"Feeling seorang Ibu tidak akan meleset kepada anaknya. Karena itu adalah dugaan kuat."
**
Beberapa setelah mengunjungi Bu Alfi, aku menjalani kehidupan seperti biasanya. Tidak ada yang perlu dicemaskan, walaupun dalam hati aku merasa was-was. Saat ini yang aku pikirkan hanya tentang anak-anak dan Ibu. Tidak mungkin kan aku berpisah dari Mas Indra hanya karena masalah kemarin? Tapi kenapa Bu Lidia mengaku sebagai bosnya Mas Indra? Apa tujuannya?
"Hmmm, di sini ada yang bernama Lidia Tiara. Dia bagian staff promosi. Apa kalian saling mengenal sebelumnya?" tanya Bu Alfi saat aku terakhir datang ke rumahnya.
"Aku saja baru mengenalnya saat ia mengaku sebagai bos suamiku," sungutku masih kesal dengan wanita yang berbohong kepadaku.
Kami berdua terdiam dan berpikir. Apa motif wanita ini mengaku sebagai bos suamiku? Pakai acara kasih bonus segala. Uang dari mana dia? Padahal menurut Bu Alfi, saat ini belum masa gajian.
"Apa mungkin dia cuma iseng?" tebak Bu Alfi. Menurutku tidak mungkin wanita itu hanya iseng. Apalagi harus merelakan uang sepuluh juta untuk bonus.
"Tapi dari mana ia mendapatkan uang sebanyak itu?" tanyaku ragu.
Bu Alfi terlihat berpikir, "Bisa saja dia meminjam ke orang lain. Atau menjual perhiasannya."
Aku hanya mengangguk mendengarkan jawaban Bu Alfi. Bisa saja seperti itu. Lidia meminjam uang ke orang lain dan menjalankan aksinya. Tapi tujuannya buat apa?
"Hmm, maaf Bu Silvia, apa Ibu pernah melihat suaminya bertingkah aneh? Saya rasa Lidia suka ke Pak Indra,"
Deg!
Apa benar Lidia suka ke Mas Indra? Memang akhir-akhir ini suamiku itu sering aku lihat suka bersembunyi saat menelepon. Dan ia tidak pernah jauh dari ponselnya. Saat mengobrol bersama saja, ia masih sempat-sempatnya sibuk dengan ponsel. Tapi bisa saja kan, kalau Mas Indra tidak membalas perasaannya Lidia. Kalau untuk kesibukannya dengan ponsel, mungkin itu memang berhubungan dengan pekerjaan.
"Ah, Ibu ini, biarkan saja Lidia suka sama suamiku. Toh, pastinya suamiku tidak menyukainya. Secara ia memiliki istri dan dua anak. Bahkan kami tidak pernah bertengkar sekalipun," ujarku menepis perkataannya. Aku tidak rela ada yang menuduh suamiku selingkuh. Ibu kandungku yang menuduh Mas Indra selingkuh saja, aku langsung marah, apalagi orang lain.
"Bu,"
Aku terkejut dengan suara anakku, Ifandi. Ternyata aku masih memikirkan pembicaraan tempo hari bersama Bu Alfi. Ya, semenjak ia menuduh suamiku selingkuh, aku tidak pernah lagi main ke rumahnya. Malas sekali lihat wajahnya yang santai saat menuduh Mas Indra selingkuh.
"Ibu kenapa? Dari tadi kok bengong aja? Ibu sakit?" tanya Ifandi.
Aku hanya menggeleng tersenyum, "Ibu tidak sakit, kok. Kamu mau makan? Yuk, makan! Ibu siapkan dulu ya makanannya."
Ifandi menunggu di meja makan. Aku mengambilkannya nasi serta lauk kesukaannya dan memberikan kepada putraku. Ia makan begitu lahap, berbeda dengan Viandra yang sangat pemilih dalam makanan. Anak perempuanku cenderung bergaya dengan kehidupan mewah. Mungkin karena ia tahu, bahwa gaji ayahnya itu besar, makanya ia berani bergaya mewah di depan teman-temannya.
"Bu, tadi aku lihat, Kak Viandra belanja banyak. Ada sepatu, baju, tas, dan banyak lagi lah. Apa Ayah memberikan banyak uang kepadanya? Bahkan semua barang-barangnya itu mahal loh, Bu." Ifandi menjelaskannya dengan panjang lebar. Aku terdiam mendengarkannya. Viandra dapat uag dari mana? Apa ia meminta kepada Ayahnya lagi? Aku rasa tidak mungkin, sebab Mas Indra selalu bilang kalau Viandra ingin membeli sesuatu.
"Berarti Kak Viandra sekarang di kamarnya?" tanyaku memastikan.
Ifandi mengangguk sambil mengunyah makanannya. Aku pun mengambil ponsel untuk mengirim pesan kepada Mas Indra. Ingin bertanya mengenai hal ini, takutnya ia semakin membuat Viandra menjadi manja. Selama ini aku sudah cukup sabar menghadapi anak perempuan itu. Tapi kalau sudah begini, aku tidak mau diam lagi. Takutnya sudah besar nanti, ia belum tentu mendapatkan apa yang dia punya sekarang.
"Sil," Ibu memanggilku di depan televisi. Matanya melirik ke kamarnya Viandra.
"Iya, Bu, ada apa?" tanyaku.
Ibu menarik tanganku keluar dari rumah menuju halaman samping. Ia juga celingak-celingkuk memastikan tidak ada yang menguping pembicaraan ini. Sebenarnya beliau mau berbicara tentang apa, ya?
"Ibu kenapa, sih? Kok, seperti orang ketakutan gitu?"
"Bukan ketakutan, Sil. Ini tentang si Viandra. Tadi Ibu lihat dia di anterin pulang pakai mobil," kata Ibu.
"Mungkin dia naik go mobil kali, Bu. Atau itu Mas Indra yang menjemputnya. Bisa juga dia pulang bersama orang tua temannya," balasku menepis pikiran buruk Ibu.
Ibu mencebik, "Kamu nih, ya. Tadi itu Ibu lihat Viandra pulang pakai mobil. Terus dia bawa belanjaan banyak banget. Mahal-mahal semua. Uang dari mana coba anak itu? Bukannya kamu yang mengatur uang saku untuknya?"
Ternyata ceritanya Ifandi sama persis dengan yang dikatakan Ibu. Uang dari mana Viandra sampai bisa membeli semua barang-barang itu? Aku memberikan uang saku dua puluh ribu rupiah sehari. Jika ia mau membeli baju atau tas, itu pun harus didampingi olehku.
"Memangnya banyak sekali belanjaannya, ya, Bu? Bisa saja Viandra membelinya pakai uang tabungan dia," kataku yang masih berpikir positif.
"Tadinya Ibu mikir juga si Viandra itu nabung. Tapi ini barang-barangnya itu banyak sekali, Sil. Satu plastik itu satu macam barang. Kalau tidak salah ada enam plastic tadi. Pokoknya bukan satu plastik, lebih lah! Kalau satu plastik, Ibu mikirnya dia habis dari IndoJuni,"
Aku sungguh terkejut dengan penuturan Ibu. Viandra memborong sampai enam plastik? Uang dari mana ia untuk membeli semua belanjaan itu? Ini memang harus dicurigakan. Jika memang Mas Indra yang memberikannya uang untuk belanja sebanyak itu, aku tak akan mengampuninya. Mau jadi apa anak itu? Kerjaannya hanya bisa belanja.
"Aku mau telepon Mas Indra dulu, Bu."
"Heh, buat apa?" cegah Ibu.
"Ya mau nanya lah, Bu. Dari mana Viandra dapat uang sebanyak itu? Kan yang sumber uang di sini cuma Mas Indra. Berarti tersangkanya Mas Indra," kataku lalu kembali menekan nomor ponsel suamiku.
Ibu langsung merebut ponselku.
"Kamu ini emang bodoh, ya. Kemarin masalah orang yang ngaku bos suami kamu dan sekarang anak kamu. Kalau kamu tanya ke si Indra, pasti dia akan bilang bahwa ia yang memberikannya uang, padahal tidak. Dia akan membela Viandra walaupun anak itu salah. Harusnya kamu cari tahu sendiri. Jangan apa-apa bertanya ke si Indra terus,"
Benar juga apa yang dikatakan Ibu. Bisa saja Mas Indra membela Viandra nanti saat aku meneleponnya. Padahal bukan dia yang memberikan anak itu uang. Baiklah aku akan mencari tahu sendiri. Saatnya aku lebih perhatian kepada anak perempuanku ini. Sebelum itu, Viandra harus diinterogasi secara halus dulu.
Aku pun berjalan menuju kamar Viandra dan mengetuknya.
TOK TOK TOK!
Terdengar derap langkah menuju pintu. Lalu knop pintu diputar oleh orang yang punya kamar. Tampak Viandra dan kamarnya yang berantakan. Barang belanjaannya berserak kemana-mana. Sepertinya ia sedang membongkar-bongkar.
"Kamu baru pulang? Kok, tidak makan?" tanya Silvia basa-basi pada anaknya.
"Aku baru aja pulang, Bu. Ini lagi bongkar belanjaan," kata Viandra santai.
Silvia pura-pura terkejut, "Waaahh, Viandra, belanjaan kamu banyak sekali. Ini siapa yang membelikannya?"
"Ya, ini semua dibelikan sama bosnya Ayah. Tadi dia ke sekolah jemput aku, terus diajak ke mall, deh. Aku tidak bisa nolak kalau sudah diajak ke mall,"
Deg!
Bosnya Mas Indra? Siapa lagi yang mengaku sebagai bosnya?