"Apa? Siapa yang terluka?"
"Dimana kejadiannya? Beneran ga ada bukti? Bukannya tiap sudut sekolah ini dipantau CCTV ya?"
"Kalau kekerasan tanpa bukti terjadi di sekolah ini, bukankah kita sebenarnya tau siapa pelakunya?"
"Eh, jaga mulut lo. Bisa bisa kita jadi korban selanjutnya"
"Semua guru disekolah ini juga sebenarnya tau siapa yang tidak berada di dalam kelas pada saat kejadian itu terjadi"
"Bukankah ini menyenangkan? Akhirnya kelas dibatalkan, gua gaada persiapan buat test hari ini"
"Gua seneng banget malah kejadian seperti ini terjadi. Gua dengar siswa yang menjadi korban kali ini adalah anak seorang supir. Biarin aja, siapa suruh sampah berani masuk ke sekolah ini"
"Wahhh, darah biru memang tidak pernah salah"
Kembali sekolah SMA Sahardja dipenuhi riuh gunjang-gunjing para siswa. Baru saja seorang pria yang babak belur keluar dari ruang latihan tinju. Seorang diri. Bajunya terlihat sangat kusut, beberapa kancing kemejanya terlepas, dan noda darah di kemejanya jelas tidak sedikit. Pria dengan wajah babak belur itu berusaha keras meminta pertolongan setelah bersusah payah merangkak keluar ruang latihan karena kakinya tak sanggup lagi untuk berdiri. Naas, tak ada yang berniat untuk menolong. Bahkan siswa-siswa itu hanya membuat kerumunan lalu melihat pria itu seperti itu adalah tontonan yang asyik. Tatapan mereka semua hanyalah tatapan menghina, menertawakan, tak satupun merasa iba.
Lia pun melihat kejadian itu dari kejauhan. Kaki nya gemetar. Ia benar-benar merasakan trauma dalam hatinya. Ia kasihan sekaligus ketakutan melihat kejadian itu. Namun ia merasa tak berdaya melakukan apapun. Ia berusaha untuk mengabaikan kejadian itu dan memilih posisi aman, ia tidak akan menolong pria babak belur itu. Tapi batinnya menolak. Apalagi setelah ia melihat pria yang terluka itu sekarang terkapar dilantai.
"Eh, dia masih nafas ga sih? Atau sudah mati?"
"Bukankah lebih baik mati? Ini namanya membersihkan sampah. Seharusnya dia tidak menginjakkan kaki disini"
"Gaji supir cukup ga ya bikin pemakaman buat putra semata wayangnya?"
"Siapa tau bokapnya juga gatau anaknya udah mati. Dipikir nginap disekolah soalnya kursi sekolah lebih empuk daripada kasur rumahnya"
Hinaan itu sama sekali tidak berhenti meski siswa yang babak belur itu sudah pingsan tak berdaya diatas lantai. Baru saja Lia akan berjalan kearah kerumunan untuk menyelamatkan siswa yang babak belur, kerah leher belakang Lia ditarik dari belakang yang membuat langkahnya terhenti.
"Woi, gausah sok baik deh lu. Lu beneran bego atau gimana sih? Mending lo diam disini dan gausah ikut campur. Saran gua buat orang miskin kayak lo, gausa sok jadi pahlawan. Lo lulus dari sekolah ini tanpa skandal adalah kejaiban, mending jaga diri lo sendiri miskin" kata Charlotte sambil mendorong Lia ke dalam ruangan kelas yang kosong.
"Terus lo mau gua gimana? Ga ngelakuin apapun padahal di depan mata gua ada orang sekarat? Hati lo dimana sih?" kata Lia menatap tajam Charlotte dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Heh miskin, gausah sok ngomongin hati deh lo" kata Charlotte yang sekali lagi mendorong bahu Lia. Hampir saja Lia terjatuh namun Lia dengan cepat menahan keseimbangannya dengan memegang meja.
"Pake otak lo miskin. Lo ga seharusnya kasian sama orang lain. Lo harus mikirin nenek lo yang udah bau tanah berharap banyak lo lulus dari sekolah elite ini. Lo satu-satunya harapan hidupnya. Ini otak dipake dong miskin", kata Charlotte sambil memukul-mukul kepala Lia dengan jari telunjuknya,
Kali ini Lia terdiam. Air matanya bercucuran deras tapi tangisannya tidak bersuara. Lia teringat neneknya pagi ini bangun jam empat subuh untuk pergi bekerja. Untuk memenuhi biaya hidup mereka berdua. "Benar, aku hanya perlu belajar dan diam disekolah ini sampai aku lulus" batin Lia.
Charlotte naik keatas meja, lalu menyalakan pemantiknya. Lia yang melihat Charlotte mulai kebingungan dengan apa yang akan dilakukan Charlotte. Lia sedikit ketakutan, ia takut akan disakiti oleh Charlotte. Pemantik itu ternyata diarahkan ke alat pendeteksi kebakaran. Otomatis alarm kebakaran berbunyi, lalu dari atas mereka dan seluruh atap sekolah mengelurakan air. Semua siswa yang berkerumun mulai panik lalu berlarian. Si pria sekarat masih tergeletak di lantai, tak ada yang peduli. Dengan santai Charlotte keluar ruangan kelas tanpa mempedulikan Lia yang dari tadi menatapnya.
Lia mematung. Lalu telinganya menangkap suara sirene pemadam kebakaran. Dari jendela kelas Lia melihat beberapa pemadam kebakaran berlari sambil membawa si Pria sekarat. Sekarang Lia yakin sekolah ini benar-benar kandang singa. Lia harus mengatur langkahnya, untu menjaga jarak aman antar dirinya dengan masalah yang akan selalu ada di sekolah itu.
*Di Warung Kecil yang Berada di Seberang SMA Sahardja"
"Kek, Marlboro nya sekotak"
"Eh, Mba Chacha. Pemantik nya sekalian?" Tanya kakek tua pemilik warung dengan senyum ramah.
"Ga usah Kek. Chacha juga punya nih, pemantik legend", jawab Charlotte dengan senyum yang tidak kalah ramah sambil tertawa kecil.
"Eh Mba, tadi saya lihat ada mobil pemadam kebakaran masuk ke sekolahnya Mba. Ada kebakaran Mba Cha? Tapi kok saya ga lihat ada asap ya Mba?" Tanya kakek dengan wajah penasaran sambil duduk di dekat Charlotte.
"Engga Kek, bukan sekolah yang terbakar, yang kebakar itu Chacha", jawab Charlotte dengan wajah serius.
"Mba Chacha ga kenapa-napa. Piye atuh (gimana sih) Mba Chacha harusnya di bawa kerumah sakit. Mana yang luka Mba? Kebakar dimana?" Tanya Kakek warung tanpa henti dengan nada suara yang benar-benar khawatir.
"Hahahaha, becanda Kek. Hati Cha yang kebekar Kek, nihh, tuh lihat", kata Charlotte dengan senyum iseng sambil memukul-mukul pelan dada nya.
"Eh, si Mba mah bisa aja. Kenapa lagi toh Mba? Dia cuekin Mba lagi? Mas tampan ga bakal tau Mba, Mba suka dia kalo Mba ga kasih tau", kata si Kakek sambil menatap arah sekolah.
"Dih, si Kakek. Kayak ahli percintaan aja. Udah ah Cha gamau curhat hari ini. Cha datang Cuma mau ngasih ini kok", Charlotte memberikan tiga rantangan besar kepada si Kakek pemilik warung.
"Makasih banyak Mba Cha. Tapi kalo terlalu sering seperti ini Kakek jadi keberatan loh menerima pemberian Neng Cha terus-menerus", jawab Kakek itu dengan tatapan lembut.
"Makanya Kek, kalo Cha kasih duit jangan ditolak. Kan Cha jadi repot bawain rantangan tiap hari", kata Cha bercanda sambil mengedipkan matanya.
"Hahaha, Mba Cha bisa aja. Sebagai gantinya, nanti Kakek pasti nonton deh kalo Mba Cha muncul di TV lagi"
"Oiya harus dong Kek. Jangan lupa dihabisin. Dosa loh Kek buang-buang makanan", Charlote kembali menghisap rokoknya.
"Marlboro satu Kek", kata suara berat yang tiba-tiba datang mengganggu momen bahagia si Kakek Warung dan Charlotte
"Sebentar Mas, saya ambil. Mba Cha saya kedalam dulu ya ambil rokok sekaligus letakin rantang kedalam", kata Kakek sambil berdiri meninggalkan bangkunya dan Charlotte.
Charlotte hanya menjawab dengan anggukan.
"Enteng banget hidup lo ya. Abis mukulin orang sampe sekarat, sekarang malah ngerokok", kata Charlotte sambil melempar senyum sinis.
"Lo juga nontonin gua. Jujur aja lo senang kan?" kata suara berat itu tepat di dekat telinga Charlotte.
"Lo ga melerai gua pas di ring tadi. Kita sama Cha, itu yang bikin kita disini bareng sekarang", suara itu benar-benar didepan wajah Charlotte, sangat dekat, jarak hidung mereka hampir tidak ada, sedikit bergerak saja bibir mereka akan bersentuhan.
Jarak diantar mereka terlalu dekat dan berbahaya.