Lela melangkah ke dapur. Setelah berhasil membuka pintu kamar yang tadi sempat terkunci. Di dapur, Mili dan ibunya sedang makan dengan lahap. Lela terdiam, dengan tatapan penuh kekosongan.
"Lela, sini! Makan sama kita!" ajak Miranda. Seraya menyeruput mie kuah di mangkuk yang terbuat dari bahan keramik.
Lela tersenyum, lalu mendatangi kursi yang ada di samping kursi Mili. Ia duduk lalu menerima semangkuk mie dari Miranda. Saat hendak mengambil mie dengan garpu untuk dimakan. Ia melihat cacing yang saat ini sedang bergerak naik, berusaha untuk melilit garpu, mendekati tangan Lela yang sedang memegang garpu itu. Lela tersenyum, lalu meletakkan lagi garpu ke mangkuk.
"Saya ingin makan nasi," ucapnya.
Mili melirik Lela dengan masih memakan mie. Mie yang ia sedang makan itu, berubah menjadi cacing yang saat ini sedang bergerak kesakitan. Dengan mudahnya dan tanpa tahu apa yang saat ini ia makan, Mili lalu menyedot habis mie hingga masuk seluruhnya ke mulutnya. "Jangan banyak tingkah, makan saja yang ada!"
"Mili, nggak baik ngomong gitu sama tamu kita!" omel Miranda. Lantas ia kembali meladeni Lela. "Nanti saya pesan. Untuk itu, yang ada hanyalah ini."
Lela tersenyum manis. Ia berkedip sekali, seraya menggeleng lemah. "Saya akan cari makan di luar. Maaf, saya pergi dulu. Mungkin malam baru pulang."
Mili mencibir saat Lela telah meninggalkan ruang makan. "Dasar sombong!"
"Mili, kamu jangan bikin dia marah, dong! Bagaimanapun juga kita perlu bantuannya," bujuk Miranda.
"Mili, nggak suka aja dengan gayanya. Terlalu sok cantik." Mili segera menghabiskan mienya, lalu pergi.
Miranda mendesah. Mencoba memaklumi sikap tidak bersahabat putrinya kepada Lela. Miranda segera menghabiskan makanannya, juga makanan Lela. Setelah itu ia membereskan meja. Selanjutnya mencuci piring. Miranda sedang asyik mencuci, tiba-tiba ia mendengar suara langkah yang dibarengi dengan suara air. Bagi Miranda seperti seseorang yang sedang berjalan dengan kaki kotor penuh lumpur. Namun, di saat ia berbalik. Tidak menemukan siapa pun di sana.
"Apa karena aku terlalu asyik, hingga mendengar sesuatu yang sebenarnya tidak ada?" lirihnya.
Sementara itu di kamar Mili. Gadis ini baru saja melangkah untuk membuka pintu. Namun, hawa menyeramkan sudah dapat ia rasakan. Mili menelan ludah dan memberanikan diri untuk masuk. Mili menyapu habis seluruh area kamar. Sejauh ini aman. Tidak ada tanda bahwa adanya makhluk gaib yang dikatakan oleh warga sekitar. Mili meletakkan tasnya. Lalu duduk di tepi ranjang, beralaskan seprai merah muda.
"Mama, Mili tidur dulu, ya?" seru Mili.
Namun, ibunya tidak mendengar. Justru ada suara lain yang menjawabnya. "Jangan tidur senja!"
"Hah!" Mili terkejut. Ia segera bangkit dari tempat tidur. "Si--siapa tadi yang menjawabku?" Mili segera mengedarkan pandangannya. Tangannya refleks mengusap tengkuknya yang saat ini panas dingin.
"Mili, kamu ngapain?" Suara Miranda.
Mili langsung berbalik. "Itu Ma--" Mili terkejut, saat tahu ternyata Miranda tidak ada di depan pintu kamarnya. Sontak Mili berlari keluar kamar. "Mama! Mama!"
Miranda terheran, melihat jejak langkah di lantai bekas kaki penuh lumpur dari ruang tengah menuju ke kamar mandi. Kebetulan kamar mandi itu saat ini berada di dekat dapur. Miranda penasaran, ia mengikuti jejak itu hingga ke kamar mandi. Namun, saat ia perlahan membuka pintu kamar mandi. Tak ditemukan apa pun di sana.
"Mama!" teriak Mili. Langsung menubruk ibunya.
"Aduh, Mili. Bikin kaget mama saja." Miranda mengusap dada. "Kenapa kamu?"
Mili menelan ludah dan mencoba menetralkan lebih dulu perasaannya.
"Hei, ngomong!" desak Miranda karena tidak sabar ingin tahu alasan putrinya.
"Mama, di rumah ini ada hantunya. Mili, takut!"
"Ah, masa? Kamu mengada-ada saja."
"Beneran, Ma!"
Miranda tersenyum sambil mengusap pundak kanan putrinya. "Kamu kebanyakan baca buku horor. Makanya sampai berhalusinasi begitu."
"Ta--tapi seperti nyata. Mili, nggak bohong!" Sesekali Mili mengedarkan pandangannya ke segala arah.
"Sudahlah. Kalau kamu takut, mending duduk di kursi. Terus lihat mama bersihkan lantai."
"Iya, Ma." Mili akhirnya menuju meja dapur. Di sana ada kursi plastik warna biru kalem. Ia duduk sambil memperhatikan ibunya mengepel lantai dengan menggunakan sapu pel. Mili sempat dibuat heran dengan jejak setapak yang kotor di lantai itu. Namun, ia diam dan mengira itu jejak langkah ibunya.
"Mili, tolong angkat kakimu!" perintah Miranda, saat akan membersihkan lantai tempat Mili duduk.
Mili pun berdiri di atas kursi. Awalnya ia hanya ingin melihat ibunya. Namun, justru melihat ke atas lemari tempat menyimpan perabotan. Mata Mili melotot, ia menegang. Lili segera turun dari kursi, lalu memegang lengan ibunya. "Mama!"
"Kenapa? Mama, lagi bekerja, nih."
Mili akan bercerita, tetapi ia segera mendengar langkah yang tadi sempat didengar Miranda. Mili reflek berpaling ke pintu menuju ruang makan. Ia memucat saat melihat tapak kaki kini makin banyak dan lantai yang dibersihkan oleh ibunya tadi, juga tak luput dari jejak itu.
"Hei, kami kenapa?" tanya Miranda. Ia bingung karena Mili terlihat syok. Sehingga wajahnya memucat. "Mili, kamu kenapa, Nak?"
Mili terkejut, ia segera melihat ibunya. "Mama, sebaiknya kita pergi dari sini!"
"Hanya di sini rumah mewah yang bisa kita sewa dengan harga murah," dalih Miranda.
"Tapi Mili takut, Ma!"
"Hanya untuk beberapa hari saja. Kalau kamu tidak betah, kamu bisa menginap atau tinggal di tempat orang yang kamu kenal," saran Miranda.
"Mama, beneran nggak masalah, kalau, Mili, tidak di sini? Mama, nggak takut?"
"Iya."
"Baik. Mili, pergi. Jaga diri, Mama."
Mili segera meninggalkan rumah itu. Walau kini perasaannya khawatir terhadap ibunya. Namun, sang ibu lebih memilih tetap tinggal daripada ikut bersamanya.
Kini tinggal Miranda yang sendiri di rumah itu. Ada sesuatu yang mengawasinya sedari tadi. Sehingga terkadang Miranda selalu was-was dan sering lirih bertanya tentang suara dan seorang yang mengawasinya.