Chereads / Nemesis Book / Chapter 10 - Stay

Chapter 10 - Stay

LAGU Twice yang di putar di komidi putar tadi juga membuat Daniel betah. Sedangkan Lily berjalan dengan wajah cemberut. Dia sangat kesal karena waktu sudah hampir habis dan wahana yang belum dia naiki masih banyak. 

Daniel pun mengejar gadis itu. "Lily!" panggilnya. "Maaf, aku tadi sangat senang karena sudah lama," ucapnya sambil menggaruk tengkuknya. Kalau begitu, kamu mau kemana?" tanya Daniel yang menekuk kakinya untuk mensejajarkan dengan Lily. 

"Aish!" umpat Lily.

"Lily,! Kamu bersabar, ya?" 

"Tidak! Ayo, cepat!" ajaknya. 

"Kita mau naik apalagi?" tanya Daniel.

"Ayo kita main itu. Kita lempar panah ke balon itu. Hadiahnya boneka lho," ajak Lily. 

"Baik. Aku akan dapatkan itu untukmu," kata Daniel. 

Lagi-lagi, Lily tidak tahu malah berdebar di dekatnya. Setiap laki-laki itu berbicara. Setiap lali-ali itu menunjukan sifat lainnya, sia merasa bahagia karena merasa hanya dia yang mendapat sisi itu. 

Duar! Duar! Duar!

Daniel  berhasil dengan Seluruh balon yang harus di letuskan.

"Wah! Kamu hebat, Daniel," puji gadis itu yang girang dengan hadiah apa yang akan dia dapatkan. "Aaaaa hadiahnya pasti boneka yang besar itu," kata Lily. 

"Ini hadiahnya, ya," kata paman itu yang memberikan boneka seukuran kepalan tangan Lily. 

Wajah Lily yang tadinya girang berubah. Wajahnya menurun. Dia terkejut tidak mendapat boneka besar itu. 

"Paman, kenapa tidak berikan hadiah boneka yang besar itu?" tanya Lily kepada paman.

"Tidak bisa. Karena pacarmu memilih misi paling mudah," jelasnya yang disusul dengan senyuman ramah. "Mau mencoba yang susah?" tawarnya. 

Lily semakin kecewa saat ini. "Daniel! Kamu bodoh segala bidang!" umpatnya yang berlari duduk di kursi kuning tadi. 

Daniel menyusul gadis itu. "Ma-af, Lily. Aku jarang datang ke tempat ini," jelasnya yang merasa malu dan merasa bersalah. 

"Jarang? Kamu pernah datang ke tempat ini, kapan?" tanya Lily yang masih duduk dengan memegang boneka mungilnya. 

"Aku mau membeli ice cream dulu," kata Daniel tanpa menjawab pertanyaan Lily. 

Melihatnya mengalihkan pembicaraan, apakah Daniel punya masa lalu yang menyedihkan? Entahlah. Lily berhenti berpikir saat Daniel membawakan ice cream vanila untuknya. 

"Terima kasih," kata Lily. 

"Ah, pertanyaanmu yang tadi. Aku beberapa kali kesini saat orang tuaku masih ada," katanya sambil.memakan ice cream yang sama dengannya..

Lily mengangguka kepalanya. "Orang tuamu ... meninggal karena apa?" tanya Lily ragu-ragu. 

"Mereka kecelakaan," jawabnya.

"Kamu hebat. Kamu bisa sekuat ini. Selain itu, kamu harus berjuang membesarkan adikmu," puji gadis itu yang sedikit sendu melihat tatapan Daniel. 

"Tidak. Aku juga terkadang patah karena kenyataan. Kenyataan yang tidak bisa memeluk ayah dan ibu seperti dulu. Aku iri padamu, Lily. Walaupun orang tuamu jauh darimu. Kamu masih bisa mendengar suaranya, bukan?" ucap Daniel yang bahkan tidak tahu bahwa orang tua Lily juga sama sudah meninggal. 

"Benar. Aku lebih beruntung darimu, Daniel. Tapi, tidak apa-apa. Tuhan menguji berdasarkan bahu kita sekuat apa. Kamu jelas diberi  bahu yang lebih kuat dariku," jawabnya tanpa sadar meneteskan air mata yang berjatuhan tanpa diundang. 

'Jangan! Berhenti! Jangan menangis, Lily. Kamu lemah sekali menceritakan keluarga,' batinnya. 

Namun, sayang sekali, air mata Lily lebih memilih menjatuhkan diri saat itu. 

"Daniel, aku ke kamar mandi dulu, ya," ucapnya. 

"Ah, tadi kamu sudah ke kamar mandi padahal," balasnya yang melihat aneh dengan gadis itu. 

Lily berada di kamar mandi saat ini. Gadis yang duduk di kloset duduk tersebut meraung menangis. Dan hanya ada dia saja. Sehingga gadis itu  dengan leluasa menangis . Suara air keran menenggelamkan tangisannya. Lily sudah tidak mau melanjutkan perjalanannya saat ini. Dia ingin pulang saat itu juga. 

"Aish, kenapa aku pura-pura kuat di depannya? Aku juga sangat patah di sini, Daniel. Andai kamu tahu, huhuhu," kata gadis itu yang berbicara pada angin..

Hingga sudut matanya melihat tulisan dengan tinta merah di tembok putih yang bersih dan hanya menyisakan satu tulisan itu. 'Hiduplah lebih lama' kata tersebut membuat Lily memegang dadanya lebih erat. Tangisnya semakin kencang dan terisak-isak. 

Dirinya ingin menyalahkan dirinya atas kematian keluarganya. Tapi, mereka berpesan untuk tetap hidup. Bahkan tulisan di toilet ini pun seakan-akan dikirim oleh ibunya. Ibunya juga berkata demikian sebelum pergi.

Lily melamunkan kejadian itu. 

"Ibu, apakah ini untukku?" tanya gadis kecil yang memegang boneka dengan satu kancing yang hampir jatuh. 

"Lily, sini, biar kakak perbaiki bonekamu itu," tawar kakaknya.

"Tidak mau. Dia tidak boleh disentuh siapapun," balasnya kepada kakaknya itu. Kakaknya hanya memandang gadis kecil itu dengan senyuman nyaman.

"Lily, bagaimana jika kami pergi bersama? Tapi, kamu yang harus tinggal sendiri di sini. Apakah tidak apa-apa?" tanya Ayahnya. 

"Tidak mau! Aku tidak mau sendirian. Ibu! Melihat ayah! Dia mau kalian meninggalkanku," kata Lily yang mengadu kepada wanita yang berpakaian putih tersebut. 

"Ayah benar, sayang. Kamu harus tetap di sini. Coba ibu tanya lagi, cita-citamu apa?" tanya Ibunya itu.

"Dokter," jawabnya dengan air mata yang menggenang. 

"Pintar. Cita-citamu ada di sana, Lily," katanya sambil menunjuk dunia. "Bukan bersama kami, kamu tidak bisa menjadi Dokter di sini," sambungnya..

"Bagaimana dengan kakak? Kakak juga mau jadi dokter ,' kan? Ayo ikut denganku," ajak Lily yang menarik baju kakaknya itu. 

"Tidak bisa Lily. Aku sudah tidak memiliki cita-cita itu. Aku tidak ditakdirkan menjadi dokter. Aku akan bahagia di tempat lain, Lily," kata kakaknya yang mendorong gadis itu. 

"Ka-kakak. Kenapa kamu mendorongku?" tanya gadis kecil itu yang memasuki jurang dengan cahaya yang melenyapkan dirinya dan mengaburkan pandangan untuk melihat keluarganya

"Berjuanglah, Lily!" kata Kakaknya yang menyemangati. 

"Hiduplah lebih lama!" kata Ibunya. Hanya sampai situ yang terdengar dari mimpi yang selalu Lily lihat saat lelah. 

Tok! Tok! Tok!

"Lily, kamu di dalam, 'kan? Lily!" panggil Daniel yang khawatir dengannya karena tidak keluar dari kamar mandi yang dikunci itu. 

"Ah, aku sudah lama tidur di sini, ternyata. I-iya, Daniel. Sebentar," kata Lily yang mulai membuka pintu itu. "Hay, maaf lama, Daniel," sambungnya.

"Wah, kamu tidur di sana? Kamu tidak apa-apa?" tanya Daniel yang memegang pipi gadis itu. Sampai Daniel sadar bahwa Lily sudah menangis. 

"Ka-kamu menangis?" tanya Daniel pelan dan khawatir. 

"Ah, tidak! Daniel, ayo kita pergi! ajaknya sembari mengusap wajahnya malu. 

"Lily, kenapa menangis sendirian?" tanya Daniel yang membuat Lily menghentikan langkahnya dan terdiam. "Kenapa tidak mau menggunakanku sebagai sandaran dan malah menangis di kamar mandi seperti tadi?" kata Daniel yang merangkul gadis itu untuk memeluk di dada bidangnya. Gadis itu, menangis kembali. 

"Jika ada masalah, kamu boleh memberitahu aku. Jika kamu kesulitan, mengadulah kepadaku. Dan jika ingin menangis, aku sanggup menampung air matamu, Lily," papar Daniel yang memeluk gadis itu  sembari mengusap pelan rambutnya.