Kelana terkejut saat bantal yang sedang ia mesrai kini berubah menjadi bantal guling. "Heh, Lela, ke mana?" Ia lalu berdiri dan mencari-cari sosok Lela. Tepat saat ia berbalik dan mendapati Lela kini berdiri sembari bersandar pada bingkai pintu sebelah kiri. Di saat itu pula Kelana langsung berbalik malu. Ia bingung harus bagaimana untuk menunjukkan wajahnya pada Lela. "Kenapa aku bisa seperti tadi? Aduh, malunya!"
Lela perlahan mendekati Kelana. Sikapnya tenang, walau perasaannya kini sedang penasaran dengan isi pikiran pemuda itu. Namun, Lela berusaha untuk mencairkan suasana. Agar Kelana tidak malu atau bahkan tidak lagi berani menunjukkan diri di hadapannya.
"Kelana," panggil Lela.
"Ya," jawab pemuda ini pelan. Ia beranikan diri untuk menatap cintanya.
"Aku ingin mandi dulu. Apa kamu keberatan untuk menungguku?"
"Tidak. Mandilah dulu."
Lela tersenyum tipis. Lalu menuju ke kamar mandinya. Saat ia menyalakan air. Darah tiba-tiba mengalir dari keran itu. Namun, Lela tak ambil pusing untuk masalah itu. Ia tetap mandi. Sedangkan Kelana saat ini dengan sabar menantinya di luar kamar.
2 jam berlalu. Nyaris pemuda ini mengantuk. Lela mandinya sangat lama. Sehingga ia pun penasaran dan segera memeriksa. Saat membuka pintu. Ia terkejut di saat Lela ternyata sedang asyik melilitkan air yang ia bentuk bagai sebuah selendang di tubuhnya. Kelana dapat melihat air penuh darah itu kini menutupi tubuh tanpa sehelai benang pun itu.
Lela terkejut. Sontak air berhenti melilit, kini jatuh begitu saja. Sehingga terlihatlah pemandangan indah dirinya. "Kau!"
***
Kelana dan Lela kini sedang duduk di sebuah cafe. Pemuda itu memesan kopi dan Lela memesan jus anggur dan kentang goreng. Sedari tadi Kelana hanya menunduk. Tak berani menatap langsung Lela. Kejadian tadi pagi membuatnya malu sekaligus takut kalau Lela akan menjauhinya.
"Sekali lagi aku minta maaf. Bukan maksudku untuk melihat," ucap Kelana.
Lela hanya menikmati kentang gorengnya. Ia sengaja mengabaikan Kelana. Ingin memberi jera terhadap pemuda tampan di hadapannya itu.
"Lela, apa kamu masih marah?" tanya Kelana.
Lela berhenti makan. Lalu mengambil tisu. Ia mengusap bibirnya setelah itu menjawab, "Aku kecewa, Lan. Kamu tidak bisa menjaga etikamu."
"Maaf. Aku mengira ada apa-apa denganmu. Jadi aku bertindak ceroboh tadi."
Lela bersandar lalu melipat kedua tangan. "Aku akan menikah."
Kelana tersenyum. "Ya, aku tahu."
"Apa kamu cemburu?" selidiknya.
"Pasti."
"Kelana."
"Ya," jawab Kelana sembari membalas tatapan Lela.
"Setelah ini aku harus bertemu dengannya. Jadi kamu tidak perlu mengantarku pulang. Aku cukup di sini saja untuk menantinya."
"Jam berapa?"
"3 jam lagi. Kamu dan aku masih ada waktu. Ke hotel misalnya?" uji Lela. Ia ingin tahu apakah Kelana mau diajak olehnya.
"Kalau kamu mau," jawab Kelana sungguh-sungguh.
Lela tersenyum. "Apa kamu siap mati?"
Kelana menatap kedua mata Lela. Ingin mengetahui rahasia dari pikiran perempuan itu. Namun, sejauh ini ia tak dapat menebaknya. "Lela, aku siap. Jadikan aku pemudamu."
Lela menggeleng lemah. Lalu mendesah berat. "Aku tidak akan membiarkanmu tewas, Tuanku. Kau adalah orang yang membuatku bisa hidup hingga kini."
"Lela!" desak Kelana.
"Andai kau jodohku aku pasti mau. Namun, bagaimana kalau bukan? Aku tidak ingin mengambil risiko. Maaf, Tuan."
"Jangan sebut aku 'tuan' aku merasa berat dengan sebutan itu!" bantah Kelana.
Lela menunduk. Sembari memainkan jemarinya. "Kelana, apa kamu akan terus membayangkanku seperti tadi? Mencumbuku?"
Kelana malu kembali. Baru saja ia dapat mengalihkan pikiran itu. Sekarang Lela mengungkitnya lagi. "Kenapa? Apa kamu keberatan? Aku begitu karena sulit mendapatkanmu. Aku ingin menikahimu, Lela."
Lela tersenyum simpul. Meragukan ikatan pernikahan yang diharapkan oleh Kelana akan berjalan baik. "Ingat kutukanku. Kamu akan tewas bila masih memaksakannya."
"Aku nggak peduli!"
Lela berani menatap pemuda itu lagi. Lalu berkata, "Apa aku harus menjauh agar kamu melupakanku, Kelana? Terus terang aku nggak sanggup. Walau aku sering berkata lain padamu, tapi aku ..." Lela diam sesaat. "Aku menganggap kau adalah teman yang sangat baik dan pantas untuk dipertahankan."
"Tidak bisakah teman ini menjadi suamimu? Kita bisa menikah, tapi tidak saling melengkapi seperti hubungan mesra di ranjang. Aku akan tahan."
Lela meringis mendengar usulan Kelana. Menurutnya, lelaki selalu ingin dilayani urusan cintanya. Bila tidak terpenuhi. Bisa jadi akan mencari perempuan lain di luar sana. Daripada itu, ia lebih baik tidak perlu menikah. Daripada nantinya terlanjur jatuh cinta kepada Kelana.
"Lela, menikahlah denganku?"
"Lupakan, Kelana! Menikahlah dengan perempuan yang mencintaimu." Lela lalu meletakkan beberapa lembar uang untuk membayar makan mereka.
"Ke mana?" tanya Kelana sambil meraih tangan Lela. Tatapannya penuh harap ingin Lela tetap tinggal lebih lama lagi bersamanya. Namun, Lela perlahan menepis, lalu pergi. Membuat Kelana kini bergegas mengejarnya setelah memanggil pelayan cafe untuk segera mengambil uang yang diberikan olehnya. Sedangkan uang Lela, kini ia ambil untuk diberikan kepada Lela.
"Lela!"
Lela berhenti. Tanpa berbalik, perempuan jelita ini menanti Kelana tiba di hadapannya. Setelah Kelana berada di hadapannya. Ia langsung kesal karena Kelana memaksakan tangannya untuk menerima uang traktirannya tadi. "Ini?"
"Aku masih punya harga diri, Sayang. Nggak mau aku dibayarin sama cewek. Apalagi pacarku."
Lela berpaling ke arah kanan. "Aku yang mengajakmu."
"Itu tandanya kamu menyukaiku, Lela. Jangan memungkirinya!"
Lela kembali menatap Kelana. Beberapa detik kemudian ia beralih ke sebuah mobil mewah Ferrari berwarna merah yang berhenti tepat di belakang Kelana. Seorang pemuda manis kini mendatanginya. Dialah Jimi. Dengan balutan kaus putih tanpa kerah dan celana levis hitam. Membuat pemuda dengan berjalan santai itu semakin terkesan sederhana dan manis. Shandi heran melihat tatapan Lela beralih pada sesuatu, maka ia segera berbalik.
"Apa kamu sudah siap?" tanya Jimi. Ia melewati Kelana.
"Su-"
"Tunggu!" cegah Kelana. Ia segera menarik Lela yang tadi akan menyambut tangan Jimi untuk masuk ke mobilnya.
"Mau ke mana, sih?" protes Lela. Ia ditarik hingga ke belakang sebuah truk yang terparkir di dekat pohon. Tempat sempit itu membuat Kelana makin leluasa untuk mendekatinya. "Kelana, jangan macam-macam!"
"Aku nggak mau macam-macam. Apa kamu tega membuat dua tewas, Lela? Kalau cuma ingin mendapatkan pasangan hidup. Menikahlah denganku."
"Bukan masalah itu, Kelana. Apa kamu pikir aku ini sudah putus asa hidup membujang, hingga sangat terburu-buru untuk memiliki suami? Tidak."
"Kenyataannya begitu, kan? Suamimu baru wafat 3 hari yang lalu, Lela. Kamu sudah cari lagi."
"Aku harus membalas budi, Kelana. Leluhurku berpesan agar aku menemukan lelaki itu. Dia ingin aku membangun hubungan baik kembali, serta membersihkan nama baik kami yang telah dicemari oleh Hantu Raja Hutan," jelas Lela.
"Lupakan itu! Itu sudah berlalu. Jangan pernah kamu sia-siakan hidupmu hanya karena itu!"
Lela menunduk saat Kelana menyentuh pipinya dengan kedua tangan. "Kelana," rengeknya. Ingin melepaskan diri. Namun, pesona Kelana membuatnya tidak bisa menjauh atau menyakiti.
"Lela, kumohon!"
"Maaf," jawab Lela. Ia bersikeras untuk membantah. Lela segera berlari kecil menuju mobil Jimi. Sebelum ia masuk ke mobil itu. Lela sempat melirik Kelana sekilas.
"Lela," tegur Kelana.
"Iya," jawab Lela sambil tersenyum hambar. Setelah itu ia masuk ke mobil. Jimi dengan setia menutup pintu untuk Lela.
Kelana hanya mampu mendesah pasrah, saat melihat Lela pergi dengan mobil mewah itu.