"Hidup itu tidak selalu di atas. Kadang kebahagiaan itu bisa lenyap sesaat daripada kesedihan. Jadi jangan lupa bersyukur saat sedang bahagia,"
**
POV Indra
Namaku Indra Pratama. Merupakan suami dari Silvia Dwi Utami. Berumah tangga dengannya selama dua belas tahun bukanlah hal yang mudah. Banyak lika-liku perjalanan yang harus dihadapi. Mulai dari masalah kepribadian masing-masing, perekonomian, sampai ke mertua yang merupakan Ibu kandung Silvia. Ya, kami hidup satu atap dengan mertua.
Awal mula aku menyukai Silvia, yaitu saat sekolah menengah pertama. Di mana ia begitu lugu dan polos. Membuatku penasaran dengannya. Hingga akhirnya aku pun memutuskan untuk menyatakan perasaan ini. Tanpa disangka, ternyata Silvia memiliki perasaan yang sama dengaku. Kami pun akhirnya mempunyai hubungan. PACARAN. Ya, kisah cinta monyet untuk anak-anak seperti kami dulu.
Hingga akhirnya aku pun memutuskan untuk mengunjungi rumahnya sekaligus untuk silaturahmi. Apa yang kalian pikirkan? Seorang anak SMP yang baru berpacaran, mengunjungi rumah pacarnya. Aneh? Sok berani? Atau kecil-kecil kurang kerjaan? Pasti banyak yang menghujat saat ini. Tapi itulah kenyataannya.
Hari Minggu dengan percaya dirinya, aku sudah siap pergi ke rumah Silvia. Rumahnya dengan rumahku ternyata beda desa. Dan memakan waktu lima belas menit untuk sampai ke sana. Modal naik sepeda yang dibelikan ayah angkat beberapa bulan lalu, aku pun pergi ke rumah Silvia.
Aku bukan terlahir dari keluarga kaya. Kedua orang tua sudah meninggal saat aku kelas empat SD. Kemudian diasuh oleh Nenek yang masih saudara almarhumah Ibuku. Karena banyak sekali perseteruan mengenai siapa yang akan mengasuhku dan kedua saudaraku. Akhirnya Nenek lah yang bersedia.
Kakak pertama, Bang Adi, umurnya beda enam tahun denganku. Setelah lulus SMK Otomotif, ia memilih merantau ke pulau Jawa. Pikirnya ingin mencari kehidupan yang lebih baik. Karena ia tidak betah tinggal di kampung, di mana semua orang menggunjing mengenai kedua orang tuaku. Ibuku yang tukang keluyuran, Ayahku yang hanya seorang pedagang, padahal Ayah lulusan SMK. Dulu kalau lulusan SMK bisa menjadi PNS, namun Ayah memilih menjadi pedagang. Hal itu menjadi bahan gunjingan orang sekampung. Dibilang Ayah adalah orang yang paling bodoh. Membuat Bang Adi tidak betah lagi tinggal di kampung. Nenek tidak bisa mencegah Bang Adi pergi, karena beliau pun tidak bisa berbuat lebih.
Kakak kedua, Kak Andini, umurnya beda tiga tahun denganku. Ia yang lebih dekat dengan Nenek. Karena ia satu-satunya perempuan di antara aku dan Bang Adi, sifatnya pun mirip laki-laki. Walaupun begitu, Kak Andini adalah orang yang paling mandiri dan tidak pernah aku dengar ia mengeluh. Setelah lulus SMA, ia pun ikut Bang Adi merantau ke pulau Jawa. Berbekal ijazah dan kepandaiannya dalam bergaul, ia mendapatkan pekerjaan yang layak. Aku sangat bahagia mendengarnya.
Namun, hari itu pun tiba. Di mana Nenek meninggal dunia. Kami bertiga saudara merasa sangat terpukul. Kembali teringat kejadian saat Ayah dan Ibu meninggal. Kain putih yang membungkus tubuhnya. Wajahnya yang terlihat pucat, tetapi tenang seolah beban di dalam tubuhnya sudah hilang. Aroma kopi yang menyeruak, menambah sesak napas di dada.
Hingga Nenek ditempatkan di peristirahatan yang terakhir, aku masih tidak percaya dengan semua ini. Satu per satu orang yang datang melayat sudah pergi. Kami bertiga saudara masih sedih meratapi kepergian Nenek. Kedua kakakku baru bisa mencari uang. Aku tahu, mereka pasti mencemaskan adiknya yang masih sekolah ini.
"Kalian dipanggil Mak Mus," kata sesebapak kepada kami bertiga. Aku tidak mengerti saat itu dan hanya bisa diam. Namun saat melihat raut wajah Bang Adi dan Kak Andini yang sendu, aku paham. Pasti ada berita yang membuat kami mau tak mau harus menerimanya.
Kami bertiga pun pulang untuk menemui Mak Mus.
"Perasaan aku tidak enak, Bang," cetus Kak Andini.
Bang Adi mengangguk dan mengatakan hal yang sama. Apa yang akan terjadi nanti? Nenek baru saja meninggalkan kami, tetapi cobaan baru sepertinya akan datang.
Kami bertiga sudah sampai di depan rumah. Tidak! Ini bukan rumah kami. Melainkan rumah peninggalan almarhum Nenek. Bukan rumah gedung seperti orang-orang. Hanya rumah panggung yang menjadi ciri khas rumah adat di kota ini.
"Pokoknya kamu harus menentukan kemana anak-anak itu akan pergi. Abang tidak mau mereka tinggal di sini. Abang punya hak atas rumah ini, bukan mereka!" Itu suara Mak Mar, Abangnya Mak Mus. Hidupnya selalu memenangkan gengsi. Kerjaannya hanya menghabiskan uang mendiang Nenek. Pergi ke sana dan ke mari tidak jelas. Ia bilang ingin menjadi pejabat, biar keren katanya.
"Sepertinya cobaan baru akan datang," liring Bang Adi. Kak Andini hanya menghela napas panjang, mencoba menguatkan diri sendiri. Kami bertiga saling menggenggam tangan, menyalurkan kekuatan agar tidak rapuh saat di dalam nanti.
Bang Adi pun mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Kemudian terlihat Mak Mus mempersilakan kami masuk. Di ruang tamu sudah ada Mak Mus, Mak Mar, dan Mak Ida. Mak Mus dan Mak Mar adalah anak dari Nenek sekaligus sepupu Ibuku. Sedangkan Mak Ida adalah kakak kandung Ibuku.
"Silakan duduk," Mak Mus mempersilakan kami bertiga duduk. Tampak wajah Mak Mar tidak suka akan kedatangan kami. Atau mungkin memang menginginkan kami pergi secepatnya..
"Jadi Mak mengumpulkan kalian ke sini untuk membahas tentang tempat tinggal. Ini rumah Nenek yang merupakan orang tua kami. Dan kami akan berunding untuk menentukan siapa yang akan mengasuh kalian selanjutnya," jelas Mak Mus. Sepertinya yang dicemaskan kami bertiga pun terjadi.
"Saya mau kalian pergi dari rumah peninggalan Ibu kami. Kalian tidak punya hak lagi tinggal di sini. Kalian akan tinggal di rumah Mak Ida," cetus Mak Mar.
Kami akan tinggal di rumah Mak Ida? Manusia paling kejam itu? Walaupun ia kakak dari Ibu, namun sikapnya berbanding terbalik. Aku masih ingat saat meminta hak atas hasil sawah milik Ibu yang dititipkan kepadanya. Tau apa reaksinya? Aku langsung dilempar bangku dan disumpah serapahi. Padahal itu sawah milik Ibuku dan wajar aku meminta bagiannya. Diberi hasilnya saja tidak, tetapi malah diberi perlakuan kasar. Aku sempat tidak percaya bahwa Mak Ida itu kakak kandung Ibu.
"Tidak! Aku tidak mau menampung mereka! Membuat susah saja. Bisa-bisa bertambah pengeluaranku!" tolak Mak Ida kasar.
"Bukankah sawah milik Ibu dipegang oleh Mak Ida? Itu saja yang menjadi biaya hidup kami bertiga. Aku tau kok, sawah milik Ibu bukan hanya satu," sahut Bang Adi. Wajah Mak Ida langsung merah padam mendengar perkataan dari Bang Adi. Memang benar kalau sawah milik Ibu itu tidak hanya satu. Tapi tidak tahu berapa jumlah pastinya. Namun, insyaallah cukup untuk menghidupi kami bertiga saudara.
"Kurang ajar! Berani-beraninya kamu berbicara seperti itu pada saya! Sawah Ibumu itu tidak ada! Jadi jangan mimpi!" hardik Mak Ida.
"Apa? Sawah Ibu tidak ada? Jangan seenaknya berbicara ya, Mak. Aku yang menemani Ibu menebus salah satu sawah. Jika Mak bilang tidak ada, berarti Mak pencur*! Bahkan setelah Ibu meninggal, Mak tidak pernah memberikan hasil sawah pada kami. Justru Mak yang menikmatinya!" ujar Kak Andini geram.
"Kalian memang tidak tahu di*i! Sudah untung kalian masih hidup! Masih berbicara mengenai sawah. Pokoknya aku tidak mau menampung anak kurang aj*r seperti kalian!" Mak Ida berbicara sambil menunjuk-nunjuk wajah Kak Andini. Rasanya aku ingin menampar mulut nenek tua itu. Namun tidak aku lakukan sebab masih menghormati keberadaan Mak Mus dan Mak Mar..
"Kami pun tidak ingin tinggal di rumah orang yang memakan harta anak yatim piatu. Ayo, Dek! Kemasi barang-barang kalian. Kita akan pergi dari sini. Orang tua seperti dia tidak usah diladeni," Bang Adi langsung berlalu. Diikuti oleh Kak Andini. Aku pun mengekorinya dari belakang.
Bang Adi memasukkan buku-buku serta baju ke dalam tas. Kak Andini pun melakukan hal yang sama. Aku ikut juga. Setelah ini kami akan tinggal di mana? Aku masih khawatir mengenai kehidupan setelah ini. Apakah akan baik-baik saja?
"Bang, kita akan tinggal di mana nanti?" tanyaku pada Bang Adi yang sedang memasukkan baju ke dalam tas.
"Kita akan pergi ke Jawa. Abang ngontrak di sana. Kita bisa tinggal bersama," jawab Bang Adi.
Merantau ke Jawa? Dari Solok ke Jakarta? Apa ini bisa disebut juga seperti kisah Malin Kundang yang pergi merantau? Ah, tapi Malin Kundang itu durhaka kepada Ibunya. Aku tidak ingin seperti itu.
"Nanti kamu pindah aja sekolahnya, Dek. Kakak sudah bilang sama guru kamu dari jauh-jauh hari," timpal Kak Andini.
Ternyata kedua kakakku sudah mempersiapkan semua ini dari jauh-jauh hari. Feeling mereka tidak salah atas kejadian hari ini. Di mana semua orang akan rebut mengenai siapa yang mengasuh kami bertiga. Aku bertekad ingin menjadi orang yang sukses di kemudian hari dan tidak sombong. Serta berusaha membantu saudara-saudaraku.