Seragam sekolah barunya belum ia dapatkan, karena ukuran tubuh Rio yang cukup tinggi dibandingkan dengan remaja seumurannya. Akhirnya ia hanya memakai seragam putih abu-abu seperti biasa, meski ini adalah hari kamis.
Di hari kamis, sekolah barunya menggunakan seragam khusus yang hanya ada di sekolah itu. Atasan kemeja putih seperti biasa dengan dasi bermotif kotak-kotak kecoklatan dan bawahan yang bermotif senada dengan dasinya.
Begitulah yang Rio lihat di dalam leaflet seputar sekolah barunya ini. Dari yang ia baca, fasilitas sekolah ini sangat lengkap dan bertaraf internasional. Awalnya Rio heran, karena di kota kecil ini ada juga sekolah yang bertaraf internasional seperti di Jakarta.
Tapi mendengar penjelasan dari bundanya bahwa bukan hanya satu, tapi beberapa SMA negeri menyandang predikat itu di kota ini. sayangnya yang lain berada di pusat kota. Sangat jauh dari tempat Rio tinggal sekarang.
"Udah siap den?" Supri membuka kamar Rio dengan pelan tanpa mengetuknya lebih dulu. Rio sendiri sedang memasukan beberapa buku tulis baru ke dalam ransel hitamnya.
"Belum pak, nanti saya menyusul ke bawah." Rio hanya menoleh sebentar lalu kembali dengan kegiatannya.
"Agak cepat ya den, nanti terlambat Lo. belum nanti sarapannya."
"Iya."
Tentu saja mereka harus mengejar waktu, jarak antara sekolah Rio dengan rumah sekitar 3 kilometer lebih. Tidak seperti sekolah Rio sebelumnya yang masuk pukul 8. Sekolah disini pukul 7.30 gerbang sekolah sudah di tutup.
***
"Bunda akan ada di sini seminggu, Minggu depan bunda akan balik ke Jakarta," sang ibu mengawali obrolan pagi di meja makan. Rio menoleh sebentar lalu kembali menyantap sarapannya, "Jadi kalau ada apa-apa, kamu langsung tanyakan ke bunda oke?"
Yang ditanya hanya bisa mengangguk, karena mulutnya yang penuh oleh makanan, tidak ada ruang untuknya bicara.
Sepiring nasi goreng seafood telah kandas di hadapan Rio. Setelah meminum air putih dan jus jeruk, ia menyusun bekas makanannya lalu berpamitan cepat kepada kedua orangtuanya. Supri sudah menunggu di halaman rumah, memanaskan mesin mobil setelah membereskan isinya.
Bukan mini Van yang kemarin mereka naiki, melainkan mobil lain digunakan Supri dari bagasi, mobil SUV yang selama ini yang biasa digunakannya untuk mengantar jemput Rio di Jakarta. Rio sendiri tertegun melihat keajaiban ini, sejak kapan mobil kesayangannya ada di sini?
Rio tidak duduk di bangku penumpang, melainkan di sisi Supri. Sejak dari dulu begitu, tapi hanya jika ia berdua bersama Supri. Selain karena mereka berdua sudah sangat akrab dan mengenal satu sama lain, juga karena Rio bisa bertanya beberapa hal dengan leluasa hanya pada Supri saja.
Rio bersyukur, Supri punya pengetahuan yang luas meski hanya lulusan SMP. Ia bisa melampiaskan semua rasa ingin tahunya pada Supri dan mendapatkan jawaban yang cukup memuaskan darinya.
Selama perjalanan ke sekolah, Rio kembali melihat para monyet yang berada di jalan raya, mereka berkelompok dari ukuran besar hingga yang kecil. Supri mengurangi kecepatan mobil, takut jika ia menabrak salah satu dari para monyet itu.
"Daerah ini namanya Plangon den, ada situs kramat di bagian atas sana," Supri menunjuk ke arah tempat yang terdapat banyak anak tangga menuju lebih dalam ke hutan.
"Situs apa itu?" Rio tertarik, ia ingin lebih banyak tahu tentang daerah tempat tinggal barunya ini.
"Entahlah den, saya belum tanya lebih detail ke pak Kardi. Katanya tempat meminta sesuatu, atau semacam pesugihan," Supri menggendikan bahunya.
"Ada yang semacam itu?" Rona wajah Rio makin terlihat ketika cahaya matahari pagi mulai menimpanya dari kaca jendela mobil, Mereka sudah menuruni jalanan berkelok tajam yang dihuni banyak monyet tadi, jalanan jadi lebih ramai dan banyak rumah-rumah di sisi-sisi jalan.
"Ya banyak den, mereka yang maunya kaya secara instan." suara kekehan tawa dari Supri membuat Rio menoleh, ia heran bagian mana yang lucu dari kalimat Supri tadi.
Mobil SUV mereka berbelok ke kiri, jalanan yang ditumbuhi pohon tabebuya dan pohon flamboyan di Sepanjang jalan membuat nuansa rindang dan sejuk. Walau udaranya sedikit lebih panas dari tempatnya tinggal, tapi Rio menikmati perjalanannya menuju sekolah. Disini terasa begitu damai dan tentram.
Rio melihat sekeliling dari jendela mobil, sejak tadi sepanjang jalan ini, hanya ada gedung-gedung perkantoran pemerintah daerah, yang paling ia hafal adalah gedung pengadilan agama yang besar dan mewah.
Tak berselang lama, mereka berhenti di perempatan jalan. Lampu lalu lintas berkelip merah beberapa saat lalu berubah menjadi hijau. Mobil mereka berbelok ke kanan, dari perempatan Rio sudah bisa melihat banyak anak sekolah dengan seragam yang ada di leaflet berjalan berbondong-bondong, ada yang diantar dengan motor, ada yang turun dari angkot.
Supri berhenti tak jauh dari gerbang sekolah. Rio sendiri sudah bersiap, melepaskan sabuk pengamannya dan membenarkan letak dasi serta tas ranselnya.
"Aden, mau saya antar ke dalam?" wajah Supri terlihat cemas, ini pertama kali bagi majikan mudanya mengalami pindah sekolah, ia takut jika majikannya tak bisa menyesuaikan diri dan tak betah berada di sini.
"Nggak perlu pak Supri." Wajah datar Rio yang biasanya tak berubah, justru itu yang membuat Supri lebih cemas.
"Ya sudah, pertama temui dulu kepala sekolahnya, ruangannya udah saya kasih tahu kemarin kan? lalu temui ibu lili, wali kelas Aden, kelas Aden nanti adalah kelas IPA 2."
"Oke."
"Semangat ya den, jangan grogi."
"Oke!" Setelah mengangguk untuk jawaban terakhir, Rio keluar dari mobil dan berjalan tanpa ragu memasuki gerbang sekolah.
Supri masih belum melepaskan penglihatannya dari sosok majikan kecilnya yang sudah tumbuh menjadi raksasa setinggi 175 cm. Supri merasa seperti melepas anaknya pertama kali ke sekolah, sayangnya Supri tak memiliki seorang pun anak. Ia dan istrinya sudah bercerai sejak vonis dokter mengatakan bahwa Supri mandul pada 2 tahun pernikahan mereka.
Sedih memang, tapi bersama Rio Supri merasa seakan mengurus anak sendiri.
***
Baru selangkah memasuki gerbang sekolah, pandangan Rio langsung tertuju pada pepohonan rindang di setiap sudut sekolah negeri ini. memang tidak berbeda dari sekolah kebanyakan hanya saja, ia merasa sekolahnya yang baru kali ini Jauh lebih hijau dan menyenangkan.
Rio diam-diam menjadi pusat perhatian, Selain karena seragam putih abu-abunya yang tak dipasangi emblem sama sekali, juga dengan penampilannya yang bisa menarik lawan jenisnya dengan mudah.
Postur tubuhnya yang tegap dan tinggi, kulitnya yang bersih dan cerah, rambutnya yang disisir rapih, lalu hidungnya yang Bangir serta bibirnya yang berisi dan terbelah di tengah pasti akan menjadi pemandangan yang indah di pagi hari.
Rio bisa mendengar suara bisik bisik dari sekitar, yang mempertanyakan siapa dirinya dan dari kelas mana. Tapi Rio acuh dan fokus mengingat jalan menuju ruang kepala sekolah.
Ia tak tertarik untuk menjadi pusat perhatian, yang ia inginkan menjadi siswa normal yang diperlakukan normal. Hanya itu. Sederhana.
***