Miranda mengomel saat melihat dedaunan kering yang berserakan di meja tamu dan lantai. Pintu pun terbuka lebar. "Mengapa anak itu tidak menutup pintu? Mili-Mili!"
Miranda lalu menutup pintu. Lantas menuju ke dapur untuk mengambil sapu dan sekop. Saat Miranda ke dapur. Ia kembali dihadapkan pada sesuatu yang membuatnya semakin lelah. Pasalnya lantai yang baru saja ia bersihkan, kini justru kembali kotor seperti semula. Bahkan tempat mereka makan tadi. Nasi dan piring juga berserakan. Miranda makin geram.
"Siapa orang aneh yang berbuat ini?!" Saat sedang mengomel, Miranda kembali dikejutkan oleh suara dari luar. Brak! Kriet! Kriet! Suara pintu yang kini sedang mengayun. Terbuka tutup sendiri. Bahkan daun kering sampai masuk hingga ke tempat ia berdiri saat ini. "Loh, kan, jaraknya jauh. Kok, bisa ini ada?" Akibat penasaran, akhirnya Miranda kembali ke ruang tamu. Saat ia tiba. Perempuan ini kembali terheran, karena pintu masih tertutup. Daun kering yang tadi berserakan juga sudah raib. Bersih tak ada apa pun.
Sementara itu, di tempat lain. Lela sedang menikmati segelas teh hangat pinggir jalan. Ia duduk di antara para lelaki hidung belang yang sedari tadi menatapnya penuh dengan kenakalan. Namun, Lela tak menghiraukan mereka. Gadis ini tetap bersikap santai.
Ponsel Lela berdering, saat itu Lela melambai kepada seorang pemuda tampan berbaju kuning tanpa lengan, alias kaus singlet. Mereka yang sedari tadi sedang curi pandang kepada Lela, langsung saja melihat ke arah pemuda tampan itu. Kini pemuda tampan itu menjadi pusat perhatian mereka. "Sudah lama aku menunggu," keluh Lela. Wajahnya nampak cemberut. Walau sedikit dihiasi dengan senyum.
"Maaf. Apakah Anda yang namanya Lela?" tanya pemuda ini, sambil duduk karena Lela menggeser duduk untuknya.
"Ya, aku Lela."
"Saya Jimi. Senang bertemu dengan Anda, Nona." Jimi mengulurkan tangan.
Lela langsung menyambutnya. "Mau pesan minuman?" tawar Lela.
"No. Saya hanya ingin membahas masalah saya."
"Kalau begitu minumlah minuman saya. Anda memerlukannya agar tidak syok." Lela menyodorkan gelas miliknya.
Jimi malu, ia bahkan menggaruk pipi kanannya sambil menerima gelas dari Lela. Baginya meminum dari gelas gadis secantik Lela, adalah hal yang memalukan. "Saya akan pesan, deh. Biar nggak terkesan saya ini cuma datang bawa badan doang."
"Oh, begitu." Lela kembali mengambil minumannya.
"Pesan teh hangat, ya, Bang!" seru Jimi.
"Sip, Dek!" sahut si pemilik warung kaki lima.
Jimi memandang jalan di hadapan mereka. Kendaraan lalu lalang. "Apa yang harus saya lakukan untuk memenuhi syaratnya?"
Lela meraih teh pesanan Jimi yang diberikan oleh pemilik warung kaki lima itu. "Biar saya saja. Terima kasih." Lela segera menyerahkan gelas itu kepada Jimi.
Jimi menyambutnya sambil menanti jawaban dari Lela. Ia bahkan meniup lalu meminumnya. Setelah itu ia kembali bertanya, "Anda belum jawab yang tadi."
"Kita bicarakan itu di tempat lain, Jimi."
Jimi melirik sekitarnya. Memang tidak layak ia dan Lela harus membahas tentang persoalannya. Oleh karena itu, Jimi pun menurut. Lela telah menghabiskan tehnya. Ia berdiri kemudian membayar pesanan .
"Berapa, Bang?" tanya Jimi sambil meletakkan gelas di meja.
"Sudah dibayar sama cewek yang tadi, Dek!" sahut abang itu.
Jimi terkejut, ia langsung berpaling untuk protes kepada Lela. Namun, Lela justru telah berada di seberang jalan. "Ih, kenapa malah aku ditinggalkannya!" Jimi segera berlari.
Tepat saat itu ketiga lelaki kini sedang mengikuti Lela. Awalnya Jimi mengira, mereka sejurusan yang sama dengan Lela. Namun, dilihat dari gelagatnya. Nampak lain. Ketiga lelaki itu kini saling mendahului jalannya Lela. Untuk menarik perhatian Lela.
Lela masih bersikap santai. Tidak terpengaruh dengan mereka. Bahkan kali ini Jimi sengaja berlari kemudian menariknya ke pelukannya. "Jimi!"
"Mereka mengincarmu," bisik Jimi. Pemuda ini segera mengajak Lela untuk berada di tengah keramaian.
Ketiga lelaki berbadan besar itu kini mengikuti mereka. Walau keramaian, mereka tidak pernah melepaskan buruannya. Jadi usaha Jimi ini, untuk menghindari kejahatan mereka sebenarnya sesuatu yang keliru.
Lela dengan santainya berhenti di depan pertokoan yang masih ramai akan pembeli. "Mau ke mana kita?"
"Tentu saja mencari tempat yang aman," jawab Jimi.
"Apa kamu lihat mereka?" Lela melirik ke belakang Jimi.
Jimi pun berbalik. Betapa jengkelnya ia saat melihat mereka masih setia berada di belakangnya. "Biar saya telepon polisi."
Lela menyentuh lembut tangan kanan pemuda itu. Memberinya isyarat agar tenang dan tidak perlu gegabah.
"Tapi mereka-" Jimi akan protes.
"Tidak perlu dipikirkan. Ayo, kita mengobrol di atas!" Lela menunjuk sebuah cafe yang bangunannya berada di lantai dua dari toko di hadapannya.
Jimi pun tersenyum. Ia segera menarik Lela ke sana. Lela dan Jimi menaiki anak tangga untuk sampai di sana. Mereka pun juga mengikuti hingga ke tempat itu. Lela mengambil duduk hanya berdua saja dengan Jimi. Tepat di paling ujung dari pembatas cafe dengan balkon.
"Sekarang ceritakan masalahmu!" perintah Lela.
Sebelum Jimi bicara, ia diserobot langsung oleh pelayan cafe itu. "Ya?"
"Mau pesan apa, Kak?" tanya pelayan itu, sambil menyerahkan lembar menu kepada Lela dan Jimi.
Jimi membaca menu. "Saya mau pesan donat cokelat dan minumnya kopi susu saja, ya!"
"Kalau saya maunya kentang goreng dan juga minumnya cokelat hangat!" pinta Lela.
"Silakan ditunggu, Kak," jawab gadis berumur 17 tahun ini.
Setelah pelayan muda itu pergi. Jimi lalu menghela napas dan mulai berbicara, "Saya ingin tahu dulu syaratnya. Berapa uang yang harus saya bayarkan?"
"Syaratnya susah-susah enak, sih." Lela terlihat enggan bernegosiasi.
"Apa itu? Mahalkah?"
"Sangat mahal sekali, tapi bukan uang."
Jimi sedikit heran. "Bukan uang, tapi mahal?"
"Iya. Maukah?"
"Apa itu, Nona?"
"Apa pun itu. Syaratnya cuma satu. Jadilah kekasihku!"
Otomatis pemuda ini tertawa gelak. Ia mengejek syarat dari Lela yang katanya sulit itu. Padahal apa susahnya jika Lela ingin? Tentu pemuda ini akan menyanggupinya. Bahkan akan rela bila harus menikahi perempuan secantik Lela.
"Ini tidak sulit, Nona. Saya akan sangat mau sekali."
Lela tersenyum maklum. Sebab pemuda ini tidak mengetahui risiko dari mendekatinya. "Aku ingin kamu menjadi pacarku. Semua yang kamu mau akan aku turuti. Kecuali berhubungan badan. Maaf, itu nanti setelah kita menikah. Intinya maukah kamu menjadi pacarku? Bila kita cocok maka aku akan menikah denganmu."
"Hanya itu? Tidak ada yang lain?"
"Tidak."
"Apa kamu memang naksir dengan saya? Sehingga baru kenal saja sudah mengajak seriusan."
Lela menggeleng lemah. "Tidak. Saya butuh suami."
"Kamu butuh suami?" Jimi heran. Tidak naksir, tetapi butuh suami sebagai syarat. Ia nyaris tertawa dengan keunikan pikiran Lela. "Apa kamu sedang diburu-buru jodoh? Saya rasa kamu bisa mendapatkan lelaki mana pun dengan mudah."
"Intinya kamu mau atau tidak? Jika ya, kita lanjutkan. Jika tidak maka mundurlah sebelum terlanjur menyesal!" tegas Lela.
"Oke-oke. Saya tidak akan membuat keributan. Intinya saya mau jadi pacarmu dan saya juga siap untuk menikahimu."
"Baik, kalau begitu ceritakan masalahmu!" perintah Lela.
Sebelum menjawab, Jimi diam dulu untuk memersilakan pelayan menyajikan makanan mereka di atas meja. Setelah pelayan itu pergi. Kini barulah ia bicara, "Saya ingin mencari pembunuh almarhum ibu saya. Saya curiga kalau ibu tiri saya yang berbuat demikian. Sebab rencananya harta warisan akan dibagi dua oleh ayah saya saat mereka akan memutuskan bercerai pada Senin nanti di pengadilan."
"Apa gunanya anak kalau kamu masih saja cemas?" sindir Lela.
"Ya, tidak ada yang saya cemaskan. Warisan pasti jatuh ke saya, tapi saya juga ragu. Sebab adik saya juga wafat di hari yang sama. Jadi untuk menyelamatkan hidup saya sendiri, saya harus cari tahu siapa orang itu."
Lela mengangguk paham. Ia mulai menerawang. Namun, terawangannya terhenti saat mendengar ketiga lelaki itu kini sedang mengejek Jimi yang sedari tadi terlihat melirik mereka. Akhirnya Lela pun menoleh pada mereka yang telah mengusik konsentrasinya. "Mereka sudah keterlaluan!"
"Hei, akhirnya kamu melihat kemari!" seru salah seorang dari ketiga lelaki itu. Lelaki ini berambut tipis. Memiliki bekas luka di leher sebelah kiri dan pipi kanannya. Mengenakan pakaian tipis berwarna hitam. Sehingga bila terkena cahaya lampu, maka akan terlihat pula otot perutnya.
"Apa kita cari tempat saja?" tanya Jimi.
"Tidak perlu. Biarkan saja. Mereka memang tidak usah kita hiraukan. Anggap saja kentut yang berbunyi."
"Hei, sial! Beraninya cewek itu menghina kita!" protes lelaki bertubuh sedikit tambun. Ia mengenakan baju kaus putih tanpa kerah.