Setelah dari pemakaman, tiba-tiba Lela dikejutkan oleh seseorang yang menantinya di depan pintu kamar hotelnya. Orang itu adalah Kelana. Pandangan mereka sempat bertemu beberapa detik, tetapi langsung buyar oleh suara roda meja yang saat ini sedang didorong oleh seorang binatu. Setelah binatu lelaki itu melewati mereka, barulah Lela mengalihkan pandangannya ke arah pintu.
"Ada apa?" tanya Lela dengan sikap dingin. Tidak bersahabat seperti dulu saat mereka pertama kali bertemu.
"Aku hanya ingin melihatmu saja. Sudah satu tahun kita berpisah," jawab Kelana, sambil bergeser. Memberi tempat bagi Lela untuk membuka pintu.
"Aku baik. Kamu?" tanya Lela. Masih dalam ekspresi yang sama. Dingin seperti kemarin. Saat mereka bertemu di depan toko.
"Kamu dan suamimu?"
"Dia sudah wafat." Lela berhasil membuka pintu. Kini memersilakan pemuda itu untuk masuk. Setelah Kelana masuk, barulah ia menutup pintu. "Sorry, jangan dibahas soal kematiannya. Aku masih kesal."
Kelana diam, tak bersuara saat Lela menyiapkan segelas air mineral untuknya. Banyak sebenarnya yang ingin ia tanyakan. Namun, kelihatannya Lela anti dengan pertanyaan mengenai masa lalunya.
Lela menghampiri Kelana. Lalu memberinya segelas air itu. "Bagaimana kabarmu? Apa kamu masih sendiri?"
Kelana tersenyum tipis sambil menatap gelas di tangannya. "Ya."
Lela mengedipkan mata, memberi isyarat agar Kelana duduk di sofa bersamanya. "Mau sampai kapan membujang?" Ia meletakkan gelas ke atas meja. Baru saja hendak melihat Kelana, Lela sudah terkejut karena pemuda itu justru duduk merapat padanya. "Apa yang Anda lakukan?"
"Apa kita tidak bisa akrab seperti dulu, Teman? Apa setelah setahun kamu melupakan kebaikanku? Aku meminta balasan darimu."
Lela mengalihkan pandangannya ke meja. "Apa yang ingin kamu minta jika aku mau membalas budi."
Kelana diam untuk berpikir. Ia memperhatikan wajah cantik Lela yang keremajaannya tidak memudar, bahkan bertambah ayu. "Apa pun yang aku minta akan kamu penuhi?"
"Hem, asal tidak membunuhmu saja," jawab Lela sambil menatap dinding. Sikapnya kembali dingin. Padahal tadi sudah sedikit melunak.
Kelana meringis saat diungkit tentang risiko dari permintaan aneh yang belum ia sebutkan. Pastinya Lela sudah memiliki bayangan mengenai permintaannya.
"Kenapa?" tanya Lela sambil melirik pemuda rupawan itu. Kemeja berwarna hijau lumut yang dikenakan Kelana sebenarnya membuat Lela terpesona oleh keserasian pemuda itu dalam mengenakan pakaiannya. Terlihat tampan dari yang dulu.
"Tidak. Aku hanya ingin menciummu."
Jujur sekali Kelana. Hingga Lela pun mengulas senyum geli. Tidak mampu lagi menahan keangkuhannya yang ia bangun untuk menjaga jarak agar Kelana tidak berharap seperti dulu.
Kelana memandangi senyum Lela yang begitu indah. "Lela, apa kamu akan terus mencari?" Lela kembali terdiam. Sehingga Kelana menjadi serba salah. "Maaf, aku-"
"Kamu nggak salah. Aku memang akan terus mencari. Setelah tiga bulan. Aku akan menikah lagi. Untuk itu aku akan mencari kekasih yang benar-benar rela mati untukku."
"Apakah ...." Kelana ragu untuk melanjutkan perkataannya.
"Tidak. Aku tidak ingin kamu tewas."
Kelana mendesah pasrah. Belum bicara saja sudah ditolak mentah-mentah oleh Lela. "Padahal aku ingin mencoba. Aku masih penasaran dengan sumpah itu."
"Jangan coba-coba, Tuan. Anda bisa tewas."
Kelana menggeser tubuhnya agar menghadap ke arah Lela. Kini kaki kanannya sengaja ia letakkan di atas sofa. "Bagaimana kalau ternyata berhasil? Kamu nggak perlu menjadi pembawa sial lagi. Kita bisa mencegah--"
"Cukup!" Lela menatap Kelana dengan kemarahan.
"Salahku di mana?"
Lela menunduk. Saking kesalnya dengan sikap Kelana yang tidak mau sama sekali memahami betapa berarti dirinya bagi Lela. Akhirnya Lela menangis.
"Lela, aku hanya ingin melihat temanku ini bahagia."
Lela kembali melihat Kelana. Namun, kali ini bukan dengan kemarahan, melainkan keharuan karena sikap pertemanan Kelana yang melampaui batas normal. "Katakan, Kelana! Apakah kamu ingin kita selalu berteman?"
"Tentu."
"Berusahalah untuk tetap hidup. Sebab aku memerlukanmu untuk terus mendukungku."
Kelana terdiam, membiarkan Lela menangis dan mengusap air matanya sendiri. Tidak ada perkataan lagi yang ingin ia lontarkan. Semuanya telah jelas.
***
Jam 9 malam, Lela yang sedang berkemas karena besok ia ada janji untuk menemui Miranda di depan hotel. Kelana yang belum jua kembali kini memandangi gerak-gerik Lela yang begitu sibuk membereskan pakaian almarhum suaminya.
"Aku tidak akan menikah sampai kamu mendapatkan jodohmu, Lela," ungkap Kelana.
Pemuda yang saat ini berbaring di tempat tidurnya dengan posisi menyamping melihat dirinya. Kini menatapnya dengan penuh keseriusan. Hingga akhirnya Lela pun berhenti melakukan kegiatannya memasukkan pakaian ke tas. "Jangan bodoh. Seorang teman tidak harus setia kawan sampai harus ikut-ikutan jomlo juga."
Kelana tertawa lepas sembari bertelentang. "Aku tidak setia kawan. Kalau aku setia kawan. Aku akan menikah terus seperti apa yang kamu lakukan."
Lela duduk samping Kelana. Ia tahu saat ini Kelana tidak bermaksud untuk mengejeknya. "Mungkin kamu keberatan karena aku memintamu untuk mendukungmu. Baiklah. Aku tidak akan memaksa."
Suara ketukan terdengar dari luar. Membuat Kelana yang ingin membalas perkataan Lela kini terpaksa harus menelan suaranya kembali.
Lela membuka pintu, melihat dua orang polisi sedang berdiri dan satu orang binatu yang tadi sore ia lihat. "Ada apa, ya?"
"Kami dengar ada lelaki memasuki tempat ini, tapi tidak keluar-keluar. Menurut pengakuan dia. Setelah Anda pergi ke pemakaman suami Anda. Tiba-tiba ada lelaki menunggu di depan pintu dan Anda memintanya masuk," jelas Malik. Seorang polisi gagah, tampan dan berkulit sedikit kemerahan.
Lela membuka lebar pintunya. Memersilahkan mereka masuk. Dua orang polisi itu melangkah masuk. Mereka memeriksa setiap sudut. Bahkan hingga ke kolong ranjang. Namun, Kelana tak ditemukan oleh mereka. Padahal Kelana saat ini sedang memandang mereka dari atas tempat tidur.
"Kami tidak menemukan siapa pun di sini," kata Malik kepada Binatu itu.
"Loh, saya jelas lihat sendiri, kok. Dia belum keluar sama sekali. Mungkin saja bersembunyi di tempat lain atau lemari." Binatu ini segera menuju lemari. Saat dilihatnya tidak ada. Ia pun heran. Kerutan dahinya kini sangat terlihat jelas. Menggambarkan bahwa saat ini ia pun tengah kebingungan, mengartikan tuduhannya tadi. Hingga ia pun berkomat-kamit sendiri di depan lemari. "Apa aku yang salah? Ah, nggak mungkin, kan?"
"Kalau tidak adalagi keperluan. Silakan Anda semua keluar! Saya lelah, butuh rehat," usir Lela.
"Maaf, karena telah mengusik ketenangan Anda," ucap Ilham. Polisi manis bermata sipit.
"Hem," jawab Lela dengan sikap angkuh. Setelah mereka pergi, Lela segera mengunci pintu.
Kelana memandangi wajah Lela. "Aku kagum denganmu."
Lela tidak terpengaruh oleh pujian itu. Ia justru berbaring sambil menatap langit-langit kamar. "Besok aku akan pindah ke rumah almarhum."
"Kapan kita akan bertemu lagi?"
Lela berpaling untuk melihat Kelana. "Panggil saja aku kalau kamu merindukanku. Aku akan datang walau badai menyerang sekalipun."
Kelana tersedak oleh tawanya sendiri. Ia terbatuk kecil. "Kamu ternyata suka sekali bercanda."
Lela pejamkan mata. Tidak mau menanggapi ejekan Kelana. Sehingga Kelana saat ini terdiam sambil memandang wajah Lela. Lela merasakan gerakan pada kasur. Ia tahu saat ini Kelana sedang mendekatinya. Namun, Lela hanya diam tanpa melakukan apa pun. Tiba-tiba saat membuka mata, wajah Kelana ada di depannya sedang menatapnya. Kedua tangan Kelana kini menyentuh lengannya. Tidak memberikan ruang bagi Lela untuk berpindah.