Chereads / Wanita yang Mengaku BOS Suamiku / Chapter 2 - Bertanya

Chapter 2 - Bertanya

"Kejutan itu bermacam-macam bentuknya. Ada yang melalui perantara, ada juga yang langsung di perlihatkan,"

***

POV Silvia

Aku langsung masuk ke kamar dan menguncinya. Ibu ini kalau berbicara selalu saja asal ceplas ceplos. Membuat kepala ini sakit mendengarnya. Bagaimana bisa, almarhum Bapak bertahan dengan sikap Ibu yang seperti ini?

Aku terduduk di pinggir ranjang tempat tidur. Berpikir mengenai apa yang Ibu katakan tadi. Jika dipikir kembali, memang agak aneh dengan kejadian hari ini. Seorang bos datang ke rumah hanya untuk mengantarkan bonus. Padahal karyawan yang bersangkutan pun ada di kantor. Ditambah lagi, bosnya Mas Indra ini masih muda juga. Apa benar dia bosnya?

Untuk tidak menambah pikiran, gegas aku menelepon Mas Indra untuk lebih jelasnya lagi. Kutekan nomornya dan nada panggilan sedang tersambung.

"Halo, Sil!" ucap Mas Indra di seberang sana.

"Halo, Mas! Kamu lagi kerja?" tanyaku basa basi. Sebenarnya bukan basa basi juga, aku pun ingin tahu dia ada di mana sekarang.

"Ya iya, dong. Ini Mas lagi nyusun laporan barang," katanya.

"Memangnya ada apa?" tanyanya lagi.

"Hmm, tadi bosnya Mas ke rumah," ucapku polos.

"APAA?!?"

Aku langsung menjauhkan ponsel dari telinga. Tadi Ibu yang berteriak saat aku bilang hal yang sama. Dan sekarang Mas Indra yang berteriak. Apa hari ini adalah hari berteriak sedunia? Lama-lama telinga aku bias putus mendengar teriakan mereka.

"Kamu ini kenapa, Mas? Kok, malah teriak-teriak, sih?" sewotku.

Suara di seberang sana hening sejenak. Mas Indra sedang mikir atau apa?

"Mas?! Halo?!"

"Iya, Mas di sini. Memangnya bos ngapain ke rumah?" tanya Mas Indra.

Kok malah nanya bosnya ngapain. Memangnya Bu Lidia tidak memberi tahu pada karyawannya itu jika mendapatkan bonus?

"Numpang makan bos kamu, Mas," ucapku asal.

"Lah, kok?"

"Bos kamu tadi silahturahmi aja, kok. Kamu kok kaya khawatir gitu. Tenang, Bu Lidia baik sama aku tadi," ceritaku panjang lebar. Sebenarnya aku mau bilang kalau dia dapat bonus. Tetapi, alangkah baiknya aku bertanya saja ke dia.

"Bu Lidia?" Suara Mas Indra terdengar seperti ragu. Bosnya tadi namanya Lidia, kan? Kenapa Mas Indra jadi amnesia gini?

"Iya, kan nama bos kamu Lidia. Aku manggilnya Bu Lidia, dong. Ya, supaya sopan," kataku.

Mas Indra terdiam di seberang sana.

"Sil, aku mau lanjut kerja dulu. Sebentar lagi ada meeting,"

Tut!

Telepon dimatikan sepihak oleh Mas Indra. Aneh sekali hari ini. Aku jadi pusing memikirkan sikapnya.

Daripada memikirkan Mas Indra, aku pun mengambil uang di lemari dan pergi menuju tukang sayur. Rencana hari ini aku ingin memasak sup ayam, tempe goreng, serta sambal terasi kesukaan suamiku.

Saat aku keluar kamar, terlihat Ibu sedang duduk sambil memainkan ponselnya di depan televisi. Ibu ini seperti anak muda saja, melihat t*ktok saja kerjaannya. Mungkin kembali ke masa muda tingkat kedua.

"Kamu mau kemana?" tanya Ibu di sela-sela bermain ponsel.

"Pergi ke tukang sayur. Mau masak, takutnya anak-anak nanti pulang."

"Si Indra jam berapa pulang?"

Aku berpikir sejenak, "Kayanya jam lima sore deh, Bu."

Ibu mengeluh sejenak. Sepertinya Ibu ingin meminta sesuatu sampai bertanya Mas Indra kapan pulang. Kebiasaan beliau tidak pernah berubah. Setiap ada promo di social media atau ada tetangga yang pamer barang baru, Ibu pun ingin memilikinya juga. Dan itu harus dibelikan, jika tidak, beliau akan ngambek.

"Ck! Suruh dia cepet pulang. Ibu mau minta beliin baju kaya gini," Ibu menunjukkan ponselnya kepadaku. Ternyata baju anak muda yang lagi viral itu.

"Bu, baju ini cocoknya buat Viandra. Karena untuk remaja," kataku berusaha menyadarkan style Ibu.

"Oh, jadi kamu mau bilang Ibu ini udah tua?" protes Ibu.

Yang bilang tua bukannya Ibu sendiri? Masa Ibu mau beli baju ala Korean style. Aneh banget kalau dipakai nanti. Apalagi kalau Ibu pamer ke para tetangga, bisa malu aku. Disangkanya aku tidak pandai mendidik Ibu.

"Aku kan tidak bilang begitu, Bu. Coba cari model yang lain," saranku.

"Ditambah baju Ibu itu udah banyak, loh. Modelnya pun macam-macam dan baru minggu kemarin Ibu minta dibelikan baju, kok mau beli lagi?" Baju Ibu sudah banyak di lemari. Lemari tiga pintu itu tidak cukup untuk menyimpan semua baju yang dimilikinya. Bahkan baju-baju yang masih bagus pun harus dimasukkan ke dalam kardus. Satu baju Ibu yang paling murah yaitu sekitar dua ratus lima puluh ribu. Belum lagi aksesoris yang lain dan kerudungnya.

"Jadi kamu udah tidak mau lagi beli kebutuhan Ibu?" sangkal Ibu.

"Bukannya tidak mau, Bu. Kebutuhan di rumah banyak yang lebih penting. Dan baju Ibu di lemari pun sudah banyak dan masih bagus. Untuk apa beli baju lagi? Lebih baik uangnya untuk keperluan yang lain," ujarku memberi nasihat.

"Halah, bilang aja kamu pelit. Ingat, ya, kamu itu harus berbakti sama Ibu! Tidak boleh membantah. Dan harus menuruti semua perkataan Ibu. Ingat! Aku ini Ibu kandung kamu. Aku yang melahirkan kamu," cecar Ibu.

Ya, aku dan Mas Indra tinggal di rumah Ibuku. Sebenarnya Mas Indra memaksa untuk tinggal terpisah dari Ibu, namun aku kasihan dengan Ibu yang sakit-sakitan terus. Dan hanya aku yang peduli pada beliau. Sedangkan kakakku merantau ke luar kota dan tidak pernah menengok Ibu.

"Ya sudah, nanti aku suruh Mas Indra pulang dan membeli baju yang Ibu mau. Kalau begitu aku pergi ke tukang sayur dulu, Bu. Permisi," Aku sengaja bilang ini agar perdebatan bisa berakhir. Bisa-bisa Ibu semakin aneh perkataannya.

***

Para Ibu-ibu sudah berkumpul di tukang sayur langganan kami semua. Sambil memilih-milih sayur, mereka juga bergosip. Kadang membicarakan kenaikan harga sembako dan tak jarang juga membicarakan tetangga. Tetatpi aku tidak mempermasalahkan itu. Kalau digosipkan oleh tetangga, aku hanya membalasnya dengan senyuman.

"Eh, Bu Silvia, mau belanja apa?" tanya Bu Marni yang rumahnya paling ujung gang.

"Biasa, Bu, belanja buat makan siang anak-anak," jawabku sambil memilih wortel.

"Oh iya, Ibu-ibu semuanya, kita ada tetangga baru loh. Itu yang di depan rumahnya Bu Silvia. Sekarang kamu udah gak sepi lagi, Sil," kata Bu Cece, tetangga di samping kanan rumahku. Bu Cece ini memang ratunya gossip.

"Wah, beneran nih, Bu Cece? Berarti gang kita makin ramai, dong," timpal Bu Lili yang merupakan seorang dokter.

"Alhamdulillah kalau begitu ya, Bu," sahutku sekenanya. Tetapi dalam hati aku senang sekali.

Sebenarnya aku pun melihat ada beberapa orang yang mengangkat barang-barang ke rumah kosong di depan rumahku. Syukurlah, aku tidak merasa sepi dan iseng saat melihat rumah kosong itu. Terkadang saat aku menyiram tanaman, selalu parnoan karena melihat rumah kosong. Ya, maklum rumah itu sudah lama tidak ditempati.

"Dengar-dengar nih Ibu-ibu, tetangga baru kita itu pemilik perusahaan gitu, deh. Di perusahaan Unilapar yang besar itu," terang Bu Cece. Sepertinya Bu Cece ini sudah tau banyak mengenai tetangga baru itu.

"Loh, Bu Silvia, bukannya suami kamu juga kerja di Unilapar, ya? Berarti kenal, dong sama tetangga kita," timpal Bu Lili sambil menyenggol lengan Bu Cece.

"Hmm, saya juga kurang tau, Bu. Kemungkinan iya kenal," jawabku dengan ragu.

"Eh iya, Bu Cece, yang pemilik perusahaan Unilapar itu laki-laki atau perempuan?" tanya Bu Marni penasaran.

"Ya, perempuan dong. Penampilannya juga cantik banget. Modis gitu. Namanya pengusaha," jawab Bu Cece.

Pemiliknya perempuan? Apa jangan-jangan itu Bu Lidia? Ah, mana mungkin bosnya Mas Indra tiba-tiba pindah ke perumahan ini. Tapi Bu Lidia itu kan bosnya. Eh, apa bos dan pemilik perusahaan sama, ya? Rasanya sama, deh. Kenapa aku jadi memikirkan hal yang tidak penting ini, sih!

"Bang, tolong dihitung ya belanjaan saya," kataku pada si abang tukang sayur. Lama-lama di sini bisa membuatku banyak berpikir yang tidak-tidak.

Tukang sayur pun langsung menghitung belanjaan yang sudah aku pilih. Ada wortel setengah kilo, satu ekor ayam, tomat seperempat kilo, bumbu-bumbu, cabai satu kilo, dan terasi. Kebetulan cabai di rumah sudah habis, jadi aku harus kembali membelinya dengan jumlah banyak.

"Semuanya jadi delapan puluh dua ribu, Bu Sil,"

Aku menyerahkan selembar uang berwarna biru, selembar warna hijau serta ungu, dan selembar berwarna abu-abu. Tukang sayur pun menyerahkan bungkusan belanjaan kepadaku.

"Saya duluan ya, Ibu-ibu," pamitku pada para tetangga yang masih sibuk memilih sayur sambil bergosip.

"Yahh, Bu Silvia cepet banget belanjanya, padahal kita lagi seru loh," keluh Bu Cece.

"Iya, Bu. Saya harus buru-buru pulang. Mau masak buat makan siang," Aku pun langsung melangkahkan kaki menjauh dari kumpulan para Ibu-ibu.

Sepertinya aku harus mengunjungi tetangga baru itu. Agar pikiran ini tidak terus berburuk sangka. Baiklah, besok aku akan mengunjunginya.