"Mendekati anaknya lebih mudah dari pada mendekati Ibunya,"
**
Namanya Viandra Prastami. Anak pertama dari Indra Pratama dan Silvia Dwi Utami. Menjadi anak perempuan membuatnya selalu dimanja oleh Ayahnya. Hingga lupa apa itu tugas seorang perempuan. Saat Ibunya sibuk menyapu, ia malah sibuk duduk sambil bermain ponsel. Saat Ibunya memasak, ia malah sibuk di kamar entah melakukan apa. Keinginannya selalu dituruti, membuatnya besar kepala. Ingin membeli tas, langsung dibelikan. Ingin membeli sepatu, langsung dituruti. Hidupnya dituruti dengan uang.
Saat ini ia sudah di kelas. Bersekolah di salah satu SMP Negeri 1 yang berada di kotanya. Sekaligus sekolah terfavorit di kota ini. Umurnya saat ini sudah dua belas tahun dan kelas satu.
"Eh, Vian, Ibu-ibu yang sering jemput lo waktu pulang sekolah siapa, sih? Itu Ibu lo?" tanya Dela temannya Viandra.
"Dia bukan Ibu-ibu, umurnya masih muda juga. Dia bos Ayah gue," jawab Viandra santai sambil memainkan ponselnya.
"APAA?!!"
Dela dan Maya, teman satu geng-nya Viandra spontan berteriak. Viandra pun langsung menutup kedua telinganya. Ditambah banyak pasang mata yang merasa kesal dengan suara teriakan mereka.
Dela pun meminta maaf kepada teman-temannya, begitupun juga Maya.
"Beneran itu bos Ayah lo? Kok gue curiga, ya?" tanya Maya memastikan.
Viandra mengangguk, "Iya, itu bos Ayah gue. Emang kenapa, sih? Kok lo bisa curiga gitu? Kan lo belum ketemu langsung sama dia."
"Heh, Vian, baru kali ini ya ad abos yang mengistimewakan anak karyawan. Sampai diajak ke mall dan borong belanjaan. Mana bosnya masih muda lagi. Iya gak, May?" Dela meminta pendapat Maya. Dan Maya pun mengangguk menyetujui perkataan temannya.
"Gue ragu kalau dia itu cuma sekadar bos Ayah lo," ujar Maya curiga.
"Memang dia itu bos Ayah gue, kok. Bilang aja lo iri kan?"sanggah Viandra tidak terima dengan nada curiganya Maya.
Dela dan Maya hanya tertawa mendengarnya. Memang mereka iri, namun itu tidak lebih besar dibanding kecurigaannya dengan wanita yang menjemput Viandra. Wanita itu berpakaian modis di lingkungan sekolah tanpa malu. Kadang membawakan banyak bingkisan untuk Viandra. Siapa yang tidak iri jika didekati wanita cantik dan royal sepertinya?
"Eh, Vian, emang Ibu lo gak curiga dengan belanjaan sebanyak itu?" tanya Dela lagi.
Viandra mengibaskan rambutnya, "Enggak, dong. Lagian Ibu gue tuh udah kenal sama bosnya Ayah. Jadi gue bebas aja mau bawa belanjaan yang dibeliin bos Ayah gue,"
Seorang guru yang menenteng tas laptop pun memasuki kelasnya Viandra. Seluruh penghuni kelas pun langsung buru-buru duduk di tempatnya. Suasana menjadi hening seketika.
Pelajaran pun dimulai.
**
Silvia POV
Setelah kejadian di mana Viandra bilang habis belanja dengan bosnya Mas Indra, aku harus lebih banyak mencari tahu mengenai kegiatan anakku di sekolah. Sebelum itu aku ingin mengecek semua tabungan yang tidak diketahui oleh Mas Indra.
Diam-diam aku memang selalu menyisihkan uang belanja dari Mas Indra untuk membeli perhiasan. Padahal suamiku itu selalu membelikan aku perhiasan tanpa diminta sekalipun. Namun hati ini hanya ingin memperbanyak investasi dalam bentuk emas, jaga-jaga untuk kemudian hari. Bahkan uang satu juta lima ratus untuk membeli baju Viandra, hanya baju Viandra bukan Ifandi, aku menyisihkannya lima ratus ribu untuk tabungan pendidikan.
Aku mencari kalung yang pernah dibelikan Mas Indra saat gajian bulan kemarin. Biasanya perhiasan yang diberikan suamiku itu diletakkan di lemari baju. Beda lagi kalau perhiasan yang aku beli sendiri yang diletakkan di belakang meja rias. Aku memesan meja rias itu khusus dari tukang mebel.
"Kok, kalung yang dibelikan Mas Indra tidak ada, ya? Rasanya aku letakkan di antara baju-baju," Aku langsung membongkar semua baju-baju. Yang tadinya rapi kini sudah berantakan tak beraturan.
Aku yakin kalau kalung itu diletakkan bersama baju-baju. Tapi kenapa bisa hilang? Kalung yang dibelikan Mas Indra pun hanya ada satu model. Ya bisa dikatakan limited edition. Aku tidak ikhlas sekali, jika kalung itu benar-benar hilang.
Yang memiliki cadangan kunci lemari hanya aku dan Mas Indra. Dan yang mengetahui dimana aku meletakkan perhiasan juga hanya Mas Indra. Apa suamiku itu yang mengambilnya, ya? Tapi untuk apa? Mau dijual? Terus uangnya kemana?
Lama-lama aku bisa depresi memikirkan kalung itu. Apa aku telepon Mas Indra saja untuk bertanya mengenai kalung itu? Tapi Ibu mengatakan tidak boleh banyak bertanya kepadanya. Nanti jika aku bertanya, pasti jawabannya tidak tahu. Jawaban yang meragukan.
Aku langsung memasukkan semua perhiasan ke dalam tas. Baik perhiasan yang dibeli sendiri maupun dibeli oleh suamiku. Rencananya akan disimpan sementara ke bank. Sebelum semua perhiasan yang lainnya ikutan menghilang. Gegas aku keluar dari kamar dan membawa tasnya.
"Ehhh kamu mau kemana? Kok pakai tas segala? Mana besar banget lagi tasnya," Ibu langsung mencegatku. Bahkan tangannya ikut menarik tas yang kubawa. Mungkin ingin melihat isinya.
Aku langsung menyingkirkan tangan Ibu, "Maaf, Bu, aku lagi terburu-buru. Nanti lagi ya ngobrolnya."
Ibu langsung marah-marah, namun aku tidak menggubrisnya. Taksi yang dipesan tadi sudah datang menunggu di depan gerbang. Aku langsung masuk ke taksi dan menyuruh sopir tancap gas menuju tujuan.
***
Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak tadi. Viandra tengah asyik duduk di bangku depan kelasnya. Matanya berselancar melihat ponsel. Sejak tadi bibir itu tak henti-hentinya tersenyum. Seperti ada kabar bahagia hari ini bagi dirinya. Ya, anak itu sedang menunggu Lidia, wanita yang mengaku sebagai bos Ayahnya. Ia percaya saja, karena disogok dengan barang-barang yang disukainya.
Sebuah mobil mewah berwarna merah masuk ke dalam parkiran sekolahnya Viandra. Anak perempuan itu tersenyum sumringah. Orang yang ditunggu sejak tadi akhirnya datang. Ia tidak sabar pergi berbelanja mengelilingi mall seharian. Padahal dirinya selalu dimanja oleh kedua orang tuanya. Tetapi masih saja belum puas dengan apa yang didapatkannya.
Wanita itu turun dari mobil seraya membenarkan letak kacamatanya. Lalu ia melambaikan tangan ke Viandra tanda menyapa. Anak perempuan itu langsung berlari tanpa segan ke arah wanita itu. Siapa lagi kalau bukan Lidia.
"Kamu kelamaan ya, nunggu Tante?" tanya Lidia sambil mengelus rambutnya Viandra.
Viandra tersenyum menggeleng, "Enggak, kok, Tan. Aku baru aja duduk-duduk tadi."
Sebenarnya Viandra sudah menunggu Lidia sejak tadi, namun anak itu berbohong demi menyenangkan hati wanita yang ada dihadapannya.
"Kita mau kemana hari ini?" tanya Lidia lagi.
"Aku, sih, ikut kata Tante aja deh. Aku suka pergi jalan-jalan kemanapun,"
"Kalau begitu kita pergi ke salon aja, yuk!" ajak Lidia.
Viandra begitu senang mendengar ajakan dari Lidia. Selama ini dia tidak diperbolehkan pergi ke salon oleh Ibunya. Alasannya, yaitu agar tidak candu ke sana hingga akhirnya menghamburkan uang. Padahal gaji Ayahnya sangat besar, namun Ibu malah pelit kepadanya.
"Ayo, Tan. Aku belum pernah pergi ke salon," kata Viandra girang.
"Ya, sudah. Yuk, kita pergi sekarang,"
Lidia membuka pintu mobil, mempersilakan Viandra masuk ke dalamnya. Mereka berdua pergi meninggalkan pekarangan sekolah dan menuju salon langganan Lidia.