Chereads / Pangeran Robot / Chapter 6 - Panggilan yang Menjijikan

Chapter 6 - Panggilan yang Menjijikan

Hari kedua menjadi murid baru. Banyak yang menyapa, banyak pula yang hanya melihat sosok Rio tanpa berkedip. Rio sudah mendapatkan seragamnya, karena ini hari Jum'at, Rio dan lainnya memakai kemeja motif batik lengan panjang dan celana hitam. Rio sudah terlihat seperti bapak-bapak dari belakang, hal itu yang membuat Supri tertawa sejak pagi tadi.

Terkadang Rio merasa heran dengan pengasuhnya yang satu itu, sering sekali menertawai hal yang tidak lucu. Pernah satu kali, pak Supri menertawai tajuk berita di televisi. Ia tertawa sampai menangis, begitu Rio melihat hal yang menjadi pusat kelucuan Supri, Rio tidak menemukan letak kelucuannya.

"Bagian mana yang lucu?" pertanyaan sederhana Rio lah yang berhasil membuat Supri berhenti tertawa.

Dan Supri yang merasa terusik akan menjawab, "Aden, selera humor Aden yang kelewat tinggi."

Selera humor? Rio bahkan tidak pernah bercanda.

***

Langkahnya sudah memasuki kelas, teman-teman sekelasnya berhambur ke arah Rio secara tiba-tiba, membuatnya mundur karena terkejut.

"Yo? kamu yang tinggal di rumah gedong itu?!" Pertanyaan pertama meluncur dari Rasyid, wajahnya antusias.

"Beneran yang di jalan sepi itu?! sebelum rumah sakit itu kan?" Selfi melanjutkan pertanyaan Rasyid.

Sekarang Rio bingung, Mereka bisa tahu tempat itu. Berarti mereka tinggal tak jauh dari tempatnya tinggal.

"Iya, dari mana kalian tahu?"

"Saudara saya orang sekitar situ Yo. Katanya rumah itu kan udah lama banget kosong. Terus tiba-tiba direnovasi dan ditinggali." Rasyid si paling antusias tadi menjelaskan, rupanya dia ini yang membuat teman-teman lainnya ikut antusias.

"Saya pernah lewat situ dan memang rumahnya serem banget! saya kira itu gudang penyimpanan kayu atau apa gitu, ternyata rumah mewah."

Memangnya ada apa dengan rumah itu sampai semua jadi begitu heboh. Pikir Rio.

"Ada hantunya nggak?" Fifi bertanya takut-takut.

Rio ikut berpikir, tidak ada gangguan apa pun di rumah itu. Ia ingin menjawab pertanyaan Fifi tapi pertanyaan lain sudah dilontarkan padanya.

"Nggak nyangka rumah Segede yang Rasyid bilang, itu rumahmu Yo!"

"Kamu orang kaya ya yo?!"

"Gila! crazy rich ya! katanya di Jakarta juga rumahnya sama gedenya." Aurel si gadis paling terlihat tomboi itu berhasil mengusik Rio.

"Siapa yang bilang?" Wajah datar Rio sedikit berubah masam, beberapa dari gerombolan itu menyadarinya dan mulai kembali ke bangku masing-masing, sedangkan Aurel sendiri hanya cengengesan.

"Tahu dari Bu guru," jawab Aurel sedikit canggung, tidak seperti sebelumnya yang begitu lantang dan percaya diri.

Suasana yang tadi begitu ramai berubah drastis, tak lama kemudian bel masuk berbunyi. Rio yang masih di ambang pintu beranjak ke bangku miliknya dengan perasaan tak nyaman.

Ibnu hanya melirik dari tempatnya, tak menyapa atau bicara apa pun. Saat pelajaran pun Ibnu tak meminjamkan buku cetaknya, karena Rio sudah memilikinya sendiri.

Bel istirahat berbunyi, semua berhambur keluar. Kecuali Ibnu. Ia membuka ponselnya dan menatap layar lamat-lamat lalu kembali mengantongnya.

Rio mendekatinya, "Ibnu."

"Ah! Kaget!!" Ibnu menoleh cepat sambil mengurut dadanya, "Kenapa Yo?!"

"Kamu tahu kantin ada dimana?"

"Tinggal lurus aja, ikutin anak-anak aja!" mendengar jawaban ketus dari Ibnu, Rio mengangguk dan berterimakasih pelan.

Keluar dari kelas mengikuti siswa siswi lain yang berjalan berbondong-bondong ke arah belakang sekolah. Sekolah ini sangat luas, seperti penampakan halaman depan sekolah yang begitu rindang oleh pepohonan, di tengah dan halaman belakang lebih rimbun lagi jumlah pohonnya.

Seperti sekolah di dalam hutan. Begitu pikir Rio.

Akhirnya Rio menemukan kantin setelah mengikuti para siswi yang mencuri-curi pandang padanya. Kantin terletak jauh di belakang halaman sekolah, ada banyak warung yang berjejer rapih di sisi halaman, beberapa sudut beralaskan rumput Jepang dipasangi payung besar, meja dan kursi. Sedangkan ada banyak kursi taman yang diletakkan berkelompok.

Ramai dan riuh, Rio bingung harus makan apa hari ini. Begitu banyak jajanan yang masuk dalam daftar terlarang dari bundanya, Akhirnya ia berjalan menuju koperasi yang berada di kanan halaman belakang sekolah.

Ia bersyukur ternyata koperasi di sini sangat komplit, semua ada. Alat tulis, makanan ringan, minuman dingin, susu, bahkan mesin fotocopy dan komputer.

Rio menghampiri rak Roti kemasan, meraih yang paling besar dengan isian coklat, sebatang coklat berukuran sedang lalu langkahnya berhenti di depan mesin chiller, tangan kanannya yang bebas meraih dua kotak susu strawberry. Kedua tangannya kini penuh.

Saat ingin membayar, seseorang mengejeknya dari arah belakang.

"Ini ya pangeran itu?" siswa dengan potongan undercut dan celana yang dijahit menyempit pada bagian betis memulai, wajahnya sangat terlihat meremehkan Rio.

Rio menoleh dan mengenalinya sebagai siswa dari kelas sebelah.

"Bener dia orangnya, cewek-cewek pada alay liat banci ginian doang?" Seseorang dengan penampilan yang tidak terlalu rapih itu menimpali temannya.

Rio hanya menoleh sebentar lalu kembali sibuk merogoh uangnya dari kantong. Membayar sejumlah yang kasir katakan. Meraih dengan cepat kantong plastik berisi makanannya lalu berlalu begitu saja.

"Nggak mau makan di kantin ya?" salah satu dari 5 orang itu bertanya, membuat Rio menghentikan langkahnya. Ia ingin menjawab, karena pertanyaan tadi membutuhkan sebuah jawaban baginya.

"Nggak, saya bingung-" Jawaban Rio sontak ditertawai oleh mereka, padahal ia belum menyelesaikan kalimatnya.

"Mana mau pangeran harus merakyat dan makan di tempat kayak gitu. Tuan besar makannya di resto mahal. Makannya sushi atau sejenisnya lah."

Mereka terus tertawa, tapi Rio tak menampilkan ekspresi apa- apa. Ia kembali melanjutkan langkahnya meninggalkan 5 perusuh itu, kembali ke dalam kelasnya yang pasti sedang sepi saat ini.

Rio mengingat apa yang Supri katakan padanya, tentang para perundung di sekolah. Ia harus menjauh atau sebisa mungkin menghindari mereka. Jika sudah terlibat cari pertolongan atau melapor pada pihak sekolah. Dan Rio bersyukur ini hanya sampai tahap mengolok-olok. Seberapa pun kesalnya ia dengan ejekan-ejekan itu, ia harus menahan diri.

Saat ia kembali ke kelas, Ibnu masih ada di bangkunya, masih sibuk dengan ponsel dan sebotol air mineral di tangan kanannya. Ibnu menyadari kedatangan Rio dan melihatnya tanpa mengatakan apa-apa.

Rio sendiri tidak menyapa Ibnu karena takut mengganggunya, mengingat betapa ketus Ibnu tadi. Baru saja membuka kantong plastik dan mengeluarkan roti besarnya, Ibnu mendekat dan duduk di depan bangku milik Rio, "Udah ketemu kantinnya kan?"

"Sudah, terimakasih." Rio melihat Ibnu tidak memakan apa pun, "Tidak makan?"

"Nggak, lagi menghemat!" Ibnu menjawab asal. Lalu kembali melihat ponselnya.

Dengan cepat Rio memotong roti besarnya menjadi dua dan tanpa ragu menyerahkannya pada Ibnu. "Makan sama-sama," katanya.

Ibnu meraihnya, menatap roti dan Rio bergantian lalu sebuah senyum yang pertama kali Rio lihat mengembang di wajahnya, "Makasih banyak bro!"

Rio tidak menjawab, ia mengeluarkan satu kotak susu strawberry dan kembali menyerahkannya pada Ibnu.

Ada rona samar pada wajah putih Rio. Mungkin saja Ibnu adalah teman pertama baginya di sekolah ini. Lalu ia telah melupakan panggilan menjijikan yang tadi sangat membuatnya kesal di koperasi.

***