku hanya mengangguk patah-patah sebagai jawaban.
"Apa saya bisa bertemu dengan istrinya?" tanya wanita itu lagi.
Aku terkejut dengan pertanyaannya itu. Untuk apa dia mencariku? Apa aku punya salah kepada wanita ini? Kenal saja tidak. Atau Mas Indra berhutang kepada wanita ini dan aku yang disuruh membayarnya dengan menjadi pembantu? Keterlaluan!
"Saya sendiri istrinya. Saya Silvia. Memangnya ada apa ya, Mbak?" tanyaku penasaran.
"Boleh saya masuk dulu?" tanyanya.
Aku merasa malu sebagai tuan rumah. Tidak mempersilakan tamu masuk dan menjamunya. Bodohnya kamu Silvia! Kalah kamu dimata wanita karir ini, rutukku.
Aku mempersilakan masuk wanita itu ke ruang tamu. Gegas pergi ke dapur untuk membuat teh dan membawa beberapa camilan untuk dihidangkan kepadanya. Supaya wanita itu merasa nyaman dan dihargai di sini.
"Silakan diminum dulu, Mbak."
Ia mengambil teh buatanku dan mencicipinya.
"Terima kasih,"
Aku dibuat bingung dengan kedatangan wanita tersebut. Apa dia rekan kerja Mas Indra? Tapi untuk apa ke rumah? Padahal Mas Indra sudah berangkat ke kantor sejak tadi.
Penampilan wanita ini sungguh menawan. Wajahnya putih bersih, memakai blazer dengan bawahannya rok span mini. Rambutnya dibiarkan tergerai sampai mencapai punggungnya. Apa tidak terganggu saat bekerja?
"Hmm, maaf, ada keperluan apa ya, Ibu datang ke rumah saya?" tanyaku langsung.
"Rumah kamu?" tanya wanita itu seperti terkejut dengan kalimatku.
Aku seperti linglung dibuatnya. Apa salah aku mengatakan rumah ini adalah rumahku? Kenapa sepertinya wanita ini malah sewot?
"Oh, maaf, jadi tujuan saya ke sini untuk memberikan bonus perusahaan," Wanita itu mengeluarkan sebuah amplop dari tasnya dan meletakkannya di atas meja sebagai tanda menyerahkan kepadaku.
Ini janggal sekali, kenapa tidak langsung diberikan kepada Mas Indra? Apa tadi suamiku itu tidak pergi bekerja?
"Begini, Bu—"
"Panggil saya Lidia. Saya adalah bos suami kamu," potongnya.
Lagi dan lagi aku dibuat terkejut oleh ucapannya itu. Jadi wanita ini merupakan bosnya Mas Indra? Masih muda sekali wanita ini sudah menjadi bos? Tapi aneh juga ya, di zaman modern ini apa masih berlaku panggilan 'bos'? Bukankah lebih keren dipanggil sebagai atasan?
"Begini Bu Lidia, kenapa Ibu tidak langsung memberikannya kepada suami saya? Suami saya tadi sudah berangkat ke kantornya," ujarku kepadanya.
"Suami kamu memang sudah di kantor. Namun bonus ini diberikan untuk keluarga para karyawan. Jadi saya yang langsung mengantarkannya ke rumah. Sekalian melihat-lihat kondisi keluarga karyawan."
"Zaman sekarang banyak yang bekerja kantoran, gaji besar, tetapi kehidupannya tidak harmonis. Jadi saya ingin terjun langsung dan ingin mengetahui kehidupan para karyawan di kantor. Siapa tahu ada yang sedang kesusahan atau butuh bantuan saya bisa membantunya," jelas Bu Lidia panjang lebar. Aku hanya mengangguk paham atas jawabannya itu. Namun masih sedikit kurang puas.
"Terima kasih banyak atas perhatiannya, Bu. Alhamdulillah kami tidak merasa kekurangan dalam materi, sebab Mas Indra selalu terbuka dalam masalah keuangan. Dan Alhamdulillah juga, keluarga kami selalu rukun. Walaupun ada pertengkaran kecil, tetapi masih bisa di atasi."
Aku sungguh bersyukur sekali Mas Indra memiliki bos yang baik seperti Bu Lidia. Sepertinya ia tipe bos yang tidak suka ada masalah-masalah. Misalnya isu diterpa salah seorang karyawan yang bunuh diri karena rumah tangganya retak.
Bu Lidia tersenyum menanggapi ucapan aku.
"Oh iya, kamu sudah punya berapa anak?" tanya Bu Lidia membuka pembicaraan yang lain.
"Saya punya dua anak, Bu. Anak pertama sudah kelas satu SMP dan anak kedua masih kelas satu SD," jawabku.
"Semoga kalian bahagia terus, ya."
Aku hanya mengaminkan ucapannya dalam hati. Semoga saja pernikahan aku dan Mas Indra langgeng sampai maut memisahkan. Dan untuk Viandra serta Ifandi, semoga menjadi anak-anak yang berbakti pada kedua orang tua.
Bu Lidia menghabiskan teh buatanku. Lalu mengambil tissue dari tasnya dan membersihkan sisa-sisa makanan di mulutnya. Memang dia ini wanita yang sangat menjaga penampilan.
"Oh iya, Silvia, saya harus pergi. Karena masih ada pekerjaan di kantor. Kalau begitu saya permisi dulu,"
Bu Lidia beranjak dari tempat duduknya dan pergi keluar dari rumahku. Ia memasuki mobilnya kemudian menyalakan mesinnya. Matanya pun masih memperhatikan spion, apakah sudah sesuai atau belum.
"Sekali lagi terima kasih banyak, Bu. Dan hati-hati di jalan," kataku mengucapkan salam perpisahan.
Wanita itu hanya tersenyum kemudian menjalankan mobilnya membelah jalan. Aku pun kembali masuk ke dalam rumah. Namun sampai di depan pintu, tiba-tiba Ibu menghadangku. Matanya celingak-celinguk menatap ke arah jalanan. Sepertinya Ibu ingin tahu mengenai bosnya Mas Indra.
"Tadi siapa, Sil?" tanya Ibu penasaran.
"Ohh tadi itu bosnya Mas Indra,"
"APAA?!!"
Aku langsung terlonjak karena mendengar teriakan Ibu. Mengapa Ibuku itu sampai teriak-teriak? Seperti mendengar berita harga minyak turun. Kebiasaan Ibu selalu berteriak seperti di hutan.
"Ibu kenapa, sih? Sampai teriak-teriak gitu?" kesalku.
Pletak!
Ibu menjitak kepalaku. Entah kesalah apa yang aku perbuat, hingga kepala ini menjadi korbannya.
"Kamu ini bodoh atau apa? Kamu gak curiga sama wanita tadi?" hardik Ibu.
Curiga? Buat apa? Toh, Bu Lidia kan memang bosnya Mas Indra. Jadi buat apa harus curiga? Terkadang Ibu ini pemikirannya selalu berlebihan. Bertemu dengan orang baru saja, bawaannya prasangka buruk.
"Ibu ini kenapa, sih? Bu Lidia tadi tu cuma bosnya Mas Indra. Bos, Bu. Apa yang harus di curigakan?" ucapku menahan kekesalan.
"Kamu tuh emang bodoh ya. Bisa jadi si Lidia tadi tuh selingkuhannya Indra. Dia mata-matain kamu. Harusnya pikiran kamu sampai dong ke sana," omel Ibu.
Aku menghela napas sejenak. Kenapa Ibu bisa terpikirkan sampai ke sana? Bu Lidia selingkuhannya Mas Indra? Masa, sih? Tapi, melihat penampilannya Bu Lidia yang modis seperti itu, hati kecil aku membenarkan ucapan Ibu. Mungkinkah?
"Lagian nih ya, Bu, tadi itu bosnya Mas Indra memberikan uang bonus ke aku. Jadi mana mungkin mereka itu ada hubungan!" bantahku berusaha untuk berpikir positif.
"Sudahlah, kamu dibilangin itu memang kepala batu. Awas aja kalau terjadi sesuatu nanti," ancam Ibu.
"Kenapa Ibu malah mendoakan hal-hal yang belum terjadi sih? Harusnya Ibu mendoakan rumah tangga aku baik-baik saja, dong. Bukannya Ibu selalu minta apa-apa ke Mas Indra? Harusnya Ibu jangan menuduh yang tidak-tidak ke dia, nanti kalau suamiku itu tersinggung, apapun yang Ibu minta tidak akan dituruti lagi,"
Aku akhirnya memilih masuk ke dalam kamar. Sedangkan Ibu diam mematung di depan pintu. Sepertinya sedang mencerna apa yang aku ucapkan. Ibu memang selalu meminta apapun ke Mas Indra. Mulai dari tas, baju, dan skincare. Harganya pun tidak murahan. Namun, suamiku selalu menuruti apapun yang diminta beliau. Tetapi tetap saja, Ibu tidak menyukai Mas Indra. Entah apa alasannya. Susah kalau sudah penyakit hati.