Semua menyebutku pangeran. .
Berada di tempat baru adalah angin segar untukku. Dan berpikir akan ada hal berbeda yang terjadi, sandingan 'pangeran' akan hilang dariku. Mereka yang memuji tapi mengejek tidak akan pernah kutemui lagi.
Di tempat baru, ternyata sama. Saat latar belakangku mereka ketahui, mereka segan dan berpikir aku berada di level yang berbeda.
Aku sudah terbiasa.
Hari itu, hari ketiga untukku menjadi murid pindahan yang fenomenal. Ternyata bangku kosong di sebelahku adalah miliknya. Si periang yang tidak bisa diam.
Aku mengingat semua nama orang-orang yang aku temui. Tidak ada kesulitan bagiku untuk menyebutkan satu persatu bahkan hingga nama panjang mereka, sudah sejak dulu aku dituntut untuk mengenal siapa yang aku ajak bicara. Sebagai seorang anak dari ayah dan ibu yang banyak memiliki orang-orang penting disekelilingnya, aku harus menjaga sikap.
Bergerak dengan baik, bicara dengan baik, dan berpikir logis.
Seperti robot.
Semua berpikir begitu. Aku si robot yang kaku, membosankan dan tidak menyenangkan, tapi gadis di bangku sebelahku tidak menganggapku begitu.
Dia menunjukan banyak hal, membicarakan banyak hal, mengajarkan banyak hal. Dia memberiku banyak hal..
Memberiku perasaan yang baru.
Sesuatu yang hangat, serupa kecupan ibu saat aku kecil dulu.
Aku mengingat semua nama. Tapi namanya, langsung terukir di hatiku.
Arumi.
***
"Benar sudah dipersiapkan semua?" seorang wanita berusia sekitar 40an, berbalut setelan jas wanita yang tampak pas di tubuhnya yang terawat, berkali-kali membuka koper-koper milik pemuda lawan bicaranya.
"Sudah semua," Si pemuda tinggi berkulit putih, bermata coklat itu kembali melihat layar di tabletnya, "Sesuai dengan yang ada di list," lanjutnya lalu memalingkan wajah pada pemandangan luar jendela. pemandangan kota besar dari lantai 7 yang begitu mempesona.
Langit sore dengan semburat jingga membentang, menaungi kubik-kubik bangunan dan ramainya jalanan Jakarta.
Dalam dadanya yang bidang sebuah rasa menggebu-gebu pelan, ia akan meninggalkan tempat ini segera.
Ayah dan ibunya sudah membeli sebuah rumah lumayan mewah di salah satu kota kecil di Jawa barat. Ia sendiri masih tidak tahu dimana ia akan tinggal setelah ini, orangtuanya tak mengatakan apa pun.
Baginya bertanya sebelum dipersilahkan adalah tindakan tidak sopan. Didikan yang dicekokinya sejak kecil, berhasil membentuknya menjadi manusia yang patuh.
Hal itu yang setiap orangtua di muka bumi ini inginkan bukan? Seorang anak yang sempurna. Penurut seperti anak anjing?
Di balik wajah putihnya yang datar tanpa ekspresi, pemuda itu menutup segala rasa muaknya dari hiruk pikuk dan segala kebisingan kota ini. Kota yang terus mendiskriminasikan dirinya dari lingkungan sekolah.
"Bunda hanya ingin kamu merasa lebih baik. Nilaimu menurun, di kota baru tempat kita tinggal nanti ada sebuah sekolah bertaraf internasional. Jadi bunda yakin kualitasnya sama dengan sekolah lamamu." celoteh wanita yang memanggil dirinya bunda itu.
Ya, dia adalah ibu dari si pemuda datar yang tidak banyak bicara ini.
Merasa kalimatnya tak mendapatkan jawaban atau respon apapun, Bunda menoleh pada anaknya. "Rio?"
"Ya bunda. Saya tidak masalah dengan sekolah mana pun." Pemuda yang dipanggil Rio itu menoleh enggan dan menjawab cepat.
"Baguslah, kalau begitu pastikan nilaimu membaik nanti." Kalimat terakhir sebelum akhirnya ia meninggalkan kamar putranya. Pergi begitu saja tanpa menutup kambali pintunya.
Tak berselang lama, pria paruh baya dengan kemeja putih lengan panjang yang dilipat hingga siku memasuki kamar Rio.
"Den, saya mau bawa kopernya ke bawah. Apa sudah selesai semua?" Pria itu bernama Supri, bisa dibilang bahwa Supri ini adalah pelayan pribadi Rio yang ibunya sewa sejak Rio berusia 7 tahun.
Rio hanya mengangguk dan meraih ransel hitam besarnya yang tergeletak di atas kasur. Pergi mendahului Supri yang sibuk meletakkan beberapa tas besar diatas koper dan mengikatnya agar mudah dibawa. Lengan kirinya memanggul koper lain berukuran 2 kali lebih kecil dari yang ia tarik di tangan kanan.
Ibunya sudah berada di ruang tengah, duduk bersama dengan sang ayah yang sibuk dengan layar ponsel super mahalnya. Mengatur ulang segala jadwal dan yang memantau segala berjalan dengan baik di perusahaannya dari jauh. Begitulah yang bisa Rio pikirkan.
Rio menyusul duduk di sofa yang berseberangan dengan orangtuanya.
"Yakin tidak ada yang tertinggal?" Ayahnya kambali memantapkan segalanya berjalan baik, sesaat setelah melihat Supri meletakkan barang bawaan milik Rio dari kamarnya.
"Sudah yah," Rio mengangguk.
"Nah ayo!" Kali ini bundanya yang beranjak bangun dan menyampirkan tas kulit buaya ternama buatan Paris di salah satu lengannya.
Sebuah mini Van sudah menunggu mereka di parkiran lobi gedung apartemen. Beberapa barang orangtuanya sudah lebih dulu disimpan di dalam bagasi.
Setelah memasuki mini Van dan duduk tenang di kursi paling belakang, Rio memasang headset biru tuanya dan menyetel musik kesukaan pada pemutar musik di ponselnya.
Pandangannya yang tertuju pada gedung apartemen mewah berlantai 10 semakin menjauh, seiring berjalannya mobil yang membawa mereka.
'Bye bye' dalam hatinya, ia tak merasakan apa pun pada tempat tinggal sebelumnya itu. Mereka baru 2 bulan menempati apartemen itu, setelah sang ayah membelinya.
Rumah mewah keluarganya yang ia tempati sejak kecil terkena imbas banjir beberapa kali. Sang bunda yang sejak awal memang orang yang cerewet terus mengeluh tentang hal itu. Padahal banjir hanya sampai halaman depan rumah, tidak tinggi sama sekali.
Dan kini mereka tiba-tiba memutuskan untuk tinggal di kota selain Jakarta hanya karena nilai Rio menurun beberapa bulan terakhir.
Mereka pikir Rio stres dengan keadaan kota Jakarta yang hingar bingar dan tak ada ketenangan. Mencari sekolah bagus di kota kecil yang menyenangkan adalah solusi yang orangtuanya bisa pikirkan.
Rio bersyukur, ia akan pindah dari tempat lamanya, ia juga bersyukur bahwa orangtuanya tidak berpikir untuk menyekolahkannya di luar negeri.
Baginya berada di luar negeri akan membuatnya bingung. Bagi Rio yang tidak bisa memutuskan semuanya sendiri ini. Sekolah di luar negeri artinya ia akan berpisah dengan orangtuanya, tidak ada yang memberikan jalan baginya. Ia terbiasa dicekoki sejak kecil. Tidak memiliki keinginan untuk memilih. Tidak ada hasrat dalam dirinya.
Apa yang disediakan akan dengan senang hati ia terima. Seharusnya sejak awal ia baik-baik saja, tapi entah sejak kapan. Julukan pangeran yang mengolok-olok dari beberapa teman sekelasnya itu terdengar begitu menganggu.
Belum lagi beberapa dari mereka mulai memanfaatkan dirinya. Rio tidak mempermasalahkannya, ia tidak perduli seberapa banyak yang diambil darinya, yang membuatnya tak senang adalah ketika orang-orang mulai memisahkan tempat terhadap dirinya.
Sebuah kasta.
Rio adalah pangeran di sekolah, tapi bagi dirinya sendiri dia adalah sebuah robot.
***