Chereads / Cinta Noda Hitam / Chapter 5 - Sebuah kebenaran

Chapter 5 - Sebuah kebenaran

"Mas Alvin, kamu dari mana saja, mas. Dari tadi aku cariin, mas nggak ada?"  Tanyaku sembari menatap lekat ke arah suamiku.

"Oh iya, tadi mas keluar sebentar!" Jawabnya sambil membawa sesuatu di tangannya.

"ngapain mas, keluar malam-malam seperti ini?"  Tanyaku seraya melipat tanganku ke dada depan, seolah aku kesal padanya.

"Tadi, mas keluar beli ini!"  Ucap mas Alvin  menunjukan kresek yang dibawanya sambil menghampiriku.

"Emang, tadi kamu beli apa, mas?" Cecarku pada mas Alvin penasaran.

"Oh, ini aku beli nasi goreng di depan!"  Jawabnya sembari menyimpan kresek tersebut di meja makan.

"Emangnya, jam segini masih ada yang dagang, mas?"  Tanyaku lagi, karena masih penasaran.

"Ren, udah dong mas mau makan laper nih!"  Elaknya seraya menyuap nasi goreng tersebut.

"Udah sini duduk kita makan, aku suapin yah!"  Ucap mas Alvin kembali sambil menyedok nasinya. Berniat akan menyuapiku.

"Nggak mas, aku tidak lapar!"  Tolaku sembari mendorong pelan sendok tersebut.

"Ya sudah, kalau nggak mau aku habisin yah?"  Eyelannya seraya tersenyum kearahku.

"Aku dari tadi belum lihat Sinta!"  Ucapku sembari melihat sekeliling sudut  ruangan ini.

"Mas, apa kamu lihat Sinta?" Tanyaku padanya.

"Nggak, mas tidak melihatnya!" Jawabnya dengan singkat.

Mungkin sekarang Sinta sudah di kamarnya Membatin.

"Oh ya, mas aku tidur duluan ya, ngantuk nih?"  Ucapku pura-pura mengantuk dan menguap.

"Oh iya iya, nanti mas nyusul!" Jawabnya sembari menoleh ke arahku.

Aku pun segera naik ke atas dengan menaiki anak tangga yang ada disana.

Setelah sampai di atas. Aku melihat pintu kamar Sinta tertutup dan aku cek pun pintunya sudah terkunci.

Ternyata benar, mungkin mereka sengaja melakukan semua ini. seperti sudah direncanakan dengan matang terlebih dahulu.

Tanpa menunggu mas Alvin, aku pun masuk kedalam kamar dengan kemudian berbaring diatas tempat tidur.  walaupun ditemani bayang-bayang mereka, menari-nari dalam benakku. Mungkin semalaman aku tidak tidur nyenyak.

Tak terasa terdengar gumaman adzan yang menyuruh semua umatnya untuk melakukan shalat dua rakaat tersebut (subuh).

Aku pun terbangun dan segera bergegas diri menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu.

Setelah selesai melaksanakan ibadah wajib tersebut. aku segera keluar dari kamar untuk menyiapkan sarapan pagi.

Baru saja aku menyalakan kompor dan letakan panci, terdengar suara  teriakan dari samping kamar Sinta. Sepertinya jebakan sudah mengenai sasaran, aku segera ke samping rumah dan melihat siapa gerangan dirinya.

Seketika mataku terbelalak tak percaya ketika mas Alvin berdiri meringis kesakitan di atas serpihan-serpihan beling.

"Tolong, Rena, sakit !" Ujarnya pelan terlihat yang teramat sakit.

Aku hanya terdiam, kaki ini rasanya sulit sekali digerakan. Aku masih berdiri mematung di depan dua orang yang teramat aku sayangi. Ingin rasanya aku memaki suamiku, namun melihat luka suamiku yang menganga di kakinya membuat diri ini tidak tega. Kupandangi darah yang menggenang di lantai rumahku. Mungkin jika luka di hatiku bisa terlihat dan mengeluarkan darah, mungkin lebih banyak dari tubuhnya mas Alvin.

"Ada apa mas Alvin, kamu kenapa?"  Pekik Sinta ketika melihat suamiku yang sudah terlihat pucat.

Hening. Hanya suara mas Alvin yang terdengar.  Aku pun segera menghubungi rumah sakit dan memanggil ambulance.

Sepanjang perjalanan aku hanya diam membisu tanpa berucap sepatah katapun, teramat sakit rasanya hati ini menerima kenyataan kalau ternyata misteri laki-laki yang keluar dari jendela itu terkuak, dan pelakunya adalah suamiku sendiri.

Setelah menempuh perjalanan empat puluh menit, akhirnya mobil yang membawa kami sampai juga di rumah sakit terdekat. Aku mengusap kepala mas Alvin yang sejak tadi berada di pangkuanku, Memanggil namanya walau terasa menyesakan di dada. Sepertinya laki-laki ini yang sudah memporak-porandakan hatiku ini, sudah tidak sadarkan diri.

"Buruan sus, bantu kakak saya keluar dari  mobil!" Terdengar suara panik Sinta mendekat ke arahku.

Tiga orang perawat dan satpam  menghampiri kami kemudian menggotong mas Alvin merebahkannya di atas brankar. Dengan sigap para perempuan berseragam putih itu mendorong brankar tersebut masuk ke ruang unit gawat darurat.

"Pasien butuh transfusi darah O positif!"  Teriak dokter yang menangani mas Alvin.

"Kak, golongan darah kakak O positif kan!"  Tanya Sinta sembari menatapku.

Aku hanya bisa mengangguk pelan, rasanya enggan sekali diri ini memberikannya walau hanya setetes darahku. Tapi ini menyangkut nyawa manusia yang harus aku selamatkan. Aku tidak boleh mementingkan egoku sendiri. Aku harus menolong mas Alvin. Meskipun dia telah menorehkan luka di sanubariku.

Setelah beberapa jam tidak sadarkan diri, akhirnya mas Alvin membuka mata dan langsung menatapku.

"Ren, panggilnya pelan!"

Aku membuang muka menyembunyikan air mata.

"Ren." Kini dia berusaha bangkit dan meraih tanganku.

"Kamu sudah sadar, mas? Kalau begitu aku pamit pulang. Biar nanti Sinta yang menemani kamu disini!" Aku beranjak pergi dari ruangan dimana suamiku sedang dirawat akibat perbuatan terhinanya.

Ku usap air mata yang terus berlomba-lomba tumpah dari pelupuknya dengan ujung jari-jariku.

Sebelum aku pergi dari rumah sakit tersebut, aku sempat nemuin Sinta diluar ruangan  dan memandang wajahnya yang begitu menjijikan.

"Buruan temani masmu, jangan hanya enaknya saja, giliran sakit harus aku yang ngurusin!" Ucapku dengan suara meninggi.

Sinta hanya terdiam, dan hendak keluar dari rumah sakit.

"Ya Tuhan, bertambah sesak dadaku ketika melihat beberapa tanda merah di tengkuk leher wanita tersebut yang tidak lain adalah adik kandungku sendiri. 

"Dasar adik tidak tahu diuntung kamu benar -benar menjijikan, Sinta. Saya tidak menyangka kamu berbuat curang kepada kakak kandungmu sendiri."

Entah apa yang merasukiku, tiba-tiba aku kalap dan menarik rambut sinta menyeretnya sedikit, hingga jari-jariku dipenuhi rambutnya yang terbawa.

"Ampun kak, sakit!" Pekiknya sambil menangis.

"Sakitan mana sama kakak, Sinta? Kamu sudah kakak urus dari kecil, kakak rela banting tulang membantu Almarhum emak nyekolahin kamu, supaya kamu nggak putus sekolah. Tapi kamu malah menusuk kakak dari belakang. Kamu  malah tidur dengan laki-laki yang jelas-jelas adalah suami kakak kamu sendiri. Dasar tidak bermoral, nggak punya hati kamu, Sin. Kamu tega."

Aku menyonor kepala adikku yang tengah bersimpuh memohon di lantai.

"Sinta nggak tahu apa-apa, kak, demi allah!"  Dia terus saja mengelak dan membuatku bertambah muntab.

"Ini apa, heh?" Kucubit leher Sinta yang penuh tanda merah itu.

"Saya yakin kamu tidak bodoh, Sinta. Kamu Tahu tanda merah ini. Benar-benar menjijikan kamu, Sinta."

Aku mengusap air mata yang mengalir deras membasahi pipiku.

Ini benar-benar sebuah mimpi buruk. Aku tidak menyangka adik semata wayangku yang teramat aku sayangi telah mengkhianatiku dan menghancurkan hidupku.

Ya Tuhan, kuatkanlah hati ini untuk menghadapi semua cobaan yang telah engkau berikan kepadaku.

Hanya kepada engkaulah tempatku berlindung dan meminta pertolongan.