Malam semakin larut yang hanya ditemani cahaya bulan, sangat indah. Namun tak seindah perasaan Arabella yang campur aduk tak karuan. Gadis manis yang harus menelan pil pahit dalam kehidupannya. Ia mengira jalan hidupnya akan sesuai dengan keinginannya. Ia kira Tuhan akan selalu mendengar setiap doa yang dilantunkan. Namun ia salah, tidak ada yang berpihak padanya, bahkan Tuhan mendatangkan takdir yang tak adil untuknya.
Hanya dapat merutuki nasib buruknya dalam diam di tengah ruangan keluarga yang bersuasana suram saat ini. Nyonya Gusmant merangkul dan mengelus lengan mungilnya perlahan. Tak ada satupun yang bersuara di sana, sangat hening. Keheningan itu mungkin bisa mengalahkan bisunya malam. Bukan hanya Arabella yang bersedih, kakak kesayangannya juga menampilkan wajah lusuh karena kesedihan.
"Ara, dady benar-benar minta maaf karena keputusan ini. Dady tidak punya pilihan lain nak." Nada lirih yang sedikit serak terucap dari mulut Tuan Gusmant. Tak mampu berkata selain kata maaf atas peristiwa yang dialami putrinya. Arabella hanya terdiam menatap dadynya sendu.
"Apa kak Hans juga tahu permasalahan ini?" hanya pertanyaan itu yang mampu diucapkan gadis manis ini. Hanson mengangguk lemah menanggapi adiknya.
"Kenapa harus aku yang dijodohkan? Kenapa bukan kak Hans yang sudah siap untuk menikah? Kenapa harus aku? Hiks… hiks…. Kenapa harus aku dad, mom?! Hiks… hiks…" air mata mulai mengalir dengan deras di pipi putih yang bersemu merah muda milik Arabella. Tangisan itu semakin keras, mengungkapkan rasa perih dan pilu yang dialaminya. Sungguh sesak dada Tuan Gusmant dan putranya melihat putrinya manangis dengan keras. Nyonya Gusmant juga tak bisa menahan air matanya.
"Cup… Cup cup nak. Tenang ya sayang, cup cup… Sini peluk momy nak… Cup sayang." Nyonya Gusmant berusaha menenangkan putrinya yang menangis dengan keras, meski beliau juga menangis.
Seisi ruangan penuh dengan suara tangisan Arabella yang semakin keras di setiap waktu. Membuat setiap sudut ruangan menunjukkan raut kesedihan. Bukan pekak akibat suara tangisan gadis manis ini, tapi ikut pilu mendengar tangisan itu. Sangat terasa perihnya sayatan yang menghujam hati setiap orang di sana. Hanson sampai meremat dadanya yang sangat sesak melihat adiknya yang seperti ini.
Hanson memindahkan posisi duduknya di sebelah pasangan ibu dan anak yang sedang berpelukan. Ia mengusap pundak adik manisnya, hingga sang adik berbalik memeluknya dengan erat. Seolah ada ketakutan yang melanda dirinya. Hanson mengusap surai kelam adik manisnya perlahan, menyalurkan ketenangan yang ada dalam dirinya. Sungguh, ia sebenarnya sedang menahan tangisan agar dapat menguatkan adiknya.
Beberapa saat tangisan itu berangsur mereda, tertinggal isakan sesenggukkan dari Arabella. Dilepaskan pelukannya dari kakaknya. "Kakak, kenapa harus aku?" kembali pertanyaan itu yang terucap.
"Kakak minta maaf ya tidak bisa menjagamu dengan baik selama ini. Kamu percaya sama kakak, kan?" Hanson mengusap sisa air mata yang ada di pipi adiknya.
Arabella mengangguk lemah, masih dengan sesenggukkan. Matanya sipit semakin sipit karena menangis dengan warna yang agak kemerahan. Hidungnya juga tak kalah merah.
"Kalau kamu percaya sama kakak, tenang ya dan dengar yang kakak bilang." Hanson menjeda sebentar dan dibalas anggukkan yang masih lemah. "Kamu tidak perlu memikirkan apapun saat ini, kakak minta maaf membuatmu dalam posisi sulit. Semua ini salah kakak yang tidak bisa mengurus café dengan baik, salah kakak membuat café kita merugi." Lanjutan ucapan Hanson terpotong dengan pertanyaan Arabella.
"Apa maksud kakak? Jadi aku digunakan untuk membayar kerugian café?" Arabella tidak terima dengan penjelasan dari kakaknya yang belum selesai.
"Dengarkan aku dulu Ara, bukan seperti itu maksudku." Ucapan pemuda ini kembali dipotong.
"Lalu apa? Bukankah sama saja? Kakak menggunakan aku untuk menutup kesalahan kakak. Aku salah apa sama kakak Hah?!" Arabella menghempaskan tangan Hanson yang berusaha memeluk dirinya.
"Bukan seperti itu, dengarkan aku Ara. Aku tidak pernah menggunakanmu sebagai pengganti kerugian café. Keluarga Hangelman sendiri yang menginginkanmu untuk dijadikan menantu." Penjelasan Hanson tidak dapat diterima dengan baik oleh Arabella.
"Bullshit!! Sama saja kak! Kakak benar-benar tega menggunakan adikmu ini untuk kepentingan bisnis." Arabella berdiri dari tempat duduknya dan sedikit mendorong Hanson yang berusaha menenangkannya.
"Dengarkan kakak dulu, bukan seperti yang kau pikirkan Ara." Hanson ikut berdiri menenangkan adiknya.
"Tenang dulu nak. Dady akan ceritakan yang sebenarnya, jangan bilang seperti itu pada kakakmu." Tuan Gusmant ikut menenangkan putrinya, sedangkan Nyonya Gusmant hanya bisa menangis dalam diam melihat sikap putrinya yang tidak seperti biasanya. Penuh dengan kesedihan dan kemarahan.
"Bahkan dady dan momy tahu semua ini, hanya aku yang tidak tahu. Kalian juga tahu bagaimana aku mengejar impianku, kalian benar-benar tega. Aku tidak mau dijodohkan." Arabella agak berteriak mengungkapkan ketidaksetujuannya dengan air mata yang kembali mengalir.
"Makanya kau tenang dulu, dengarkan aku sampai selesai bicara." Hanson yang biasanya sabar mulai tersulut emosi mendengar ucapan adiknya.
"Tenang bagaimana hah?! Kakak pikir aku bodoh sampai-sampai kakak mengarang cerita. Asal kakak tahu, kakak sudah menghancurkan mimpiku. Kakak senangkan sekarang?" Arabella tak kalah memunculkan emosinya yang semakin membuncah.
"Aku benar-benar minta maaf Ara." Hanya itu yang terucap dari bibir Hanson.
"Ara, dengankan dady ya nak." Omongan Hanson disambut Tuan Gusmant yang terpotong oleh Arabella. "Apa yang harus aku dengarkan dad? Sudah cukup penjelasan yang aku dengar. Dady tidak pernah peduli padaku." Arabella sudah mencapai puncak emosinya.
"Jaga ucapanmu Ara! Kau boleh berkata kasar padaku tapi jangan pada dady!" Hanson juga tak kalah membentak adiknya yang mulai melewati batas. Arabella tersentak dan kembali mengeluarkan isakan terisak.
"Aku benci sama kakak!!!"
Gadis mungil ini mendorong tubuh besar kakaknya hingga terhempas ke sofa. Hanson tidak menyangka kekuatan tersembunyi yang ada dalam diri adiknya yang imut setiap saat. Kini terkesan beringas dengan amarahnya. Arabella berlari menuju ke kamarnya yang berada di lantai dua rumah itu. Sambil menangis ia menghilang dari ruang keluarga. Hanson sempat ingin mengejar jejak adiknya, namun dicekal oleh Tuan Gusmant.
BRAK!!!
Dentuman pintu kamar Arabella terdengar hingga ke lantai pertama saking kerasnya, bahkan agak bergema. Tuan Gusmant menenangkan putra sulunya yang wajahnya masih merah padam akibat emosi.
"Tenanglah Hans, biarkan adikmu sendirian. Wajar jika adikmu syok dan marah dengan keputusan ini. Sebaiknya kau istirahat dan jangan ikut marah padanya." Tuan Gusmant mendudukkan Hanson di sofa, hingga putranya sedikit meredakan emosinya.
"Iya dad, aku tahu seharusnya tidak terbawa emosi. Tapi dia sudah kelewatan." Suara pemuda ini menjadi lebih lirih dari biasanya.
"Sudahlah, adikmu masih muda. Dia masih labil dengan emosinya, sebaiknya kita menghadapinya dengan kepala dingin." kembali Tuan Gusmant meyakinkan Hanson agar tenang.
"Dadymu benar nak, sebaiknya kalian membersihkan diri dan istrirahat ya. Momy akan menemani Arabella sebentar." Nyonya Gusmant berkata sembari beranjak dari duduknya, air mata yang ada sudah diusap hingga hilang. Sepasang ayah anak ini hanya dapat mengangguk dan ikut meninggalkan ruang keluarga mengikuti kepergian Nyonya Gusmant.
Sebenarnya, ada empat kamar yang terdapat di kediaman keluarga kecil ini. Kamar milik Arabella dan Hanson berhadapan di lantai dua. Kamar orang tua mereka terletak di lantai satu dekat dengan ruang keluarga, dan kamar tamu juga berada di dekat ruang keluarga di sisi yang lain. Semua kamar itu dilengkapi dengan kamar mandi dalam untuk privasi setiap orang yang tinggal di dalam rumah tersebut.
Dalam kamar yang dipenuhi warna merah muda dan biru muda, terduduk sosok gadis manis di dekat jendela sembari memandangi sebuah foto. Kejadian yang di alami Arabella mendadak merindukan sosok yang ada dalam foto yang dipandanginya. Sosok seorang siswa lengkap dengan seragam sekolah menengah akhir. Senyuman pemuda dalam foto itu sangat indah di mata Arabella. Tentu saja, dialah tambatan hati gadis manis ini. Linangan air mata tak dapat ia tahan masih mengalir begitu deras.
Mereka sudah bersama selama beberapa tahun sebelum mereka berpisah, sang pemuda pindah karena pekerjaan orang tuanya. Semenjak perpisahan itu, komunikasi antara keduanya terputus begitu saja. Namun, Arabella masih memegang keyakinannya bahwa pemuda itu akan kembali menemuinya suatu saat nanti. Perkataan yang masih terngiang dalam pikiran Arabella memperkuat keyakinannya, "Tunggulah sebentar, hanya sebentar saja." Sang kekasih melayangkan janji yang masih dipegang hingga saat ini.
Tok tok tok!
Suara ketukan pintu membuyarkan pikiran Arabella yang sedang berkelana entah kemana. "Ara, apa kamu sudah tidur nak?" suara lembut muncul beberapa detik detelah ketukan pintu itu. Arabella segera menghapus air matanya.
"Belum mom, ada apa mom?" sahut Arabella dengan suara seraknya sembari menyimpan foto yang ia pegang dan berjalan lemah menuju pintu.
"Boleh momy masuk nak?" pertanyaan Nyonya Gusmant mendapat respon dari pintu kamar yang terbuka. Muncul sosok gadis yang langsung menghambur memeluk ibunya. Tangisan kembali muncul darinya.
"Cup cup sayang, sudah… kita duduk di dalam kamar saja ya nak." Nyonya Gusmant melepas pelukan putrinya, dituntun menuju kasur dalam kamar itu. Nyonya Gusmant kembali memeluk dan mengelus rambut panjang putrinya dengan kasih sayang.
"Sudah nak sudah, cup cup… Momy kira kamu sudah tidur karena lelah menangis." Nyonya Gusmant justru menggoda putrinya yang hanya menangis dalam pelukannya.
"Ish momy malah becanda~… Ara kan sedang sedih.." nada manja akhirnya muncul dari Arabella. Nyonya Gusmant tersenyum tipis memandang wajah putrinya sambil mengusap air mata di sana.
"Sudah, masa putri momy yang kuat menangis seperti anak kecil begini. Malu nanti kalau teman-teman Ara tahu." Nyonya Gusmant kembali menggoda putrinya yang direspon manyunan manja.
"Momy, Ara tidak mau menikah seperti ini. Pokoknya tidak mau mom. Momy tahukan kalau Ara menolak dari awal dady bilang soal perjodohan. Kenapa dady malah mendukung ide kakak? Sangat menyebalkan." Arabella merengek dengan lucu di depan momynya yang hanya tersenyum karena tingkahnya yang seperti anak kecil, sangat menggemaskan.
"Tadinya momy tidak setuju dengan keputusan dady dan kak Hans. Tapi dady meyakinkan momy, jadi momy menyetujuinya. Gerrit adalah pemuda yang baik sayang. Dia pasti akan menjagamu seperti dady dan momy menjagamu. Percayalah pada momy." Nyonya Gusmant berusaha sebaik mungkin meyakinkan putrinya yang keras kepala.
"Tapi bagaimana dengan pendidikan Ara? dan juga…." Arabella terdiam sejenak. "Bagaimana jika kak Willem kembali?" ia melanjutkan kembali pertanyaanya. Nyonya Gusmant sedikit terkejut, ternyata putrinya masih menyimpan perasaan pada pemuda itu, bisa dibilang mantan kekasih putrinya, Willem Van Espen.
"Tentu saja pendidikanmu akan terus dilanjutkan sampai kamu lulus, sayang. Jadi kamu masih menyimpan perasaan untuk Willem nak?" pertanyaan dan pernyataan Nyonya Gusmant ditanggapi dengan anggukan pelan dari putrinya. Diusap kembali rambut putrinya perlahan.
"Momy tidak bisa mengatakan apapun soal Willem nak. Jika kalian memang berjodoh, Tuhan pasti akan membawanya bertemu denganmu. Sampai sekarang dia tidak pernah kembali, bukan? Apa kamu yakin dia juga masih memiliki perasaan yang sama denganmu?" Nyonya Gusmant tidak berniat menggoyahkan hati putrinya, lebih tepatnya mengarahkan putrinya untuk berpikir logis dan tidak naif karena perasaannya begitu besar pada pemuda itu. Arabella tidak bisa menjawab pertanyaan momynya.
"Nak, kamu boleh menolak perjodohan ini dan mencintai orang yang kamu inginkan. Tapi momy minta satu hal, jangan terlalu mencintai seseorang melebihi cintamu pada Tuhan. Ingat kata-kata momy ini ya." Anggukan lemah dari putrinya yang didapatkan Nyonya Gusmant.
"Bagus kalau putri momy mengerti, sebaiknya sekarang Ara tidur yah. Jangan menangis lagi, mungkin mulai besok Gerrit akan datang menjemputmu." Nyonya Gusmant tersenyum tipis dibalik ucapannya.
"Loh, kok dia menjemput Ara? Memangnya besok kemana mom? Kan besok Ara ada kelas dan latihan." Raut tak terima kembali muncul di wajah manis Arabella yang memprotes momynya.
"Minggu depan pernikahan kalian akan diadakan, jadi mungkin saja Gerrit akan mengajakmu mempersiapkan pernikahan kalian. Ara libur dulu ya sampai pernikahan selesai. Momy akan meminta izin pada pihak kampus." Nyonya Gusmant menjelaskan dengan lembut sehingga Arabella tidak marah lagi, tapi tetap melayangkan aksi protes.
"Lah kok begitu mom? Ara tidak mau menikah dengannya. Lagian Ara harus menyiapkan pertunjukkan pertama Ara di luar kampus. Ara tidak mau membolos lagi." Arabella kembali merengek yang membuat Nyonya Gusmant gemas.
"Pertunjukkannya masih satu bulan, masih ada waktu setelah pernikahan, bukan? Ara, momy minta tolong setuju dengan pernikahan ini ya. Dady dan kak Hans pasti punya alasan sendiri, mereka juga merasa buruk dan sulit dengan keadaan ini. Bisakan nak?" mendengar perkataan momynya dengan ekspresi yang sangat sendu, Arabella merasa lebih buruk dari sebelumnya.
"Iya mom, Ara akan menuruti permintaan momy." Gadis manis ini hanya bisa mengiyakan dengan terpaksa.
"Kalau begitu kamu tidur ya sayang, supaya besok tidak kelelahan." Nyonya Gusmant tersenyum manis mendengar jawaban putrinya. Arabella hanya mengangguk lemah.
Gadis manis ini melanjutkan rutinitas malamnya sepeninggalan Nyonya Gusmant dari kamarnya. Mengganti pakaian dan mencuci wajah, tangan dan kaki, serta menggosok giginya. Ia selalu melakukan rutinitas itu agar besok hari terlihat segar saat bangun pagi. Ia bergegas menyelinap ke dalam selimut tebal bercorak kartun kucing betina yang lucu. Mata yang sudah lelah, kini membuatnya terlelap dalam mimpi. Dan berharap semua akan berlalu dengan cepat.
-----
Mentari sepertinya muncul lebih awal dengan keceriaan yang dirasakan seluruh manusia di bumi. Kecuali gadis manis yang masih tertidur lelap dalam balutan selimut tebal miliknya. Matanya terbuka karena terusik oleh sinar matahari yang masuk melalui serat-serat gorden berwarna biru muda. Dengan rasa malas yang melanda, Arabella melanjutkan rutinitas paginya. Waktu menunjukkan pukul enam pagi, ia segera mandi dan berganti pakaian. Tidak lupa sedikit berdandan, meski ia tak menyukai kegiatan yang akan dilakukan nanti. Sudah kebiasaan saja dengan rutinitasnya.
Beberapa waktu diperlukan sampai ia duduk di ruang makan. Di sana juga hadir dady, momy dan kakak laki-lakinya. Ia masih merasa canggung karena kejadian marah-marah semalam. Tidak ketinggalan juga sosok yang membuat moodnya semakin buruk. Gerrit juga hadir dalam kegiatan sarapan keluarga Gusmant. Pagi sekali pemuda itu datang sehingga ikut sarapan bersama dengan keluarga Gusmant.
"Nak Gerrit akan membawa putri paman kemana hari ini?" pertanyaan mucul dari Tuan Gusmant ditengah menikmati sarapannya.
"Saya akan membawa Arabella mendatangi butik milik kakak sepupu saya untuk memilih desain gaun pernikahan paman." Gerrit menjawab dengan santai, seolah mereka sudah dekat dalam waktu yang lama.
"Baiklah, paman minta pulangnya jangan terlalu sore ya, nak. Supaya kalian tidak terlalu lelah nantinya." Tuan Gusmant membalas ucapan Gerrit dengan agak tegas.
"Jaga baik-baik adikku, aku tidak akan tinggal diam kalau kau menyakitinya." sahut Hanson.
"Baik paman, kak. Saya akan menjaga Arabella dengan baik." tanggapan Gerrit membuat Tuan Gusmant dan Hanson sedikit tenang. Paling tidak keberadaan Arabella jelas bersama Gerrit, maka pemuda ini yang akan bertanggungjawab jika terjadi sesuatu pada Arabella.
Nyonya Gusmant hanya diam membisu, menampilkan wajah sendunya. Beliau tak menanggapi percakapan orang-orang yang ada di sana. Beitu juga dengan Arabella yang menampilkan wajah kesal. Beberapa saat mereka terdiam menikmati hidangan sarapan yang sederhana. Membuat suasana terasa kikuk bagi Gerrit yang masih menjadi orang asing dalam keluarga itu.
"Dad, mom, aku sudah selesai sarapannya. Apa kak Gerrit sudah selesai?" tiba-tiba Arabella menyela kegiatan sarapan mereka sambil sedikit melirik ke piring Gerrit.
"Saya juga sudah selesai." Gerrit dengan santai menanggapi Arabella.
"Kalau begitu, ayo kita berangkat kak. Dady, momy, kak Hans, aku berangkat dulu ya." Arabella segera mengajak Gerrit dan beranjak dari tempatnya duduk meninggalkan semua orang di sana. Gerrit malah masih geleng-geleng dengan tingkah menjengkelkan calon istrinya.
"Paman, bibi, kak Hanson, saya pamit dan terimakasih atas makanannya." Gerrit berpamitan dengan sopan pada semua anggota keluarga yang tersisa.
"Tentu, hati-hati di jalan ya nak Gerrit, ingat pesan paman." Tuan Gusmant menyahut ucapan pamit dari Gerrit. Segera pemuda ini mengiyakan dan membungkuk hormat pada seluruh anggota keluarga Gusmant.
Langkah panjangnya berusaha menyusul langkah Arabella yang sudah keluar dari kediaman keluarga Gusmant. Saat sudah melewati pintu keluar rumah itu, terlihat Arabella yang masih berjalan menuju halaman tempat mobil Gerrit terparkir. Gerrit mempercepat langkahnya hingga dapat meraih lengan kecil Arabella. Gadis manis ini justru menghempaskan tangan Gerrit, tak menyerah Gerrit kembali menangkap pergelangan tangannya dengan kuat.
"Bisakah kau tidak berjalan mendahuluiku?" Gerrit menatap nyalang tepat ke mata Arabella yang berwarna gelap kecokelatan. Gadis manis di depannya hanya diam dengan wajah yang tak senang.
"Kau tidak bisa bicara?" Gerrit kembali bertanya dengan nada yang semakin dalam.
"Saya hanya ingin semua berjalan dengan cepat. Lagi pula kakak yang sudah menjeput saya sepagi ini, membuat mood saya buruk." Arabella menghempas tangan Gerrit namun tidak bisa karena Gerrit memegangnya dengan sangat kencang.
"Apa kau tahu saya tidak suka dengan gadis manja sepertimu?" Gerrit melangkah maju membuat Arabella melangkah mundur.
"Jika kakak tidak suka, jangan menikah dengan gadis manja macam saya." Arabella tak mau kalah dengan perkataan Gerrit.
"Seharusnya saya memang tidak menikah denganmu, tapi saya tidak bisa menolak permintaan kedua orang tua saya." Gerrit terus melangkah maju sehingga Arabella sedikit menabrak mobil Gerrit yang terparkir di sana. Gerrit juga mendekatkan wajahnya ke wajah gadis di depannya.
"Apa yang ingin kakak lakukan?" sambil memejamkan mata Arabella berucap dengan nada yang bergetar.
Klik…
Suara pintu mobil terbuka diikuti dengan ucapan Gerrit. "Saya hanya ingin membuka pintu mobil, buka saja matamu dan masuk dalam mobil." Suara husky khas Gerrit jelas terdengar di telinga Arabella. Membuatnya membuka mata dengan degub jantung yang berpacu cepat. Ia hanya bisa mengangguk dan masuk ke dalam mobil dengan gugup.
Bugatti La Voiture Noire berwarna hitam melaju membelah jalanan kota Amsterdam yang ramai. Suasana dalam mobil itu sangat canggung dan menciptakan kesunyian di antara mereka berdua. Arabella hanya bisa memandang kosong ke arah luar jendela mobil yang menampilkan pemandangan bangunan kota Amsterdam. Dalam hati kecilnya mendadak takut dengan ucapan Gerrit, ia bahkan tak berani menatap wajah tampan pemuda di sampingnya. Hanya sekilas ia melihat wajah Gerrit yang sangat serius saat menyetir, terkesan garang dan tegas.
Sepertinya kak Gerrit marah padaku karena berjalan mendahuluinya tadi. Mengapa dia terlihat menyeramkan? ucap Arabella dalam benaknya.
"Arabella Gusmant, kau tidak mau menikahkan?" tiba-tiba Gerrit membuka suara yang mengagetkan gadis manis di sampingnya.
"I-iya kak, bukankah kakak sudah bertanya semalam?" tanggapan Arabella agak ragu-ragu, takut salah bicara.
"Begitu? Kau tidak mau menikah, atau tidak mau menikah denganku?" Gerrit kembali bertanya dengan suara yang lebih mengintimidasi.
"Sa-saya tidak mau keduanya." lirih Arabella yang masih terdengar.
"Saya juga tidak membutuhkan gadis semacam dirimu." Ucapan menohok dari Gerrit membuat Arabella tercekat, ia merasa semakin sesak di dalam mobil yang sempit.
"Tapi saya membutuhkan pernikahan ini, begitu juga dirimu. Lihatlah." lanjut Gerrit sembari menyerahkan ponselnya dengan tangan kanan.
Arabella menatap pria di sampingnya dengan bingung dan meraih ponsel tersebut. Ia melebarkan matanya, terkejut ketika melihat berita yang tertera dalam ponsel.
"La Yucca Café hampir gulung tikar karena terlilit hutang"
"La Yucca Café yang terkenal akan dijual dengan harga rendah"
"Penjualan La Yucca Café semakin merosot dan kehilangan pelanggan"
"Mengapa kau terkejut? Bukankah kau sudah mengetahui berita itu?" Gerrit bertanya setelah melihat raut wajah kaget yang di tampilkan Arabella sekilas. Gadis manis ini hanya terdiam memandang nanar ke arah ponsel yang masih menyala.
"Pikirkan baik-baik, kenapa orang tua mu menaruhmu dalam posisi sulit ini." suara Gerrit kembali mengusik pendengaran Arabella.
Ternyata sampai seserius ini…..Makanya aku…..Ada di posisi ini? Arabella membatin dalam diam. Rasa sedih, bersalah, marah bergejolak dalam hatinya.
"Ke-kenapa gosipnya seperti ini? Apa benar keadaan keluarga kami sampai seperti ini? La-lalu pihak GH Group Compagnie me-menolong kami?" Arabella masih dalam keadaan tercengang mencoba memproses keadaan, ia teringat ucapan kakaknya semalam.
"Kau masih belum paham? Katakanlah begitu, bukankah tidak ada pertolongan secara sepihak di dunia ini? Ini namanya kerja sama." Gerrit membalas dengan ketus.
"Kalau begitu, apa yang didapatkan GH Group Compagnie dari pernikahan ini?" Arabella kembali bertanya, ia merasa memiliki hak atas jawaban pertanyaan tersebut.
"Kami dapat mengakuisisi café keluargamu. Untung saja saya tidak menikah dengan orang idiot, hanya anak manja. Kau tenang saja, setelah kelulusan aku akan pergi ke Prancis untuk meneruskan pendidikanku dan kau bisa menetap di Belanda." Gerrit memberikan penjelasan yang mengejutkan sekaligus menyebalkan bagi Arabella.
"Berarti kita akan tinggal secara terpisah?" tanya Arabella dengan wajah yang semakin masam.
"Bisa dibilang begitu. Jadi kau tidak perlu khawatir dengan adanya aku, kita akan menikah hanya untuk status." Gerrit menjawab dengan suara yang rendah dan hanya di balas dengan anggukkan oleh Arabella.
Arabella memilih terdiam kembali dan memandangi pemandangan yang mereka lalui. Di sisa perjalanan mereka sama-sama diam. Gerrit kembali fokus menyetir melewati jalanan yang semakin padat. Beberapa lama akhirnya mereka sampai di butik tujuan untuk memilih desain pakaian pernikahan mereka.
Gerrit segera turun dari mobil pribadinya tanpa suara meninggalkan Arabella yang masih termenung tidak menyadari telah sampai tempat tujuan. Gerrit dengan cepat membuka pintu mobil di sisi Arabella, membuat gadis manis ini tersadar.
"Apa kau tidak mau turun?" suara husky Gerrit muncul tepat di telinga Arabella sembari melepas sabuk pengaman yang masih terpasang paa tubuh Arabella.
"I-iya kak, saya akan keluar." Arabella mendorong tubuh besar Gerrit menjauh dari tubuhnya. Segera ia turun dari mobil mewah itu.
"Berhentilah bersikap manja. Tunjukkan padaku kalau kau memang bukan anak kecil, Arabella." ucapan Gerrit sebelum berlalu pergi membuat Arabella semakin gondok dengan tingkahnya itu. Sangat menyebalkan dan mengesalkan, ketidaksukaan Arabella semakin tinggi.
Arabella berteriak kecil sambil menginjak-injak tanah yang tidak memiliki salah apapun padanya. Semua ini gara-gara Gerrit yang membuatnya sangat kesal. Ujungnya, ia tetap berjalan mengikuti Gerrit masuk ke dalam butik.
Tidak ada seorangpun yang menyadari seringai yang terukir pada bibir Gerrit. Entah merasa puas atas perbuatannya atau gemas dengan tingkah Arabella yang seperti anak kecil.
To Be Continued…
Author's note
Terimakasih atas dukungan dan antusias teman-teman pembaca. Terus ikuti perjalanan cerita ini, jangan lupa sertakan saran dan kritikan, serta like cerita ini ya. Agar autor dapat meneruskan menulis cerita ini dengan semangat....
Love you gays...