Satu minggu, dua minggu, bahkan satu bulan. Mereka masih berada di rumahku ini. Mengharap ada penyesalan, lalu salah satu dari mereka ada yang pergi dan meninggalkan rumah ini. Sayangnya aku terlalu naif, yang ada mereka malah permintaan tak masuk akal dari wanita kecil yang telah aku rawat selama ini dengan gemilang cinta dan materi.
"Please kak, aku tahu menurut kakak ini salah, tapi tolong kakak ngerti aku dan mas Alvin. Aku capek kak main kucing-kucingan terus dari kakak. Aku sudah nggak bisa nutupin hubungan aku dengan mas Alvin. Daripada Aku terus berzina sama mas Alvin, lebih baik aku jujur sama kakak, lalu kakak ijinkan kami untuk menikah. Agar tak semakin larut, toh agama juga nggak melarangnya!"
Ucap sinta dengan penuh keyakinan.
"Aku adik kakak dan aku adik ipar mas Alvin dan aku mencintai kakak iparku lebih tegasnya lagi kami saling mencintai. Kakak juga ingin punya anak dari mas Alvinkan? Tapi nyatanya kakak tak kunjung hamil, walaupun pernikahan kalian sudah menginjak tiga tahun pernikahan. Jadi apa salahnya jika aku menikah dengan mas Alvin. Jika kami punya anak, bukankah memberi kebahagiaan untuk kakak jugakan?"
Lanjutnya panjang tanpa peduli perasaanku bagaimana hancurnya hatiku saat ini.
Aku tak pernah mengajarinya berkata kasar, tapi bahkan aku adalah orang pertama yang merasakan betapa sakitnya perkataan yang keluar dari mulutnya. Setiap kata laksana peluru menghujam jantungku. Laki-laki yang kukira setia dan mencintaiku seutuhnya itu, dia hanya diam seribu bahasa menatap perdebatan ini dari sudut ruang. Pengecut tak punya nyali beraninya main api.
Aku bungkam, tak menjawab permintaan gadis delapan belas tahun itu . Kata-kata hebat seperti sebuah kebenaran yang mengunci logika dan nalar agar tidak bisa menjawab apa-apa lagi selain menyetujuinya. Sangat pantas dia aku masukan kuliah di fakultas hukum universitas terkemuka di negeri ini. Baru sekolah SMA sajah , kata-katanya sudah mampu menurunkan dinding-dinding hatiku.
Bahkan suatu kebusukan bisa dibungkus dan dikemas menjadi sebuah kata-kata yang manis didengar. Seperti sebuah kado dan harapan baru untukku. Akan bisa memberi anak dari darah daging suamiku, katanya? Hebat iming-imingnya. Pengkhianatan tidak hanya dari satu orang tapi bahkan dua orang yang aku cintai dan aku sayangi. Apalagi yang lebih perih dan berdarah-darah seperti ini.
"Kamu bisa-bisanya mengajukan permintaan kepada orang yang bahkan paling tersakiti melihat pengkhianatan kalian! Aku diam sejauh ini, bukan untuk mendengarkan apa yang kamu katakan sekarang. Aku bungkam untuk melihat sejauh apa penyesalan kalian. Kalian sudah melakukan hal tidak bermoral seperti itu di rumah ini. Kalian berselingkuh dari orang yang telah menyayangi kalian sepenuh hati.
Aku pikir setelah kalian kepergok, akan merasa bersalah, meminta maaf, lalu tobat. Tapi kalian malah semakin menjadi-jadi dan meminta restu dari hubungan gelap kalian berdua. Orang yang paling benci semua ini terjadi."
Mataku menatap bergantian kepada dua orang tersebut.
"Bukan begitu kak, aku hanya mencoba membuka sudut pandang kakak lebih jauh lagi. Kakak semakin tua, mas Alvin Pun juga lebih tua, aku hanya ingin menyelamatkan semuanya. Agar kita bisa tetap satu atap dan berbahagia tanpa perlu saling menyalahkan , yang terjadi biarlah terjadi. Mungkin ini rencana allah. Aku pun juga sakit harus meninggalkan kekasihku disana, hanya untuk mas Alvin.
Mas Alvin yang menginginkan anak dariku. Yang perlu kakak pahami, semua ini bukankah karena ada adil kakak, kakak yang membiarkanku terlalu dekat dengan mas Alvin, sehingga muncul benih cinta di antara kita berdua. Sehingga kakak lupa kalau ada dua insan yang bukan mahram di rumah ini yang bisa saja terjebak cinta. Dan ini sudah terjadi. Please, mengertilah kak, izinkan kami menikah."
Wow, panjang luar biasa kata-kata gadis cantik itu. Membalik senyuman seolah-olah aku yang salah, aku yang harus menanggung dan mempertanggung jawabkan apa yang terjadi sehingga harus menerima permintaan mereka.
"Kamu sudah cukup dewasa Sinta, kamu tahu mana yang benar dan mana yang salah. Kamu tahu cara menjaga sikap di depan kami. kamu sudah bisa meletakan batasan apa yang boleh dan tidak boleh. Kakak membiarkan kedekatan kalian karena kakak percaya sama kalian, alangkah kotornya hati kakak, kalau suudzon pada kalian." Ku Tunjukan jari kepada mereka.
"Kakak hanya melihat dekatnya kamu dengan mas Alvin sama halnya seperti dekatnya kamu sama kakak, kakak tidak curiga apa-apa dengan mas Alvin karena kakak pikir dekatnya mas Alvin adalah sebagai bentuk perhatian kepadamu sebagai kakak yang telah merawat adiknya sendiri. Tapi rupanya kalian pandai menutup rapat semua kebusukan kalian berdua. Sayangnya malam ini tuhan telah menunjukkannya. Sudah berapa lama kalian, hah? Jawab sudah berapa lama?"
Sinta dan mas Alvin pun hanya terdiam, sekarang bahkan menyebut nama mereka dalam hati pun sakit.
"Kenapa diam?" Teriakku.
"Aku nggak mau dihakimi, kak. Cukup restui kami saja dan langsung menikah, kalau tidak....' gadis yang sebenarnya teramat aku sayangi itu tidak melanjutkan perkataannya.
"Jika tidak apa? Jika tidak, kalian akan tetap menikah? Kalian akan mengancamku? Aku selama ini terlalu baik sama kalian, terutama kamu Sinta. Rupanya kamu lupa akan kasih sayang yang telah aku berikan, hanya karena nafsu gilamu itu. Jadi begini balasannya kepadaku, Sinta? Dan kamu Alvin, begini cara kamu membalas kesetiaanku selama ini, hah? Alvin tolong jawab pertanyaanku, kamu jangan diam saja!?" Teriakku seraya menangis memegang tangan mas Alvin berharap dia akan menjelaskannya.
Aku tak perlu lagi memanggil Alvin dengan sebutan mas Alvin seperti biasanya. Untuk apa lagi menghargai seorang pengkhianat.
Wajah Sinta sudah merah semua. Luar biasa adik semata wayangku saat ini, kupikir selama ini dia hanya mampu merengek meminta pakaian-pakaian yang mewah, mobil, tiket perjalanan keluar negeri. Ternyata dia juga berani merengek meminta suamiku untuk menjadi suaminya.
Hebat tak mau dihakimi katanya? Dia meminta aku untuk menerima saja semua keputusan mereka berdua.
Kulihat si mbok dan pak supir yang bekerja di rumahku ini mengintip kami dari balik pintu, biarlah mereka semua tahu, atau bahkan mungkin mereka sudah mengetahuinya lebih awal hanya saja mereka tidak berani cerita padaku.
Mas Alvin berjalan maju ke arahku.
"Maafkan mas, Ren. Mas memang bersalah. Mas tak pernah menginginkan semua ini terjadi. Mas khilaf, tapi mas sudah meminta Sinta untuk mengakhiri semua ini tapi dia malah semakin menjadi. Mas Tidak bisa mengendalikan dia. Ini ide nekatnya dia untuk mencoba jujur padamu," ucapnya penuh getar seolah menyesal.
"Tapi dalam hati kamu mengamini permintaan Sinta, kan? Kamu Pun menginginkan ini terestui, 'kan? Aku rasa hubungan kalian juga sudah sedemikian dalamnya. Ternyata kamu sereceh itu Alvin. Dimana imanmu. Apa karena kau sadar kalau Sinta itu bukan adik kandungmu, sehingga halal untuk kau nodai. Aku seperti tak mengenalmu sejak kejadian malam itu. Aku sudah salah menilai kamu. Ternyata aku hanya mencapai keyakinan ku sendiri.
Faktanya kamu gila, perselingkuhan ini sudah cukup buat aku, karena aku telah sadar kamu nggak layak untuk dipertahankan. Aku sudah memutuskan kalau aku akan bercerai denganmu. Dan aku akan mengurus perceraian ini secepatnya.