Lela sedang menanti kesadaran suaminya di Rumah sakit. Dokter berkata, bahwa Rizal akan segera sadar. Perempuan cantik ini tiba-tiba saja menguap. "Mengapa mengantuk sekali?" lirihnya. Lalu memandang sekitar. Lalu ia kembali melihat suaminya. Alangkah terkejutnya ia saat melihat Rizal telah terbujur kaku. Wajah memucat dan tubuh menjadi dingin. Tanpa kejang-kejang apalagi tanda-tanda kematian. "Rizal! Bangun, Rizal!" Lela mengguncang tubuh Rizal. Berupaya untuk mengembalikan roh suaminya. Namun, dokter segera datang karena mendengar suara Lela yang menghebohkan.
"Saya akan memeriksanya," kata dokter lelaki yang kini mengambil alih upaya Lela dalam mengurusi suaminya.
Lela membisu sembari mundur sehingga punggungnya menyentuh dinding. Ia tak percaya bahwa kematian tragis suaminya itu, tanpa tanda sama sekali. Andai bisa, dan dapat dilihat sebelumnya. Ia akan berusaha untuk mencegahnya.
Dokter Rido menggeleng kecewa dengan usahanya sendiri. "Dia sudah tiada, Bu."
Lela menatap suaminya. Penuh penyesalan. Baru saja ia menikah, sudah begini jadinya. Apakah akan ada banyak lagi lelaki yang menjadi korban saat dirinya memutuskan untuk kembali menikah?
Saat dokter dan suster sedang mengurusi almarhum suaminya. Lela hanya terdiam. Hingga di pemakaman pun Lela masih diam di makam almarhum suaminya.
Keluarga Rizal tiba dan langsung menangisi putranya. Mereka tahu Rizal akan menikah, tetapi tidak tahu kalau Lela adalah istri Rizal. Jadi mereka mengabaikan Lela.
"Siapa kamu?" tanya Miranda, ibu dari Rizal. Ia heran karena Lela hanya berdiri menunggui Rizal.
Lela perlahan memandang perempuan berumur 45 tahun berbaju biru muda itu. "Saya temannya," dusta Lela. Ia tidak ingin dipersalahkan atas kematian suaminya.
Kembali sang ibu menangis sambil merangkul Lela. "Saya sebenarnya tidak setuju dia kemari. Dia bilang akan menikahi seorang gadis desa yang tak jelas asal usulnya."
"Hem," lirih Lela. Ia sungguh tersinggung berkat hinaan sang mantan mertua yang saat merangkulnya ini. Namun, ia menyadari. Bahwa dirinya memang begitu adanya.
"Pasti gadis itu pembawa sial. Apakah kamu mengenal dia?" tanya Miranda. Perempuan ini menatap lekat wajah Lela.
"Tidak," jawab Lela pasti. Ia sudah tidak lagi memiliki perasaan iba setelah dihina barusan.
"Mama, Kak Rizal, kan memiliki banyak harta. Harusnya tidak perlu menangis. Kita bisa hidup enak sekarang," kata Mili. Gadis berumur 21 tahun. Berbaju merah, berambut panjang sebahu. Wajahnya manis, tetapi hidungnya pesek.
"Diam! Kamu ini selalu harta saja yang dibicarakan. Kakakmu itu sekarang berbaring di sana!" bentak Miranda, sambil menunjuk pusara Rizal.
"Ada apa sebenarnya ini?" tanya Lela, heran. Sebab sepertinya menemukan kejanggalan dari sikap dua perempuan di hadapannya itu.
Miranda segera merubah sikap kembali. Ia kembali menangis, seraya menyeka air mata dengan saputangan. "Dia hanya anak-anak. Jangan didengarkan."
"Oh, begitu." Lela masih curiga, tetapi tak ingin bertanya lebih lanjut. "Kalau begitu saya pergi dulu. Ada yang ingin saya kerjakan," pamit Lela.
Baru saja hendak melangkah pergi. Lela mendengar kasak-kusuk mereka sedang berbisik.
"Jangan bilang begitu lagi! Ingat, jangan sampai ada yang tahu kalau kita baik pada Rizal hanya untuk mengincar hartanya saja! Ingat itu, Mili!" tegas ibunya.
"Iya, Ma," jawab Mili.
"Maaf, yang saya tahu. Rizal sudah menikah," sela Lela.
Sontak kedua perempuan itu terkejut. Mereka saling pandang, lalu Miranda maju untuk mendengar lebih jelas pernyataan Lela tadi.
"Dia telah menikah pagi tadi. Saya mendengar itu dari beberapa orang yang sedang melayat ke sini tadi," jelas Lela.
"Sial!" desis Miranda. Nyaris tak terdengar oleh Lela.
"Apa, Bu?" tanya Lela.
"Oh, tidak ada apa-apa. Jadi apakah kamu tahu di mana perempuan itu?" tanya Miranda sambil menyentuh lengan kanan Lela.
Lela melirik lengannya yang kini disentuh oleh Miranda. Setelah itu ia memandang Miranda. "Saya tidak tahu. Maaf, saya harus kembali ke luar kota. Soalnya saya bukan orang sini. Saya cuma teman bisnis yang kebetulan mampir."
"Tunggu!" cegah Miranda seraya saat Lela akan berbalik. "Bisakah kamu membantu? Kami tidak tahu sahabat-sahabatnya almarhum. Kami akan membayar biaya penginapanmu. Sekaligus membayar jasamu."
"Berapa yang Anda sanggup?" tanya Lela.
"Kalau sudah ketemu. Kita bicara lagi soal itu. Paling tidak, tidak akan di bawah sepuluh juta," jawab Miranda.
"Mama!" protes Mili sambil menarik tangan kanan ibunya. Lalu menjauhkan dari ibunya dari Lela.
"Kenapa? Mama lagi ngomong sama dia."
"Mama ngapain, sih, buang-buang uang demi mencari istrinya Kak Rizal? Biarkan saja. Asal kita tidak bicara, pengacara pun tidak akan tahu."
"Tapi kalau seandainya perempuan itu datang tiba-tiba. Maka kita akan kehilangan harta itu, Mili."
Mili melirik Lela sekilas. Lalu kembali berbicara kepada ibunya. "Kalau sudah ditemukan, Mama mau apa dengannya?"
"Kita buat dia gila dengan kematian suaminya atau kita buat dia sakit-sakitan saja. Dengan begitu hartanya pasti jatuh sama kita," bisik Miranda.
Mili tersenyum bangga atas rencana ibunya. "Hem, baiklah. Kali ini, Mili, setuju dengan rencana, Mama."
Lela tersenyum saat Miranda kembali. "Jadi apakah Anda masih ingin menemukan menantu Anda itu, Bu?" tanya Lela, yang telah mendengar rencana busuk mantan mertuanya itu. Terus terang ia kesal karena ia akan dibuat menderita hanya lantaran harta dari Rizal.
"Pasti. Jadi kamu bisa tinggal bersama kami di-"
"Maaf, saya tidak suka tinggal di hotel terlalu lama. Bisa Anda sewa rumah saja? Terus terang saya lebih senang rumah agak mewah daripada yang sederhana." Lela melirik kiri saat berbicara. Seolah sedang ingin membuat kesal Miranda.
Senyum Miranda merekah, tetapi hatinya jengkel dengan permintaan Lela. Walau begitu, ia masih menuruti dengan berkata, "Kalau itu tidak masalah. Asal kamu bisa membantu kami."
Lela kembali mengembangkan senyumnya. "Kita bertemu di hotel besok pagi. Saya harap esok rumah itu sudah bisa ditempati." Setelah berkata demikian. Lela pun akhirnya pergi.