Chereads / Heart of Pezzonovante / Chapter 21 - Dua Keinginan Beradu

Chapter 21 - Dua Keinginan Beradu

Dengan cepat Nex menoleh ke arah El Thariq.

"El, ngapain bunuh diri?" serunya dengan kesal.

"Mendukung Malino berarti melawan apa yang Madam Golda inginkan. Agh! Aku nggak perlu menjelaskan itu 'kan?" imbuh Nex bertambah jengkel.

"Nex!" seru Malino kencang.

El Thariq mengangkat satu telapak tangannya.

"Nex, aku bukan bermaksud untuk mendukung Malino untuk melakukan banyak hal yang terang-terangan melawan Madam Golda. Tapi, misalnya kita membiarkannya sendiri, bisa jadi hal yang sama terjadi pada kita, Nex. Ingat, sekali lagi aku di sini tidak bicara membela Malino. Aku hanya mempelajari situasi," papar El Thariq dengan tenang.

Kedua laki-laki yang berada di dekat El menghela napas panjang. Kemarahan yang sempat terpantik di antara keduanya surut.

"Malino," ucap Nex lirih.

"Pastikan jika pergi bersama Arumi, berlakulah layaknya playboy, jangan tunjukkan keseriusanmu, apalagi bertingkah layaknya orang yang jatuh cinta. Orang-orang Madam di mana-mana. Ini hanya saran. Jangan tunjukkan kelemahanmu pada lawan! Atau dia akan membuatku tak berdaya," saran Nex, kali ini dengan nada suara yang rendah.

Malino mengembuskan napas panjang dan berat.

"Aku ingin Kamu mendengarkan apa yang dikatakan Nex, Malino," imbuh El datar.

"Dan jika Kamu sudah berani menunjukkan pada khalayak seperti baru-baru ini, mungkin Kamu juga harus bersiap-siap," sambung El dengan tenang.

Malino kembali mengembuskan napas panjang, raut wajahnya terlihat muram.

"Aku akan mendengarkan kalian," ucap Malino lemah.

Laki-laki itu kemudian beranjak.

"Benar, El, sepertinya aku memang harus bersiap-siap," lanjutnya kemudian bergegas meninggalkan ruangan.

Nex ikut berdiri.

Laki-laki itu meregangkan badannya dengan merentangkan kedua tangannya.

"El, aku benar-benar nggak suka dengan kalimatmu 'dan itu bisa terjadi dengan kita', beneran, aku sangat nggak suka," celetuk Nex dengan kesal.

"Whuh ... lebih nggak sukanya lagi karena itu dekat dengan fakta," imbuhnya lemah.

"Aku pergi dulu, El, kalau mau lanjut, nanti malam aku standby di sini," pungkas Nex, kemudian berlalu.

El Thariq mengembuskan napas panjang. Ia kembali sendiri. Kesendirian itu membuat apa yang telah berlangsung sejak pagi tadi seolah berlomba menyeruak dalam benak.

"Rachel," gumamnya lirih.

"Madam Golda," gumamnya dalam nada yang sama.

Kedua nama itu seolah beradu kekuatan dalam benaknya untuk merebut dominasi.

El menekan pangkal hidungnya untuk meredakan ketegangan yang berada di bagian wajahnya itu.

"Bagaimana aku harus membuat keinginan ini terwujud tanpa harus menghadapi keinginan Madam Golda? Itu ... mungkinkah?" ucapnya dalam hati.

Laki-laki dengan bekas luka di pipi itu kembali mengembuskan napas panjang untuk mengakui bahwa pertanyaan itu untuk saat ini buntu.

Waktu berlalu.

Siang begitu cepat pergi, kini langit mulai gelap.

Sementara itu, saat ini Rachel sedang berada di tengah barang-barang yang ia pesan.

"Sebenarnya di mana tas-tas ku itu, aku lebih ingin barang-barangku sendiri," gumam Rachel kesal.

Gadis itu memandangi sepatu lari yang ia pesan.

"Kapan ini bisa digunakan?" ucapnya dalam hati.

Dengan kesal, gadis itu meletakkan kotak sepatu itu ke lantai. Kotak itu mengenai barang-barang lain yang berada dalam tas-tas kertas.

Gadis itu melemparkan tubuhnya di atas ranjang, pandangannya menerawang. Di pikirannyya terus memikirkan bagaimana cara keluar dari tempat itu.

Suara pintu kamar di buka membuat Rachel waspada. Seketika ia beranjak duduk. Ia melihat El masuk ke dalam kamar itu.

"Aku ingin tahu apa yang Kamu lakukan dengan telepon genggamku?" ucap Rachel kesal.

Alih-alih menjawab, El Thariq yang sedang berdiri di depan ranjang hanya menatap Rachel dengan tajam.

"Hei! Mana tel-"

"Hei!"

Gadis itu meronta ketika El Thariq menariknya ke dalam pelukannya.

El memeluk dengan erat, membiarkan usaha melepaskan diri Rachel sia-sia.

"Kamu akan mendapatkan yang baru," ucap El Thariq lirih.

"Bisa nggak ngomongnya sambil duduk ... normal," protes Rachel kesal.

"Nggak," jawab El singkat.

Rachel terpaksa membiarkan laki-laki itu memeluknya dengan erat.

"Ah ...," desah Rachel lega ketika akhirnya pelukan itu berakhir.

Gadis itu kemudian menggelesot, duduk di lantai. Sedangkan, El Thariq duduk di tepi Ranjang.

"Sepertinya, aku harus ganti cara agar bisa bicara dengan laki-laki ini," batin Rachel praktis.

Gadis ini memicingkan mata sambil menelisik wajah El yang tampan.

"Kenapa aku harus punya telepon genggam baru? Aku ingin milikku sendiri. Dan juga, barang-barang ini, aku nggak menginginkannya, aku ingin baju-bajuku sendiri. Dan juga, kenapa harus ada penjaga-penjaga yang berada di sekitarku. Ini rumah dan aku masih harus dijaga seperti itu," cerocos Rachel dengan menahan geram.

El Thariq tersenyum penuh arti.

"Tempat ini adalah tempat barumu, semua barang lamamu, bagusnya nggak usah dipakai," jawab El Thariq enteng.

"Dan penjaga-penjaga itu ... em ... nanti Kamu juga akan terbiasa," sambung El dengan santai.

"Kenapa harus orang lain yang menentukan mana yang baik atau tidak untukku?" protes Rachel, suaranya mulai meninggi.

"Ra ... Rachel, ingat! Aku bukan lagi orang lain sejak pagi ini. Aku suamimu," jawab El Thariq diplomatis.

"Hei! Kamu yang harus ingat! Pernikahan ini nggak nyata untukku. Pernikahan ini palsu!" seru Rachel geram.

El Thariq kembali tersenyum. Senyumnya justru tambah lebar ketika melihat Rachel mulai marah.

"Em ... Kamu harus ingat apa yang kukatan tadi pagi di ruang kerjaku untuk menyangkal pernikahan ini," balas El Thariq sambil menyertakan senyum kemenangan.

Rachel menahan geram, dua tangannya mengepal erat.

Gadis itu menelisik setiap gurat wajah laki-laki yang sedang menatapnya dengan lembut itu.

"Sebenarnya apa yang terjadi di sana?" tanya Rachel sambil menunjuk kepala El Thariq.

El Thariq terkekeh.

Laki-laki itu merebahkan tubuhnya dengan miring berbantalkan tangan. Ia menatap Rachel dengan lembut.

"Em ... yang terjadi di otakku ... em ... semacam penyakit ... yang biasa disebut dengan penyakit cinta mendadak," seloroh El Thariq santai.

Laki-laki yang biasa terlihat serius misterius itu kini terlihat tersenyum.

"Cih!" decih Rachel geram.

"Katakan yang masuk akal, aku bukan anak remaja yang senang mendengarkan dongeng pangeran charming," lanjut Rachel sambil bersungut-sungut.

El Thariq terkekeh.

"Hem ... betapa bahagianya bisa bercakap-cakap seperti ini denganmu," ucapnya dalam hati.

"Jadi, aku harus mengatakan apa? Apa yang ingin Kamu dengar?" jawab El Thariq alih-alih mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya.

"Kenapa harus aku? Apa hubunganku dengan kehidupanmu? Kalau Kamu ingin menukar bantuan dengan perusahaan Om Ronnie, Kamu bisa menikahi Mia. Kamu akan memiliki pernikahan yang sesungguhnya, normal. Em ... kurasa, Tante Mery akan senang sekali jika itu terjadi. Apalagi dengan semua yang Kamu miliki ini, keluarga Om Ronnie tentu akan menjadi keluarga yang sangat beruntung. Dan, ya ... Kamu juga," tanya Rachel.

Pertanyaannya gadis itu mengandung bujukan.

El Thariq tersenyum penuh misteri.

"Hei! Jawab!" seru Rachel kesal melihat senyum lawan bicaranya.