Chereads / Candlelight In My Life / Chapter 5 - GOLDEN TEARS OF TINKERBELL

Chapter 5 - GOLDEN TEARS OF TINKERBELL

Hembusan angin semakin kencang seiring matahari yang mulai tenggelam. Langit menunjukkan warna yang sama dengan warna dedaunan pada pohon-pohon besar. Musim gugur mulai memasuki pertengahannya yang mampu merubah udara hangat menjadi dingin saat mendekati musim dingin. Suasana dalam rumah juga tidak terhindarkan berganti dari udara dingin ac menjadi udara hangat penghangat ruangan. Keduanya berbanding terbalik demi bertahan hidup di musim yang kian dingin. Termasuk keluarga Gusmant yang sudah mulai merubah suasana dalam rumah mereka.

Mobil hitam Lamborghini Veneno baru saja terparkir di garasi kediaman keluarga Gusmant. Tiga orang yang ada di dalam sana turun dengan membawa bawaan mereka masing-masing. Tidak terkecuali Gerrit Hangelman yang memutuskan untuk menyetir mobil kesayangan calon kakak iparnya, Hanson Gusmant. Keputusan itu dibuat karena Arabella terus-menerus menangis di dalam mobil semenjak meninggalkan supermarket. Menjadikan penampilannya cukup berantakan.

"Kalian sudah pulang nak? Kalian dari mana saja? Loh kenapa Arabella seperti ini? Kenapa kamu sayang?" Nyonya Gusmant terkejut melihat keadaan putri manisnya acak-acakan dengan bekas air mata di wajahnya. Beliau memeluk putrinya dengan kehangatan membuat Arabella menangis lagi dengan kencang.

"Momy hiks hiks…. Kak Willem jahat momy hiks hiks…" ucap Arabella yang tersengal-sengal karena isakannya.

"Momy sebaiknya Ara dibawa dulu ke kamar supaya dia bisa istirahat. Nanti kami yang akan menceritakannya." Hanson langsung menginterupsi Nyonya Gusmant. Bukan bermaksud lancang pada orang tua, tapi Arabella tidak akan bisa menceritakannya dengan gamlang dengan keadaannya.

"Okay, momy akan membawanya ke kamar, nak Gerrit bibi tinggal dulu ya." Nyonya Gusmant menepuk lengan kedua anak laki-laki dihadapannya dan meninggalkan keduanya menuju kamar Arabella.

"Baik bibi." Gerrit mengangguk sopan.

"Kemarikan kantong belanjaanya, akan kusimpan di almari dapur." Hanson langsung mengalihkan perhatian Gerrit yang sebelumnya memandangi punggung Arabella yang kian menghilang.

"Oh ya kak, kalau boleh, biar saya saja yang menaruhnya. Kak Hanson pasti lelah hari ini." Gerrit mengembangkan senyumannya di depan Hanson. Mereka akhirnya menuju dapur bersama, membawa belanjaan-belanjaan itu.

"Kau pasti juga merasakan sakit, bukan?" Hanson bertanya sambil menaruh ice cream kesukaan Arabella di dalam freezer. Dia sudah mendengar ceritanya saat dalam perjalanan.

"Saya tidak tahu kak, yang saya rasakan hanya kecewa karena Hanna sudah berubah. Tapi saya tidak merasakan sakit seperti Arabella. Maafkan saya yang sudah membuatnya patah hati." Gerrit menghentikan kegiatannya sebentar dan fokus memandang Hanson. Wajahnya mengisyaratkan rasa bersalah. Hanson menghela napas panjang, seolah ada beban yang sangat besar.

"Aku sudah tahu sejak lama tentang Willem, ternyata menyembunyikannya dari Arabella hanya menjadi bom waktu yang bisa meledak kapanpun. Aku tidak menyangka kalau secepat ini akan meledak. Bukan salahmu, kau juga korban." Hanson duduk dengan keadaan resah di kursi ruang makan. Gerrit tetap melanjutkan kegiatan menaruh camilan di almari dapur hingga selesai, meski cukup terkejut.

"Dari mana kak Hanson tahu? Apa paman dan bibi juga tahu?" Gerrit bertanya sambil mengambil posisi duduk di samping Hanson.

"Tentu saja kami harus tahu semua yang berkaitan dengan Arabella, putri kesayangan keluarga ini. Dia adalah putri satu-satunya di keluarga besar kami. Aku memiliki banyak saudara sepupu laki-laki tapi tidak ada yang perempuan. Jadi dia yang paling disayangi oleh kakek." Hanson meremat jemarinya, menandakan dia cemas pada keadaan adiknya.

"Jadi kakak menyembunyikannya agar Arabella tidak merasa sakit?" Gerrit kembali bertanya pada Hanson.

"Iya, tapi diluar dugaanku akan menjadi seperti ini. Sangat sulit mendapatkan informasi tentang mereka terutama Hanna, mungkin karena dia seorang model papan atas di Prancis sekaligus penerus Louise Universe Group. Sampai-sampai, aku tidak tahu dia mantan kekasihmu. Bukankah dunia begitu sempit?" Hanson memandang ke arah Gerrit dengan tatapan yang menelisik.

"Saya juga tidak menyangka kalau Willem adalah kekasih Arabella yang sudah menghilang selama kurang lebih empat tahun terakhir." Gerrit membalasnya dengan senyuman yang memiliki banyak arti.

"Benarkah? Bukannya kau sudah mencari tahu tentang kami sebelum menyetujui perjodohan ini?" Hanson berbalik menanyai calon adik iparnya.

"Apa maksud kak Hanson? Saya tidak mengerti." Gerrit berlagak tidak tahu apa-apa atas pertanyaan Hanson, tapi calon kakak iparnya ini juga tidak bisa ia bohongi.

"Sudahlah, kau tidak perlu menyembunyikannya. Aku sudah melihatmu beberapa kali di CCTV café dan kau sudah terbiasa mengikuti adikku. Bahkan kau meminta Bram untuk mengawasi café, dia datang sebagai pelanggan." Smirk muncul di bibir tipis Hanson, Gerrit sama sekali tidak terkejut.

"Jadi kakak menyadarinya, saya kira tidak." Senyuman misterius juga hadir di wajah Gerrit yang sudah memperhitungkan penjelasan Hanson.

"Apa maksudmu?" Hanson nampak bingung dengan reaksi yang diberikan Gerrit.

"Saya hanya ingin tahu tentang calon istri saya sebelum memutuskan menikahinya. Tentang masa lalunya, pendidikannya, dan saya tidak ingin menikah dengan wanita yang sudah tidak suci." Gerrit memasang muka yang menyebalkan, membuat Hanson marah menyinggung adiknya seperti itu.

BRAK!!

"Jangan kurang akar kau, Gerrit! Kau pikir adikku apa?! Hah!" Hanson menggebrak meja dengan begitu keras, ia langsung berdiri dan memegang kerah kemeja Gerrit.

"Tenang dulu kak, bukan begitu maksud saya. Kakak pasti tahu semua orang menginginkan pasangan yang baik, begitu juga saya ingin memiliki pasangan yang baik sebagai ibu dari anak-anak saya kelak." Gerrit terlihat sangat tenang dengan wajah datarnya, sedangkan Hanson masih memegang erat kerah kemeja Gerrit.

"Kau memang benar, tapi apa perlu kau meragukan adikku?" suara Hanson menjadi bergetar akibat amarahnya sudah mencapai batas.

"Saya minta maaf karena sudah kelewatan, kak Hanson tenang dulu. Saya tidak bermaksud buruk pada Arabella." Gerrit masih dengan wajah datarnya, memang benar kata Arabella kalau Gerrit sangat menyebalkan. Apalagi kata-kata tajam yang ia ucapkan.

"Okay, jangan macam-macam pada adikku, aku tahu kau memiliki segalanya tapi adikku bukan mainan yang bisa kau gunakan seenaknya. Jangan sakiti dia Gerrit, dia salah satu kebahagiaan untukku." Hanson berkata dengan nada rendahnya yang belum pernah muncul sebelumnya.

"Tentu, saya tidak akan menyakitinya." Jawaban singkat yang muncul tidak mampu membuat Hanson melepas kerah baju Gerrit. Tatapan keduanya menyelam dalam menembus retina masing-masing. "Saya akan menjaganya seperti kakak menjaganya." lanjut Gerrit tanpa rasa ragu dalam dirinya. Pandangan mata Hanson melemah, apa dia yakin dengan ucapan Gerrit itu? Entahlah yang pasti Hanson sudah memegang omongan calon adik iparnya.

Tatapan mereka terputus ketika dering berbunyi dari ponsel milik Gerrit. Hanson mengisyaratkan agar Gerrit menerima panggilan telepon itu. Siapa tahu ada kabar yang penting? Gerrit berjalan menuju ruang tamu yang sepi mendengarkan dengan seksama penjelasan dari seberang telepon.

"Apa kau bilang?! Okay aku akan ke sana sekarang." Gerrit segera menutup teleponnya, dibelakangnya sudah berdiri Hanson yang bersedekap.

"Ada masalah apa sampai kau teriak di telepon?" Gerrit terkejut dengan keberadaan Hanson, dia berusaha setenang mungkin agar Hanson tidak terlalu curiga.

"Ah tidak ada apa-apa kak, hanya pekerjaan kantor. Sepertinya saya harus segera pergi." Gerrit berpamitan pada Hanson.

"Sebaiknya kau makan malam dulu di sini. Sebentar lagi dadyku akan kembali, apa kau tidak ingin menemuinya?" tawaran Hanson membuat Gerrit bimbang, memilih antara pekerjaan atau makan malam bersama keluarga calon istrinya.

"Maaf ka, saya harus segera pergi karena situasinya genting di kantor, mungkin lain kali saya akan bergabung makan malam." Tepat sekali, Gerrit pasti akan lebih memilih pekerjaannya.

"Baiklah, apa kau mau menggunakan mobilku? Jika iya, pakai saja." mengingat Gerrit datang dengan mobil milik Hanson, lebih tepatnya sebagai supir. Jadi mobilnya masih terparkir di parkiran supermarket.

"Tidak perlu kak, saya bisa naik taksi. Saya pamit dulu."

Gerrit berpamitan dengan sopan pada Hanson, ia bergegas meninggalkan kediaman keluarga Gusmant dengan langkah panjangnya. Cepat-cepat memesan taksi online agar dapat segera menuju GH Group Compagnie.

-----

Makan bersama keluarga biasanya terjadi pada waktu sarapan dan makan malam. Saat sarapan mungkin waktunya tidak sebanyak saat makan malam, karena semua harus bergegas menuju tempat aktivitas masing-masing. Namun, ini bisa menjadi saat untuk menikmati sarapan sehat sambil bertukar cerita rencana masing-masing hari itu. Melontarkan satu atau dua cerita lucu dan menyenangkan bisa menjadi booster di pagi hari, membangkitkan semangat untuk bergerak dan beraktivitas.

Saat makan malam memiliki waktu yang lebih leluasa, karena semua anggota keluarga selesai dengan tugas masing-masing. Menikmati hidangan bersama keluarga dan bertukar cerita pengalaman seharian dapat menjadi penawar lelah setelah seharian beraktivitas. Rutinitas tersebut selalu dilakukan oleh keluarga Gusmant. Seperti sekarang ini, semua anggota keluarga telah duduk di ruang makan menikmati hidangan yang dimasak Hanson.

"Ara, dady sudah mendengarnya dari Hans, apa benar kau bertengkar dengan Gerrit?" Tuan Gusmant mulai membuka pembicaraan. Arabella hanya mengangguk ringan menjawab pertanyaan dadynya.

"Apa kau baik-baik saja? Bagaimana dengan Willem?" pertanyaan Tuan Gusmant membuat Arabella terkejut, ini pasti ulah kakaknya yang menceritakan semuanya. Gawat kalau Tuan Gusmant tahu, bisa-bisa ia dilarang bertemu dengan Willem. Arabella masih sangat mencintai Willem, gadis yang naif memang.

"Tidak apa-apa dad, lagi pula kak Gerrit sudah meminta maaf. Kalau soal kak Willem, aku tidak sengaja bertemu dengannya saat membeli camilan." Arabella menampakkan ekspresi lesunya.

"Bagaimana perasaanmu? Apa kau masih memiliki perasaan padanya?" Tuan Gusmant kembali bertanya yang membuat Arabella sedikit tertekan, tapi itu bukan tujuan beliau.

"Aku masih mencintainya dady, kak Willem sudah kembali, aku yakin dia akan benar-benar kembali." Mata cantik milik Arabella menampilkan kilau air mata yang akan jatuh. Raut wajahnya sangat muram.

"Kau benar-benar dibutakan oleh perasaanmu sampai kau tak melihat kenyataan. Arabella, dady minta kau lupakan Willem, dia bukan laki-laki yang baik untukmu." Tuan Gusmant sangat serius dengan ucapannya, lebih tepatnya ultimatum yang harus dilakukan oleh putrinya.

"Dady tidak mengenalnya dengan baik, dia orang yang baik untukku. Jika memang dia tidak baik menurut dady, bagaimana dengan kak Gerrit? Dady menyerahkanku padanya karena kondisi café. Siapa yang tidak baik sebenarnya? Apa kak Gerrit sebaik itu?" buliran air bening perlahan mengalir di pipi gembil Arabella.

"Ara, dengankan dady baik-baik, memang benar kau dan Gerrit dipertemukan dengan cara yang kurang baik. Tapi dady percaya dia akan mampu menjagamu, bukan seperti Willem yang tidak bertanggung jawab." sebenarnya Tuan Gusmant tidak sedang marah, hanya saja sedikit tegas agar putrinya sadar akan sesuatu. Arabella hanya diam dalam tangisannya yang membisu.

"Nak, tenangkan dirimu, dady hanya ingin kamu tidak disakiti oleh Willem." Nyonya Gusmant yang melihat reaksi diam Arabella mengelus rambut hitam panjang putrinya dengan lembut.

"Tapi kata momy hiks hiks kalau aku dan dia dipertemukkan kembali itu tandanya berjodoh, hiks hiks hiks…" Arabella kembali menangis, padahal baru beberapa jam lalu ia menangis hingga matanya merah. Nyonya Gusmant memeluk putrinya dengan erat.

"Cup cup sayang, maafkan momy yah sayang cup cup. Sudahlah Adrian, jangan membuat putriku sedih, kalian ini benar-benar menyebalkan. Cup cup sayang."

Seperti kebanyakan suami yang takut istri, Tuan Adrian Gusmant langsung kicep tak mampu berkata-kata lagi. Dadynya saja diam apalagi Hanson Gusmant yang juga diam dari awal. Di dalam keluarga ini, wanita adalah tahta tertinggi. Hampir semua anggota keluarga laki-laki bersikap lembut dan menjunjung kehormatan wanita. Mereka mendapat pelajaran tersebut dari kakeknya Tuan Adrian Gusmant.

"Kalian lanjutkan makan saja, momy akan membawa Ara ke kamarnya, ayo sayang kita ke kamar." Arabella mengangguk menuruti perkataan momynya, tubuhnya yang lemas seperti yupi ditopang oleh Nyonya Gusmant menuju ke kamarnya.

Sementara itu, ayah dan anak yang masih tertinggal di ruang makan bersama makanan-makanan yang teranggurkan. Bukannya meneruskan kegiatan makan, mereka malahan saling menyalahkan satu sama lain. Keduanya seperti anak kecil yang sedang saling menyalahkan atas sebuah kesalahan. Benar-benar mereka ini membuat pusing saja.

"Hanson, sebaiknya kau besok tidak usah datang ke café untuk sementara. Awasi adikmu untuk sementara waktu sampai pernikahan terjadi, jangan sampai dia bertemu dengan Willem. Dady tidak mau mereka bertemu kembali." ucapan Tuan Gusmant adalah titah yang harus dilaksanakan oleh anak laki-lakinya secara mutlak.

"Iya dad, aku akan menjaganya dengan baik, tapi bagaimana posisi Sous Chef jika aku tidak ada?" Hanson tentunya masih mengkhawatirkan café, takut bawahannya akan kehilangan arah ketika dia tidak ada di tempat.

"Kau tidak perlu khawatir son, Head Chef masih bisa bekerja tanpa Sous Chef untuk sementara waktu. Fokus saja mengawasi adikmu, jika perlu jangan biarkan berangkat kuliah dulu, atau kau ikuti saja ke kampusnya." final Tuan Gusmant memberi titah yang mutlak pada putra sulungnya.

"Baiklah dad, aku akan mengawasinya sampai pernikahannya terjadi." mau tak mau Hanson harus menuruti titah dadynya. Jika tidak, bisa-bisa dia di straf oleh dadynya seperti yang sudah pernah dialaminya.

Mereka akhirnya meneruskan kembali kegiatan makan malam yang tertunda, sedangkan Arabella dan momynya melanjutkan makan di kamar. Karena si putri manis masih saja menangis terus-menerus. Bahkan saat disuapi momynya, dia masih saja menangis. Untung saja, dia tidak tersedak akibat aksi makan sambil menangis. Memang benar tentang Arabella yang sangat manja pada keluarganya, dia sudah di manja oleh kakeknya sejak dini.

Di sisa malam yang panjang, Arabella tidak bisa tidur dengan tenang meski sudah lelah menangis. Hanson secara suka rela menemani adiknya, dari cerita tadi siang sampai mengenang masa kecil mereka bersama. Akhirnya mereka berdua tertidur di tengah-tengah cerita mereka. Padahal selama ini mereka selalu menjahili satu sama lain, bisa akur juga ternyata.

-----

Cicitan burung mulai terdengar di luar kediaman keluarga Gusmant. Di sana masih banyak pohon besar yang menjadi sarang bagi burung-burung kecil yang mencari kehangatan. Namun, cicitan burung-burung itu dikalahkan oleh bunyi dering ponsel Arabella, sang pemilik justru tidak bergeming sedikitpun. Kakak laki-lakinya yang menjawab panggilan telepon tersebut dengan kondisi setengah sadar.

"Hallo, ini siapa? Hoaaam…" Hanson meregangkan tubuhnya dan belum menyadari aksinya.

"Hei, kenapa kau yang menjawab panggilan telepon adikmu bukan panggilan teleponmu sendiri?" suara yang ada di seberang panggilan telepon sangat familiar untuk Hanson. Ia mengecek kembali ke layar ponsel adiknya.

"Lalu, kenapa kau menelepon adikku sepagi ini, Ray? Sekarang masih pukul enam pagi kau tahu?" gerutu Hanson justru dibalas tawa dibalik telepon,s sahabatnya yang sudah pindah dan menetap di Jerman semenjak bekerja, Rainart Gamelberto.

"Aku sudah meneleponmu semenjak subuh tadi, tapi tidak ada yang menjawab. Apa kau lupa untuk menjemputku di bandara? Kau sudah berjanji dasar ceroboh." suara di seberang sana agak kesal pada Hanson.

"Astaga aku lupa, kau dimana sekarang?" Hanson sudah seratus persen tersadar dari alam mimpinya.

"Kau tenang saja, aku sudah berada di rumah keluargaku. Jika kau masih ingin tidur tidak masalah, tidurlah lagi. Aku akan ke rumahmu pukul tujuh nanti, sekalian kau temani aku mencari tempat seperti kesepakatan kita." Penjelasan dari Ray membuat Hanson sedikit tenang, dia masih memilik waktu yang cukup untuk bersiap.

"Okay datanglah, aku akan bersiap."

"Aku akan segera datang."

Panggilan telepon terputus begitu mereka saling bersepakat. Hanson meletakkan kembali ponsel adiknya di tempat sebelumnya. Ia melihat adiknya yang masih tertidur yang masih terlihat lucu dan cantik, terlihat seperti bayi. Hanson memutuskan meninggalkan kamar adik perempuannya setelah mengelus lembut rambut hitam itu.

Tepat pukul tujuh, mata yang tadi terpejam rapat mulai terbuka perlahan akibat cahaya yang masuk cari jendela kaca yang tidak terhalang gorden lagi. Hanson telah membuka gorden tersebut agar adiknya bisa bangun tanpa dibangunkan. Tubuh mungilnya menggeliat di bawah selimut tebal berwarna merah jambu yang bergambar karakter kartun kucing betina yang lucu. Ia bangun dan meregangkan tubuhnya di atas kasur.

Arabella segera membersihkan kasurnya dan berlalu menuju kamar mandi untuk mandi. Dalam kamar mandi, ia memandang wajahnya sendiri dengan rasa menyesal telah menangis. Wajahnya masih terlihat cantik meski lusuh, tapi bagian matanya merah dan bengkak. Ia tetap melanjutkan aktivitas paginya. Setelah selesai mandi, ia berganti pakaian sekadarnya. Dia berpikir bahwa hari ini tidak ada kegiatan apapun, termasuk jadwal perkuliahan.

Tok tok tok!

"Iya mom sebentar, aku sedang merapikan rambutku." Arabella berteriak dalam kamar sambil menyisir rambut.

Tok tok tok!

Ketukkan pintu kembali terdengar tanpa ada suara manusia di baliknya, membuat Arabella kesal. Ia berpikir ketukkan pintu itu ulah kakaknya yang sedang jahil. Ia segera bangkit dan membuka pintu, terkejut melihat sosok yang ada di depannya sekarang.

"Apa kau merindukanku? Yah, aku dapat merasakannya kucingku yang nakal." Ucap sosok laki-laki yang tubuhnya sedikit lebih tinggi dari Hanson dan mencolek hidung Arabella gemas.

Arabella sangat senang bisa bertemu dengannya lagi, salah satu orang yang dapat dirindukan. Padahal laki-laki ini bukan teman, sahabat, kekasih apalagi keluarganya, tapi sikapnya jauh lebih manis dibanding kakaknya sendiri. Arabella langsung menghambur memeluk laki-laki itu.

"Kakak kapan datang? Kenapa tidak memberitahuku?" Arabella sedikit mendongak melihat wajah Rainart Gamelberto, sahabat karib Hanson.

"Kalau aku memberitahumu, bukan kejutan namanya. Bagaimana kabarmu?" tanya Ray yang tidak melepas pelukannya, begitupun Arabella yang hanya mendongak.

"Aku baik kak, lalu bagaimana kabar kakak? Apa kakak akan menetap di Belanda?" dihadapan Ray, gadis manis ini bisa menjadi dirinya sendiri, gadis yang manja dan imut.

"Syukurlah kalau kau baik-baik saja, aku juga baik. Mungkin aku akan menetap di sini atau di Den Haag." Ray menjawab dengan begitu lembut.

Mereka berbincang selayaknya kakak dan adik yang sudah lama tidak bertemu. Saling berpelukan, bahkan Arabella menggelendot pada tubuh besar Ray. Mungkin jika diperhatikan, Hanson memasang wajah cemburu pada adiknya yang lebih senang bersama Ray.

Ketiga orang ini melanjukan berbincangan di taman belakang kediaman keluarga Gusmant setelah sarapan. Taman yang ditumbuhi berbagai bunga dan sayuran yang dirawat dengan baik oleh Nyunya Gusmant. Di sana juga ada bangku yang masih terlindung kanopi di tepi taman.

"Apa kau habis menangis semalam?" Ray mulai penasaran dengan tampilan mata Arabella yang masih agak bengkak.

"Aku habis tertawa kak, astaga." Helaan nafas terdengar jelas dari Arabella.

"Kau masih imut seperti dulu ya. Sepertinya kau belum puas menangis, lanjutkan saja Ara." Ray langsung menarik Arabella ke dalam pelukannya. Kehangatan dirasakan oleh Arabella, ia mulai menangis lagi. Bahkan isakannya terdengar sangat jelas dengan suara keras. Meluapkan segala rasa sakit yang bersarang dalam hatinya.

Hanson membiarkan sahabatnya memeluk adiknya, ia juga ikut mengusap kepala Arabella yang berada di depannya. Beruntung sekali Arabella memiliki sosok kakak yang selalu ada untuknya dalam masa sulit, ada dua lagi. Pasti banyak yang akan iri padanya, termasuk kedua sahabatnya.

Kembali lagi, Ray sudah terbiasa selalu ada untuk Arabella. Sahabat karib Hanson ini sangat menyayangi Arabella, bahkan ia sudah dianggap anak sendiri oleh kedua orang tua Arabella. Hanson dan Ray sudah bersahabat semenjak berkuliah di De Horeca Academie Den Haag, mengambil pendidikan hotel, restoran dan café. Yah benar sekali, Hanson memilih tetap tinggal di rumah dan menempuh satu jam perjalanan untuk berkuliah. Sedangkan, Ray memang orang asli Den Haag.

Ray sangat menyayangi Arabella, hingga ia memutuskan kembali dari Jerman dan meninggalkan pekerjaanya di sana. Dia mempunyai perasaan lebih dari sekedar kakak untuk Arabella. Sudah pernah ia menyatakan perasaannya pada Arabella, namun hanya kata maaf yang diucapkan gadis manis ini.

'Aku tahu, bukan aku yang ada di hatimu. Tapi aku lega sudah mengatakannya padamu.'

Kalimat itu yang diucapkan Ray setelah ditolak oleh Arabella. Penolakan tersebut tidak membuat Ray menjauh dari Arabella, menurutnya jika ia tidak bisa menjadi kekasih, ia masih bisa menjadi kakak untuk Arabella. Terlebih ada sahabat karibnya, Hanson.

"Andai saja kau memilihku sejak dulu, aku akan selalu menjagamu dan kau tidak perlu menjalani perjodohan." Ray berucap lembut sembari masih memeluk Arabella yang mulai tenang.

"Wah kalian sangat mesra ya, aku jadi iri loh." Hanson melipat tangannya menyindir kedekatan Arabella dan Ray. Baru juga tadi malam menemani Arabella, sekarang sudah jahil lagi.

Arabella mengerutkan dahinya dan menghentikan isakannya seketika mendengar tuturan Hanson. "Kakaaaaak.." Arabella langsung merengek tidak suka ketika kakaknya mengejek.

"Kau selalu menganggu Hans." Ray berucap dengan wajah mengejek pada Hanson.

"Oho, menganggu katamu? Apa kau lupa dia adikku bukan adikmu?" Hanson berbalik mengejek Ray dari pertanyaannya. Ray memutar bola matanya malas, ternyata sahabatnya masih kekanakan.

"Dia memang adikmu, tapi dia lebih menyukaiku dibanding dirimu." Ray kembali membalas ejekan yang diberikan Hanson. Arabella yang duduk diantara mereka berdua sudah mulai jengah dengan perdebatan mereka.

"Hei sudah, kenapa kalian berisik sekali sih?!" Arabella melengkingkan suaranya hingga kedua laki-laki ini terdiam.

"Wah si kecil mulai marah, hahahaha." Kalimat itu diucapkan Hanson sambil meninggalkan tempat duduknya perlahan.

"Ish kakak menyebalkan!" Arabella segera bangkit dan mengejar Hanson di taman. Mereka saling mengejar hingga Hanson terjatuh dan dipukuli oleh Arabella.

"Aw! Hei! Berhenti! Ara hentikan! Sakit! Ampun!" Ray melihat Hanson yang berteriak kesakitan malah tertawa cukup keras, bukan membantu sahabatnya. Nontonan yang sudah lama Ray rindukan selama di Jerman. Teman lama memang bertugas menertawakan sahabat, bukan?

"Makanya kakak jangan jahil seperti itu, menyebalkan sekali." Arabella masih setia memukuli kakaknya. Namun kedua tangan Arabella langsung dicekal oleh kakaknya.

"Sudah dibilang berhenti, sakit tahu. Kau ini baru selesai menangis malah memukuliku. Lagi pula sebanyak apapun kau menangis, tidak akan ada yang berubah." suara Hanson mendadak serius membuat Arabella juga tercekat.

"Iya aku tahu kak, tidak ada harapan untuk mengubahnya." Arabella berdiri dan membersihkan dirinya dari rumput yang menempel pada bajunya. Hanson cukup peka mehilat ekspresi yang sedih lagi.

"Sudahlah, jangan sedih terus. Ayo kita ke dalam dan makan camilan sambil menonton televisi." Hanson mengajak Arabella yang hanya dibalas anggukan saja.

Mereka bertiga beralih ke ruang keluarga yang terdapat sebuah televisi layar datar yang cukup besar. Sedangkan Hanson melanjutkan langkahnya menuju dapur, di sana momynya terlihat sedang memandangi katalog di meja makan.

"Momy sedang melihat apa? Serius sekali." Hanson penasaran dengan katalog tersebut.

"Ini loh, momy sedang memilih desain venue pernikahan untuk Arabella. Semua terlihat bagus, momy jadi bingung." Nyonya Gusmant menunjukkan katalog itu pada Hanson. Anaknya ini membolak-balikan dengan mengingat sesuatu.

"Kalau tidak salah, Arabella pernah bilang ingin pernikahan yang sama persis seperti film Twilight mom. Konsep pernikahan di outdoor, yah seperti ini mungkin." Hanson menunjukkan venue yang indah dengan konsep outdoor.

"Benar juga, terima kasih nak nanti momy akan membicarakannya dengan Nyonya Hangelman. Kau mau apa nak? Mau momy buatkan sesuatu?"

"Tidak perlu mom, aku hanya ingin mengambil beberapa camilan mom." Hanson menjawab sambil berjalan menuju almari dapur dan mengambil beberapa jenis camilan.

Nyonya Gusmant hanya mengangguk-anggukkan kepalanya menanggapi jawaban Hanson. Putranya diam kembali menuju ke ruang keluarga, membawa beberapa bungkus camilan yang sudah ada dalam pelukannya.

Bruk!

Hanson menjatuhkan semua bungkus camilan yang dibawanya di atas meja, melihat Arabella dan Ray kembali berpelukkan membuat dirinya kesal. Ah bukan, lebih tepatnya mengiri akibat pemandangan itu.

"Kalian ini, selalu bermesraan di depanku, Arabella itu adikku bukan adikmu Ray." Hanson melipat tangannya.

"Astaga kakak kau mengagetkanku, jangan menjatuhkan makanan seperti itu tidak baik tahu." cerocos Arabella yang mulai membuka sebungkus camilan itu.

"Oh, kalau dibelakangmu boleh aku memeluk adikmu?" Ray justru meledek Hanson yang semakin kesal.

"Tidak, tentu saja tidak! Kau ini…."

Ting Tong ~

Suara bel rumah membuyarkan niat Hanson yang akan memukul Ray. Untung saja Ray selamat saat ini, jika tidak mungkin ia sudah memiliki memar di wajahnya.

"Siapa sih yang pagi-pagi sudah bertamu?"

Hanson menggerutu meninggalkan Arabella dan Ray yang menikmati camilah menuju pintu rumah. Setelah di buka, ia merasa heran dengan laki-laki yang ada di hadapannya.

"Ternyata kau, kenapa kau datang sepagi ini Gerrit?"

Yah, calon adik iparnya yang datang dengan setelan jas lengkap dan membawa dua barang di tangannya.

To Be Continued…

Author's note

Terimakasih atas dukungan dan antusias teman-teman pembaca. Terus ikuti perjalanan cerita ini, jangan lupa sertakan saran dan kritikan, serta like cerita ini ya. Agar autor dapat meneruskan menulis cerita ini dengan semangat....

Love you gays...