Dokter Dre tertawa melihat reaksi Rachel.
Dengan pelan, Rachel menutup mulutnya, lalu menelan ludah dengan perasaaan sungkan.
"Hem, sekali lagi aku sarankan, jangan kembangkan ide yang ada dalam pikiranmu itu! Tetaplah di sisi, El! Setidaknya setelah semua aman," saran dokter Dreana dengan ekspresi wajah serius.
Rachel mengembuskan napas berat. Lalu, gadis itu mengalihkan pandangan keluar jendela.
"Menurut dokter, apa hidup narapidana itu lebih baik daripada hidup bebas menjalankan aktivitas normal di luar sana?" tanya Rachel retoris. Suaranya lirih dan perih.
Kini giliran dokter Dre yang mengembuskan napas dalam.
"Tentang itu ... em ... aku tidak bisa memberikan penjelasan lebih banyak. Hanya saja, em ...." Dokter Dre terlihat sedikit bingung mencari kata-kata.
"Rachel ... begini, anggaplah Kamu sedang istirahat di sini sementara waktu. Nanti, jika semua telah membaik, Kamu bisa meminta El untuk mengizinkanmu melanjutkan kegiatanmu lagi. Kamu masih kuliah 'kan?" ujar dokter wanita cantik berambut coklat tua itu.
Rachel sedikit tersentak, tapi kemudian ia mengangguk.
"Na, Kamu bisa minta El untuk mengizinkanmu menyelesaikan pendidikanmu ... nanti," imbuh dokter Dre lembut.
"Istirahat?! Di sini? Sementara keluarga Om Ronnie enak-enakan melanjutkan hidup di luar sana? Dan Alex?!" protes Rachel dalam hati. Nama Alex seolah auto mengundang rasa perih.
Gadis itu mengepalkan tangan menahan kegeraman.
"Rachel, berusahalah berdamai dengan keadaan, Kamu menghadapi hal yang tak sesederhana seperti kelihatannya," nasehat dokter wanita muda yang cantik itu.
Rachel kembali mengembuskan napas dalam.
"Bagaimana aku harus mengikuti nasehat yang nggak masuk akal itu?" sanggah Rachel dalam hati, tapi mulutnya terkunci.
"Sudah dulu, ngobrolnya, sekarang kita ambil sampel darahnya ya. Em ... tapi, ngomongngomong, kalau Kamu ingin cari teman bicara, Kamu bisa hubungi aku. Kamu bisa bilang ke El atau orang-orang yang menjagamu, mereka pasti akan meneruskan ke El dan aku akan segera datang ke sini, oke?" tawar dokter Dre lembut.
Rachel menatap lekat pada dokter yang tersenyum lembut ke arahnya. Ingatannya melayang pada sahabat dekatnya, Nanny.
"Setelah ditolak Nanny, mendengar tawaran itu, rasanya seperti menemukan sebuah oase di tengah gurun. Tapi, dokter ini bukan teman dekatku, juga bukan orang yang mengenalku. Dia adalah salah satu orang El, apa tawarannya tulus?" batin Rachel ragu.
Tapi, tak urung, gadis itu tersenyum sungkan, menganggukkan kepala dan mengucapkan terima kasih.
Beberapa saat kemudian, pengambilan sampel darah dan urin serta sesi pertemuan dengan dokter Dre selesai. Rachel dipersilahkan istirahat dan beberapa jam kemudian dibangunkan.
"Anda akan melakukan beberapa hal dengan pendampingan saya, Nyonya," info Amana ketika berdiri di saming ranjang Rachel.
Gadis itu pura-pura tak dengar dan melanjutkan tidurnya.
"Nyonya, saya tahu Anda sudah bangun," desak Amana pelan, tapi tegas.
"Haeh! Menyebalkan!" umpat Rachel dalam hati.
"Kasih aku perpanjangan waktu, olahraga aja ada perpanjangan waktu, masa tidur enggak," jawab Rachel pelan.
Amana menahan geram, tapi, hanya bisa menyalurkan kegeraman itu dengan mengembuskan napas panjang.
"Kalau saya pribadi, saya nggak berani membatasi tidur Nyonya Rachel, tapi mereka sudah dalam perjalanan, mungkin dalam waktu setengah jam mereka akan sampai di gerbang rumah ini," jelas Amana datar.
"Mereka?" sahut Rachel dalam hati.
Kelopak mata gadis cantik itu terbuka.
"Siapa mereka?" tanya Rachel penasaran.
Gadis ini membayangkan kata ganti mereka adalah sebutan untuk Om Ronnie dan keluarganya.
"Orang-orang yang diutus El Thariq, Nyonya," jelas Amana tegas.
"Diutus?" sahut Rachel pelan.
"Saya akan menjelaskan lebih lanjut setelah Nyonya Rachel bersiap-siap," kata Amana cerdik.
"Ih! Licik!" umpat Rachel dalam hati.
Gadis itu akhirnya beranjak duduk.
"Apa Nyonya butuh Rose dan Jessi untuk membantu bersiap-siap? Saya akan panggilkan mereka," tawar Amana dengan hormat dan resmi.
"Ah ... tidak ... tidak," sahut Rachel dengan nada cepat.
"Baik, kalau begitu, saya keluar dulu, silakan bersiap-siap dalam tiga puluh menit," kata Amana tegas.
"Hihh!" seru Rachel dalam hati. Tapi, gadis itu hanya bisa cemberut sambil menyengirkan hidungnya.
Rachel mengikuti langkah Amana yang berjalan ke arah pintu.
Gadis itu melihat satu stel baju yang digantungkan di gawangan baju yang diletakkan tak jauh dari pintu. Sebuah celana warna putih yang terlihat disetrika dengan rapi, juga satu buah kemeja warna biru lembut yang sederhana tapi elegan bergantung di sana.
"Hem, dah kayak ratu-ratu negara mana gitu! Semua sudah diatur, disiapkan, kenapa aku nggak boleh pakai Tshirt dan celana pendek saja," gerutu Rachel sambil memandangi kaos dan celana pendek yang dipakainya.
"Baiklah!" desah Rachel lelah sambil beranjak dari tempat tidur.
"Entah demi apa aku harus mengikuti aturan mereka itu," gerutu Rachel sambil berjalan ke kamar mandi.
Tepat tiga puluh menit kemudian, Rachel dijemput oleh Amana dan dibawa ke lantai satu.
Rachel memasuki sebuah ruangan dengan meja panjang oval dengan kursi-kursi yang mengelilinginya. Empat orang laki-laki duduk di kursi-kursi itu.
Mereka berdiri dan mengangguk hormat begitu Rachel dan Amana masuk ke ruangan itu.
Rachel balas mengangguk pada dua laki-laki muda dan dua yang lain yang terlihat lebih tua.
Amana membimbing Rachel untuk duduk di kursi yang ada di bagian tengah. Lalu, kedua laki-laki muda itu mendekat ke arah Rachel dengan membawa koper-koper berwarna hitam.
Keduanya dengan bersamaan berdiri di samping kanan dan kiri Rachel, lalu membuka koper-koper itu dan mengeluarkan stopmap-stopmap yang berwarna hitam. Keduanya, meletakkan stopmap-stopmap itu di depan Rachel.
Gadis itu menyaksikan apa yang dilakukan kedua laki-laki muda yang mengenakan stelan jas lengkap itu dengan bingung.
"Ini apa lagi sih?" tanya Rachel dalam hati.
Seorang laki-laki yang lebih tua berdehem. Rachel memfokuskan pandangannya ke arah laki-laki yang duduk tak jauh darinya itu.
"Nyonya, itu adalah berkas-berkas yang harus ditandatangani berkaitan dengan kepemilikan rumah dan saham," tutur laki-laki itu.
"Heh?!" sahut Rachel kaget.
Gadis itu menoleh ke arah Amana.
"Ini yang harus Nyonya tanda tangani setelah resmi berstatus sebagai istri El. Maaf, Karena waktu yang mendesak, jadi saya tidak dapat menjelaskan dengan gamblang tentang ini," jelas Amana sopan.
Rachel menghela napas panjang.
"Ini benar-benar nggak masuk aka! Jebakan apa lagi ini? Kemarin ada penandatanganan paksa surat nikah dan sekarang? Ini. Wah! Sepertinya, aku akan makin terjebak dengan Si Brengsek El Thariq ini jika aku menandatangani tumpukan berkas ini," pikir Rachel galau.
Gadis itu memandang tumpukan yang di terbagi dua itu.
"Aku tidak akan menandatangani ini semua," putus Rachel datar.
Keempat laki-laki yang ada di ruangan itu terperanjat. Mereka berempat, secara bersamaan menatap Amana.
"Nyonya, alangkah baiknya, jika Nonya Rachel mengikuti apa yang telah dijadwalkan hari ini," bujuk Amana pelan tapi penuh penekanan.
"Ya, udah! Kamu tanda tangani aja sendiri!" putus Rachel sambil melenggang.
Rachel hendak membuka pintu, tapi pintu itu terbuka dari arah luar. Dan ....
"Agh!!" teriak gadis itu terperanjat.