"Sejujurnya, gua mikir sekolah disini bakal jadi kenangan yang indah. Hanya beberapa siswa yang benar-benar istimewa yang mendapat tawaran beasiswa dari SMA Sahardja."
Tulis Lia di akhir lembar buku hariannya. Lia menutup buku hariannya lalu menyimpan semua bukunya ke dalam tas dan bersiap untuk pulang. Hari ini Lia harus bergerak cepat karena ada jadwal bekerja paruh waktu di salah satu cafe kopi ternama. Sambil menelusuri koridor mewah SMA Sahardja, Lia mengingat-ingat kembali saat ia memutuskan untuk menerima tawaran beasiswa SMA Sahardja.
"Jangan pernah merasa rendah diri karena tidak lahir di keluarga kaya. Percaya dirilah bahwa kamu bisa masuk ke sekolah ini. Tunjukkan kemampuan terbaikmu. Jangan merasa dibatasi oleh status sosial maupun finansial. Ini adalah masa muda emasmu. Semua orang pasti memiliki mimpi dan yang paling penting adalah memperjuangkannya. Tegakkan kepalamu dan pandang kedepan, masa depan cerah menantimu", Gadis cantik diingatan Lia itu terlihat sangat tulus dan bersungguh-sungguh ketika mengeluarkan tiap kata-kata motivasi nya di televisi.
"Ini sama sekali ga seperti yang gua bayangin", kata Lia pelan kepada dirinya sendiri setelah Lia melihat Charlotte yang sedang duduk di warung kecil seberang SMA Sahardja sambil memegang sebuah rokok. Dari depan gerbang sekolah Lia bisa melihat jelas asap keluar dari mulut Charlotte.
"Dialah alasanku memutuskan untuk sekolah di SMA Sahardja. Saat itu, Charlotte adalah siswa yang paling sempurna bagiku", kata Lia lagi pada dirinya sendiri.
Lia masih mengamati Charlotte yang sekarang sedang menempelkan plester luka di tangan pria yang duduk di depan Charlotte. Hati Lia merasa sangat terluka. Entah karena Charlotte yang tidak sesuai ekspektasi Lia, atau karena pria yang sedang diobati Charlotte adalah Edgar.
"Brrrrrmmmmm, tin tin", suara motor besar yang diikuti klaksonnya membuyarkan pandangan Lia.
"Mau pulang bareng ngga? Mumpung gua gaada les private hari ini", kata Reygan lembut sambil tersenyum
"Mm, tapi kita ga searah Rey. Terus gua juga ga punya..."
"Nih Helm, gausah banyak alasan lo. Cepetan naik, liat noh ada mobil mau keluar", Kata Rey sambil memberikan helm ke Lia.
Lia mengangguk sambil tersenyum senang. Lalu segera memegang bahu Rey untuk membantu kakinya yang pendek naik ke motor Rey yang besar dan tinggi.
"Gua ijinin deh nona cantik peluk gua hari ini. Biar
ga jatuh kasian nanti lecet", kata Rey sedikit berteriak agar terdengar karena bisingnya jalan raya.
"Ga usah Rey, kayaknya…..", belum sempat Lia menyelesaikan kalimatnya, Rey sudah memutar gas tangan motor nya yang membuat Lia spontan memeluk Rey. Sayang sekali Lia tidak bisa melihat ekspresi Rey yang tersenyum kegirangan.
*Warung Kecil seberang SMA Sahardja"
"Aaaauuuu…..", ringis Edgar sambil kembali melihat lukanya yang sedang diobati Charlotte
"Dihh, cengeng banget percuma otot gede-gede luka gini aja perih", jawab Charlotte sambil dengan sengaja menekan luka Edgar lalu menempel plester.
"Lo nya aja yang kasar banget. Ngobatin luka pake tenaga petinju. Ga perlu lo pake ilmu sabuk hitam bela diri lo buat nempelin plester, Nyet..", kata Edgar sambil menyentil jidat Charlotte
"Aauuu, gaada otak lu ye nyentil-nyentil gua. Abis lo liatin apasih tadi sampe gua ngomong lo ga dengerin?", Charlotte mengeluh dengan muka gemasnya sambl mengusap-usap jidatnya.
Edgar memilih tidak menjawab. Ia teringat ketika ia melihat Lia yang dibonceng Rey tadi. Terlihat sangat kompak. Bahkan, sangat romantis. Namun entah mengapa hati kecil Edgar tidak menyukainya.
"Woi Nyett, malah bengong lagi. Kenapa lo? Kesurupan arwah cowo yang lo pukulin tadi?" Tanya Charlotte bercanda sambil mengambil sebatang rokok Edgar.
"Bukan urusan lo Nyett. Udah ah gua mau balik. Liat nih dijidat monyet ada obat merah, padahal gua yang luka", Edgar membersihkan noda betadine di jidat Charlotte dengan sapu tangan.
"Kek, rokoknya Cha yang bayar ya", Edgar berdiri dari tempat duduknya lalu memasukkan kembali sapu tangannya kedalam saku belakangnya. Ia melambaikan tangan kearah Charlotte namun tidak menoleh sama sekali.
Charlotte terdiam, ia tersipu. Entah mengapa ia merasakan suatu getaran kali ini, padahal sudah 6 tahun mereka berteman, bahkan sangat dekat. Ia membuang sisa batang rokoknya yang masih banyak lalu meletakkan uang serratus ribu di meja warung kakek.
Baru saja Charlotte melangkah meninggalkan warung Kakek, handphone nya berdering.
Terlihat nama kontak "Shit Dad" di layar handphone nya. Charlotte memutuskan untuk tidak pulang ke rumah. Tapi Charlotte mengingat sesuatu. "Eh Nyett, ntar lu pulang ke rumah, jangan ke hutan. Kalo lo benci bokap lo, setidaknya nyokap lo tetap orang yang lahirin lo. Nyokap lo berhak tau kabar lo gimana", kata Edgar tadi sebelum meninggalkan Charlotte.
Entah keajaiban apa yang membuat Charlotte mendengarkan kata-kata Edgar, ia memutuskan untuk pulang ke rumah setelah tiga bulan ia memilih tinggal di hotel termegah kota itu, hotel milik Ibunya.
*Rumah Charlotte*
"Bi, Mommy mana?", Tanya Charlotte kepada pembantu dirumahnya yang sedang menyiapkan segelas air dan obat-obatan.
"Di kamar Non, ini Bibi juga mau ke kamar Nyonya", jawab Bibi sambil mengangkat nampan yang sudah disiapkan.
"Mommy sakit Bi? Sakit apa? Sejak kapan?", tanya Charlotte lagi dengan wajah panik
"Mm, anu Nonn. Aduh Bibi susah jelasinnya, Yok ke kamar nyonya dulu", ajak Bibi yang kebingungan
Charlotte melempar tas nya sembarangan lalu berlari ke kamar utama milik orangtuanya. Jaraknya cukup jauh mengingat rumah ini sangat luas. Bibi berlari kecil dn hati-hati karena membawa nampan berisi air.
"MOMMY!!!!", teriak Charlotte karena kaget melihat ibunya tergeletak di atas karpet yang menjadi alas lantai.
"Momm!!!! Mom bangun mom!!", teriak Charlotte yang sudah mulai menangis sambil menggendong kepala ibunya itu.
"BI! BIBI! CEPAT TELEPON AMBULANCE SEKARANG!", perintah Charlotte dengan berteriak ketika Bibi baru saja masuk ke dalam kamar utama.
"Daddy mana Bi?", kata Charlotte sambil menangis terisak-isak.
"Dilantai dua Non. Mm, tapii…",
"Bibi tunggu disini ya sampai ambulance datang. Aku panggil Daddy dulu", Charlotte memindahkan kepala ibunya kepangkuan Bibi lalu langsung berlari keluar kamar utama.
Belum sampai di ruang bekerja ayahnya yang terletak di lantai dua, Charlotte menghentikan langkahnya di depan kamar tidur tamu yang pintunya sedikit terbuka. Ia berjalan perlahan melihat kedalam kamar tidur tamu yang seharusnya kosong.
Hancur sudah perasaan Charlotte. Selama ini ia membenci ayahnya meski dirinya hanya mendengar gosip miring mengenai ayahnya itu. Dan kali ini Charlotte melihat dengan mata kepalanya sendiri, AYAHNYA BERSELINGKUH. Ayahnya bermesraan dengan wanita lain di rumah milik ibunya. Hati Charlotte hancur tapi ia masih penasaran dengan wajah wanita selingkuhan ayahnya yang terlihat tidak asing. Charlotte melihat dengan jelas wajah wanita sialan itu, Dokter Indira. Dokter pribadi keluarga itu. Sekarang nafasnya terhenti, ia tak sanggup berkata apapun. Emosi Charlotte memuncak. Ia melangkah berniat memukuli ayahnya yang brengsek dan wanita murahan itu dengan kemampuan bela dirinya yang sudah ban hitam.
Namun terhenti karena terdengar suara ambulance. Ia memutuskan kembali ke kamar ibunya. Ia berlari sekuat tenaga hingga terjatuh di tangga. Segera Charlotte berdiri kembali dan tidak menghiraukan memar di lutunya.
Charlotte mengikuti petugas ambulance yang mengangkat ibunya hingga kedalam mobil.
"Ada anggota keluarga yang ingin ikut", Tanya petugas ambulance.
"Bi, Bibi aja ya yang ke rumah sakit nemanin Mommy, nanti aku nyusul", kata Charlotte kepada Bibi dengan wajah memohon sambil mendorong Bibi pelan kearah ambulance.
Charlotte tak sanggup menghadapi ibunya yang sekarat sekarang. Ia merasa bersalah pada ibunya. Setelah ambulance pergi, Charlotte masuk ke dalam mobil sport merah miliknya.
Sebelum Charlotte menyalakan mesin mobilnya, Charlotte menelepon seseorang, "Urgent nih, ketemu di tempat biasa ya."