"Saya Rio Suryadi Pratama. Salam kenal." Suara Rio terdengar jelas, tak ada jawaban dari siswa siswi yang lain. Hanya pandangan mereka yang tak teralihkan dari sosok tinggi tegap pemuda datar di depan kelas mereka.
Sangat jarang ada siswa keturunan Tionghoa masuk ke sekolah negeri di daerah ini. Kebanyakan dari mereka akan memilih bersekolah di sekolah Kristian di pusat kota.
"Nah Rio. Silahkan duduk di sana ya," Ibu Lili, wali kelas 2 A menunjuk sebuah bangku di dekat jendela sebelah kiri. Rio mengangguk sebagai jawaban dan tanpa ragu duduk di tempat yang Bu lili katakan.
Baru saja ia meletakkan tas ransel hitamnya pada kursi, siswa yang duduk di depannya menegur.
"Yo Rio ya? bukan di sini. Ini tempat Arumi. Kamu duduk di sana!" Siswa dengan rambut spike dan berkulit agak gelap itu menunjuk bangku sebelah Rio.
"Orangnya tidak ada?" Rio penasaran, padahal ia merasa Bu lili menunjuk bangku yang benar.
"Orangnya sakit, kalo nanti dia berangkat kasihan kan? bangkunya direbut orang baru."
Tidak mau banyak berdebat, Rio akhirnya mengalah untuk pindah ke bangku sebelah. Bangku yang memang terlihat sudah lama tidak di duduki. Banyak coretan Tipe-X, sebuah rumus-rumus fisika dan beberapa nama yang tidak Rio kenal.
Ia hanya membersihkan sebentar permukaan mejanya yang berdebu. Lalu membuka buku tulis kosongnya. Bu lili sudah menulis sesuatu di papan tulis putih, materi pelajarannya hari ini. Tidak jauh berbeda dari apa yang sedang ia pelajari di sekolahnya dulu.
Kini ia menyesal tidak membawa buku materi dari sekolahnya yang lama.
"Oi Rio!" Siswa dengan rambut spike itu kembali memanggilnya.
"Ada apa?" wajah si spike ini memang tidak terlihat bersahabat, tatapannya seakan Rio adalah sebuah ancaman baru baginya. Tapi Rio tidak memperdulikan hal itu.
"Nih, tak pinjamin satu hari aja. Catat dari situ materinya." Sambil menyodorkan buku cetak miliknya, si spike itu bicara sambil merengut.
"Terimakasih.. "
"Aku Ibnu." katanya singkat lalu berbalik kembali dan fokus dengan catatannya.
Rio memandangi buku cetak yang kusut itu, dalam hatinya menimbang-nimbang untuk tidak lagi menilai seseorang dari penampilannya. Awalnya ia berpikir bahwa Ibnu adalah siswa yang harus ia jauhi. Nyatanya, Ibnu adalah orang pertama yang meminjamkan buku materi padanya.
***
Bel istirahat baru berbunyi beberapa menit lalu. Banyak yang telah menyapa Rio dan memperkenalkan diri padanya. Rio bisa menghafal nama-nama itu, Mia, Rafi, Fitri, Adita, dan lainnya.. Ibnu sendiri langsung menghilang entah kemana saat bel berbunyi.
Meski banyak bertanya pada Rio tentang sekolah sebelumnya dan alamat rumahnya, tapi tak ada dari mereka yang menawarkan diri untuk mengantar Rio melihat-lihat sekolah.
Kebanyakan dari percakapan yang mereka ajukan berhenti pada pertanyaan kedua. Tentu saja karena Rio adalah si kaku. Dia tak pernah bertanya balik, sehingga percakapan yang ditujukan padanya tak pernah berkembang, selayaknya wawancara pada siswa baru. Begitulah yang siswa siswi lain pikirkan pada Rio.
'Anak kota yang sombong.' Bahkan ada dari beberapa siswa langsung mencap Rio di hari pertama pindahnya ini.
Rio tidak pernah merasa asing dengan suasana seperti ini. Di sekolahnya dulu pun sama. Ia menghela nafas samar, 'Tidak ada bedanya.' keluhnya.
Hingga jam pelajaran terakhir, Ibnu selalu meminjamkan buku pelajarannya pada Rio. Meski tak banyak bertanya dan seakan tidak tertarik dengan murid baru, tapi Ibnu jelas lebih baik dari yang lain.
Hingga pelajaran usai, ada beberapa dari mereka menyapa dan menanyakan rumah Rio, Tentu saja Rio akan menjawab sesuai pertanyaannya. Tak ada basa basi.
Ia bahkan kini sudah bergabung dengan grup chat kelas. Meski ia yakin, ia tak akan banyak bergabung dengan obrolan-obrolan di dalamnya.
Rio teringat kembali saat ia pindah dari Jakarta. Tak banyak yang mengatakan selamat tinggal atau basa basi bahwa mereka akan merindukan Rio.
"Den?" Tiba-tiba suara Supri mengejutkannya, Rio tak sadar bahwa dirinya sudah berjalan menuju gerbang sekolah. Ia terlalu banyak melamun hari ini, tulisan tangannya pun jadi terlihat aneh. Kalau sampai bunda melihatnya, bisa diceramahi nanti.
"Pak Supri, sejak kapan?"
"Aden dari tadi saya panggil nggak menjawab. Ayo pulang den."
Sebuah anggukan patuh seperti biasanya Rio layangkan. Lalu mengikuti langkah Supri menuju mobil yang terparkir di sisi jalan tak jauh dari gerbang sekolah.
Di dalam mobilnya, Rio membuka kaca jendela. Membiarkan angin memainkan rambut lurusnya yang sempurna. Melihat pepohonan yang bergerak semu muncul dan hilang dari padandangnya.
Sebuah perjalanan memang terbaik baginya. Di dalam perjalanan ia melihat banyak hal, mengingat banyak hal. Baginya sebuah perjalanan sesingkat apa pun itu tak mengharuskannya bicara. Tak menjadikan dirinya sadar, betapa kesepian dirinya.
Perjalanan seperti sebuah film yang berputar pada layar proyeksi bagi Rio. Sebuah film dokumenter yang hanya dirinya yang bisa menarasikan, hanya dirinya yang memfilter gambarnya, hanya dirinya yang akan menyutradarai. Akan seperti apa lagu pengiringnya dan hanya dirinya pula yang menikmatinya.
***
Makan siang bersama bunda. Itu artinya, mendengar lebih banyak kalimat hari ini. Bukan berarti Rio tak senang. Justru ia bahagia, ibunya tinggal selama seminggu di sini. Setidaknya Rio tak merasa ditinggalkan sendirian di tempat antah berantah.
"Gimana sekolahnya? anak-anaknya seru kan? Bu lili itu baik dan kompeten Lo menurut bunda." Setelah berkata begitu, ibunya melahap sesendok makanannya.
"Menyenangkan." Jawaban andalan Rio ketika bundanya bertanya hal serupa sejak ia mulai bersekolah.
Supri memerhatikan dua majikannya dari dapur, melihat bagaimana Rio terlihat lebih datar dari biasanya. Mood-nya buruk. Begitu pikirnya.
Koneksi internet di sini terkadang muncul dan hilang, meski sebenarnya Rio tak terlalu suka menggunakan komputer atau ponselnya. Hanya saja, pemutar musik online-nya jadi sering berhenti sendiri. Itu yang membuat mood-nya jelek.
"Pak Supri." Rio mendekati Supri yang sedang asik mencuci mobil Rio.
Pandangan Supri langsung tertuju pada headphone Rio yang kabelnya telah terputus, Supri paham apa yang terjadi.
"Jadi Aden kenapa?" Pria dengan tinggi sekitar 165 cm itu bangkit dan mengeringkan tangannya, Supri meraih headphone milik Rio dari tangannya dan melihat-lihat kabel putus itu.
Rio marah dan melampiaskan pada sesuatu lagi, pikirnya.
Rio memang kaku dan selalu berwajah tanpa ekspresi, tapi bukan berarti dia tak memiliki emosi. Dan yang mengkhawatirkan bagi Supri adalah hal seperti ini, saat Rio marah, ia akan merusak barang-barang, setelahnya ia akan menyesal dan menyalahkan diri sendiri.
Sejak kecil Rio begitu hingga saat ini. Meski sudah berkali-kali Supri berusaha menghilangkan kebiasaan buruk Rio, rupanya kebiasaan itu sudah mendarah daging.
Supri tak heran, sejak kecil saat Rio marah dan menangis bundanya akan memarahinya, melarangnya meluapkan emosi. Seperti inilah jadinya. Rio.
***