Teriknya matahari tak dirasakan oleh sejumlah orang yang berada di dalam ruangan ber-ac. Lebih tepatnya salah satu ruangan sebuah butik terkenal di kota Amsterdam. Butik yang dipilih oleh Nyonya Hangelman sebagai tujuan putranya memilih pakaian pernikahan bersama calon menantunya. Meski putra sulung keluarga Hangelman ini sangat malas mengurus pernikahannya sendiri, ia tetap menuruti kemauan mamanya. Kalau boleh memilih, tentu ia akan memilih pergi ke kantor dan berkutat dengan tumpukan pekerjaan yang menyenangkan baginya.
Perasaan tersebut juga dirasakan oleh Arabella sebagai calon pengantin wanita. Lebih baik dia berangkat ke kampus dan bertemu teman-temannya yang menyenangkan. Apalagi gadis cantik ini sama sekali tidak merasa nyaman dengan keberadaan calon suaminya. Namun terlambat, mereka sekarang sudah berada di butik yang dimaksud. Mereka juga bertemu langsung dengan seorang desainer terkenal sebagai pemilik butik tersebut.
"Hey kak, kenalkan ini Arabella Gusmant calon istriku, dan ini kak Henzie Hangelman kakak sepupuku, Ara." Gerrit tanpa basa-basi langsung memperkenalkan kedua perempuan berbeda usia ini.
"Oh ini toh calon istrimu, cantik sekali. Arabella tidak perlu sungkan ya, panggil saja aku kak Henzie." Henzie mengulurkan tangannya pada Arabella, langsung disambut oleh gadis manis di depannya.
"Iya kak, terimakasih atas pujiannya. Senang bertemu dengan kakak." Senyuman manis mengembang di bibir Arabella. Senyuman yang nampak tulus pada kakak sepupu Gerrit. Arabella memang tidak akan melampiaskan rasa kesalnya pada orang yang tidak semestinya.
"Okay, langsung saja ya. Bagaimana desain yang kalian inginkan?" Henzie langsung to the point menanyakan tentang desain sembari duduk di atas kursi yang nampak mewah. By the way, mereka berada di ruang kerja Henzie sebagai owner Mode Schoonheid Boutique. Begitu juga dengan Gerrit dan Arabella yang duduk di hadapan Henzie.
"Aku tidak yakin kak, apa kakak ada contoh desain yang bagus?" Gerrit justru berbalik bertanya pada kakak sepupunya. Sedangkan calon istrinya hanya terdiam.
"Baiklah, ini ada beberapa contoh desain yang aku buat untuk beberapa orang penting." Henzie menunjukkan sebuah buku katalog yang penuh dengan desain-desain sepasang pakaian pernikahan yang elegan, anggun dan mewah.
Gerrit membuka setiap halaman dari katalog tersebut, melihat dengan teliti setiap pasang pakaian pernikahan. Semuanya nampak bagus membuatnya bingung. Ia melirik pada Arabella yang hanya diam termenung.
"Kenapa kau diam saja? Lihatlah katalog ini, pilih saja yang kau suka." Gerrit menyerahkan katalog itu pada Arabella. Mata gadis ini mendadak berbinar melihat keindahan dari desain-desain yang ada dalam katalog.
"Waaaah… kak ini sangat bagus desainnya. Aku jadi bingung mau pilih yang mana." Kekehan kecil terdengar diakhir kalimat Arabella.
"Kau menyukai yang mana saja?" tanya Henzie yang senang dengan pujian tulus Arabella. Gadis manis di samping Gerrit ini menunjukkan beberapa desain yang disukainya. Henzie menandai beberapa desain-desain tersebut dan menghubungi asistennya untuk menyiapkan pakaian tersebut.
"Nah, aku sudah bilang ke asistenku. Sekarang harus mengukur ukuran tubuh kalian dan mencoba beberapa yang sudah jadi. Bagaimana menurut kalian?" Henzie menjelaskan tahap selanjutnya yang harus dilakukan oleh pasangan ini.
"Baiklah kak, semakin cepat semakin baik. Masih banyak yang harus dilakukan kak." Gerrit sedikit menggerutu menunjukkan ketidaksukaannya pada kegiatan yang dia lakukan bersama Arabella. Begitu juga dengan Arabella yang memasang muka datarnya.
"Okay-okay, kau ini memang sangat menyebalkan Gerro. Ayo adikku yang manis kita tinggalkan laki-laki sinting ini." Henzie meledek Gerrit sambil menggandeng tangan Arabella yang sedikit ditarik meninggalkan Gerrit.
"Hey kak, jangan panggil namaku seperti itu. Haaaaah yang benar saja, kak tunggu aku." Gerrit sangat kesal dengan ejekan kakak sepupunya yang lebih memperhatikan Arabella dibanding dirinya.
Sebenarnya siapa yanga adik sepupunya? Aku atau Arabella? Gerutunya dalam hati sambil mengikuti langkah dua perempuan yang larut dalam obrolan mereka, melupakan sosok laki-laki yang tepat berada dibelakang mereka.
Mereka berjalan menuju ruangan yang penuh dengan gaun dan setelan jas pernikahan yang tergantung di sana. Kebanyakan gaun di sana berwarna putih dengan keunikan desain masing-masing. Dan juga setelan jas berwarna hitam memenuhi setiap gantungan di sana. Namun ada yang menarik perhatian Gerrit, setelan jas berwarna putih bersih dengan sedikit warna hitam pada kerah dan bagian saku.
"Kau menyukai setelan jas itu Gerro?" Henzie yang diam-diam memperhatikan Gerrit langsung menanyakannya. Henzie memang seorang wanita yang tidak suka berbasa-basi pada siapapun.
"Iya kak, warnanya bagus dan bersih, aku menyukainya." Gerrit juga langsung menjawabnya tanpa basa-basi seperti kakak sepupunya.
"Okay, setelan jas itu masih bisa dipasangkan dengan gaun yang dipilih tadi. Bagaimana denganmu cantik?" Henzie berbalik bertanya pada Arabella yang masih diam memandangi gaun-gaun yang sudah tersedia di depan mata.
"Ah, i-iya kak bagus, saya menurut dengan keputusan kak Gerrit saja." Gadis manis ini terkesiap mendengar pertanyaan Henzie, wajahnya bersemu merah muda dengan malu-malu. Gerrit yang melihatnya, terlintas sebuah ide yang menurutnya bagus.
"Kak, kau punya kertas dan pena, bukan? Aku mau pinjam." Gerrit spontan meminta kertas dan pena pada kakak sepupunya yang membuat heran.
"Kenapa kau mendadak meminta pena dan kertas? Ada di ruanganku jika kau mau meminjam."
"Okay, kalian lanjutkan saja memilih desain, ada yang harus aku kerjakan dulu."
Tanpa aba-aba, Gerrit langsung pergi meninggalkan para perempuan yang ada di ruangan itu menuju ruang kerja kakak sepupunya. Demi melancarkan ide yang dimilikinya, ia meninggalkan sesi memilih gaun pernikahan untuk Arabella sesaat saja.
Ia mengambil beberapa lembar kertas dan sebuah pena, mencorat-coret gambar di atas kertas itu. Ekspresi seriusnya membuat wajahnya semakin tampan. Beberapa gambar yang ia buat pada awalnya gagal. Diremas-remasnya kertas yang berisi gambar-gambar yang gagal itu, ia lemparkan tepat ke dalam tempat sampah yang tersedia di sana. Kembali ia menggambar beberapa gambar yang nampak indah dan menawan. Tak ketinggalan keterangan di setiap gambar yang ia buat.
Setelah puas dengan hasil karyanya, kertas-kertas itu dipotret dengan sangat baik. Sepasang matanya menilik salah satu nama di kontak ponselnya.
Tut tut tut….
"Hallo, ada apa kau meneleponku sobat? Apa terjadi sesuatu?" akhirnya suara yang Gerrit inginkan di seberang sambungan telepon. Suara sahabat sekaligus sekertarisnya, Keinan Van Theodorus.
"Tidak ada masalah, aku hanya ingin kau melakukan sesuatu." Gerrit menjawab sambil memandang gambar-gambar miliknya.
"Apa yang bisa kulakukan kali ini? Apa ada hubungannya dengan pernikahanmu?" Kei selalu dapat menebak isi pikiran kawan baiknya.
"Iya, aku sudah mengirim beberapa gambar padamu. Tolong lakukan sesuai dengan gambar-gambar itu, pastikan mereka indah seperti yang aku inginkan." Gerrit kembali menjawab dengan nada yang berbeda dengan biasanya. Nada yang menunjukkan seseorang sedang senang, mungkin.
"Baiklah, akan segera kutangani untukmu, tidak perlu khawatir semua akan indah seperti yang ada dipikiranmu." Tepat, itulah jawaban yang diinginkan Gerrit dari Kei. Pemuda ini tanpa sadar tersenyum.
"Okay, thanks. Aku akan mentraktirmu minum nanti."
Gerrit langsung menutup panggilan teleponnya ketika menyelesaikan kalimatnya tanpa mendengar balasan dari seberang telepon. Gerrit tidak menyadari sesuatu yang menggebu dalam dirinya. Seolah dadanya akan meledak karena jantungnya berpacu dengan sangat cepat. Dia hanya berpikir bahwa hidupnya seperti roller coaster yang melaju begitu cepat, naik turun secara tiba-tiba.
Gerrit kembali melangkah menuju ruangan yang dipenuhi pakaian pernikahan tadi. Melanjutkan diskusi yang sempat tertunda antara dirinya dengan sang desainer. Namun pandangannya teralihkan ketika ia melihat sosok Arabella terlihat sangat senang masih memilih gaun pernikahan yang diinginkannya.
"Kak bisakah tunjukkan padaku gaun yang bisa berubah warna, yang terlihat berwarna putih tapi sebenarnya berwarna merah jambu atau warna merah maroon?" Gerrit langsung menginterupsi perbincangan antara Henzie dan Arabella. Membuat mereka menatap bingung ke arah Gerrit yang tiba-tiba bicara.
"Kenapa tiba-tiba kau menginginkannya Gerro? Bukankah kau setuju dengan pilihan calon istrimu?" Henzie berusaha mengonfirmasi perkataan Gerrit, karena raut wajah Arabella berubah begitu mendengar perkataan Gerrit.
"Entahlah kak, aku mungkin akan setuju dengan desainnya, tapi aku menginginkan bahan gaun yang kusebut." smirk khas Gerrit terukir jelas pada bibirnya. "Aku ingin dia memakai tiara yang aku desain, makanya gaun yang dia pakai harus sesuai bukan?" lanjutnya kembali membuat Henzie memutar bola matanya sebal.
"Baiklah, sekarang kalian pilih saja desainnya lalu mencobanya masing-masing agar pas di tubuh kalian. Aku akan mencari bahan yang kau inginkan Gerro, kau benar-benar menyulitkan saja." Henzie menggerutu sambil mengambil setelan jas yang dipilih oleh Gerrit.
"Okay kak, thanks a lot." Gerrit tersenyum yang nampak tulus di mata Arabella, pemandangan yang baru ia ketahui dari sosok Gerrit.
Ternyata dia bisa senyum juga, nampak berbeda dengan wajahnya yang selalu serius. Arabella seolah berdebat dengan dirinya sendiri dalam batin. Sisi positifnya menganggap senyuman Gerrit manis, namun sisi lainnya menganggap senyuman itu menyeramkan.
Henzie membuyarkan lamunan Arabella, ia segera menuntun gadis manis ini untuk mengganti pakaiannya dengan gaun-gaun yang sudah diambil. Ada tiga gaun pengantin yang harus dicoba oleh Arabella. Sedangkan calon suaminya hanya mencoba satu setel jas saja.
-----
Kini mentari sudah berada tepat di atas ubun-ubun setiap orang di siang bolong. Terik matahari tidak terasa di dalam mobil ber-ac milik Gerrit. Sudah hampir setengah jam meninggalkan butik untuk memilih desain pakaian pernikahan mereka. Sekarang mereka akan menuju toko perhiasan yang juga rekomendasi Nyonya Hangelman untuk memilih cincin pernikahan mereka. Tentu saja toko perhiasan berkelas yang menjadi langganan orang-orang penting di negeri ini. Namun suasana menjadi suram dari sebelumnya. Sedari butik Arabella lebih banyak diam dan tidak menunjukkan antusiasnya. Semuanya salah Gerrit yang mendadak memilih gaun pernikahan seenaknya untuk Arabella. Mereka hanya bicara seperlunya untuk memilih gaun pernikahan.
Keheningan yang ada sungguh mengusik batin Arabella yang sejatinya lebih suka bicara bertukar pikiran. Ketidaknyamanan dirasakan Arabella membuatnya gelisah.
"Kak Gerrit, apa kakak marah padaku?" Arabella memulai pembicaraan dengan mengumpulkan seluruh keberaniannya.
"Saya tidak marah padamu. Kenapa memangnya?" suara rendah Gerrit membuat nyali Arabella menciut kembali.
"Sa-saya merasa tidak nyaman jika saling diam, kak. Suasananya membuat saya gelisah, bisakah kita saling bicara? Saya akan menyetujui keputusan kakak." sambil menunduk ia berujar pelan yang masih bisa terdengar oleh Gerrit. Meski terdengar tulus pria kaku ini tidak menghiraukan ucapan Arabella.
Hanya bisa terdiam kembali, Arabella merasa menyesal telah mengeluarkan pendapatnya. Suasana hatinya semakin buruk semenjak kalimat terakhirnya. Sampai-sampai tidak menyadari mobil telah berhenti di depan toko perhiasan yang sangat mewah. Bahkan gadis manis ini tidak pernah berani memasuki toko perhiasan semacam ini sebelumnya. Ia tercengang tidak percaya.
"Kakak, apa kita tidak salah tempat? Perhiasan di sini pasti sangat mahal. Apa tidak ada toko perhiasan lain kak?" kepolosan Arabella memunculkan pertanyaan dengan wajah cengonya yang terlihat lucu. Ia masih ingat dadynya pernah berkata tidak baik jika mengeluarkan uang berlebihan. Ia selalu diajari hidup dengan sederhana. Begitu tersadar bahwa dirinya terlalu banyak bicara, ia langsung menutup mulut dengan kedua tangannya.
Ups, pasti dia akan marah padaku, dasar kau ini bodoh sekali Arabella. Dia kembali berdebat dengan dirinya sendiri, seolah dirinya orang paling bodoh di dunia.
Senyuman kecil yang tidak terlihat oleh Arabella nampak di bibir tipis pria di sampingnya.
"Toko perhiasan ini yang terbaik Ara, mama saya sendiri yang merekomendasikannya. Mama dan teman-temannya sering membeli perhiasan di sini. Kau tidak perlu khawatir, saya tidak marah padamu. Saya lebih suka diam dan bicara seperlunya saja." Gerrit berbicara seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya.
"Tapi kak, bagaimana dengan harganya? Pasti sangat mahal." balas Arabella yang masih memikirkan betapa mahalnya harga perhiasan di toko itu.
"Jangan pikirkan soal harga, pilihlah yang benar-benar kau suka. Lagi pula kita mempersiapkan pernikahan ini dengan uang saya, bukan uangmu. Jadi jangan banyak bicara dan merengek." setelah mengatakannya, Gerrit langsung turun dari mobil tanpa melihat keadaan Arabella yang nampak murung.
Arabella juga turun dari mobil mewah itu beberapa detik dari kepergian Gerrit yang langsung masuk ke toko perhiasan. Sungguh, Arabella sangat ingin pulang akibat perlakuan Gerrit padanya.
Arabella melihat-lihat model cincin perhiasan yang terpajang rapih di etalase ditemani oleh seorang premuniaga toko perhiasan tersebut. Sementara dia sibuk melihat-lihat, Gerrit justru sibuk dengan ponselnya untuk mengurus pekerjaan yang ditinggalkan.
"Kakak, apa saya boleh memilih salah satu dari cincin ini?" Arabella menunjukkan dua pasang cincin yang menurutnya menarik, terlihat sederhana tapi tetap elegan.
"Iya, kau pilih saja sesukamu." jawaban singkat dari Gerrit membuat gadis manis ini merasa tidak puas.
"Lihatlah dulu kak, saya tidak ingin kakak tiba-tiba mengganti pilihan setelah saya memilihnya, seperti yang terjadi di butik tadi." pinta Arabella dengan lembut.
"Pilih saja sesukamu, lagi pula tadi saya sudah memilih gaunnya. Kau bisa mengira-ira cincin yang cocok, bukan? Kau sudah dewasa astaga." Gerrit menjawab sambil melihat ke arah ponsel, bukan memandang lawan bicaranya.
Arabella masih mencari cincin yang menurutnya menarik dan senada dengan tema gaunnya. Namun semua terlihat sama saja, tidak menarik lagi untuk Arabella. Semakin dilihat, semakin membuat pikiran Arabella bimbang.
"Kak, kita pulang saja ya." Arabella berbicara tepat di depan Gerrit yang masih sibuk dengan ponselnya.
"Cincinnya sudah dapat?"
"Tidak, saya tidak bisa memilihnya. Biar nanti momy yang akan belikan untuk saya." Arabella menunduk lesu di depan Gerrit yang seketika menyimpan ponselnya.
"Kenapa begitu? Kita sudah ada di sini, kau tinggal pilih saja yang kau suka. Apa susahnya?" wajah Gerrit yang tadinya datar mendadak berubah agak merah menahan marah.
"Saya bingung kak. Semua terlihat sama, ditambah kakak tidak memberi pendapat. Kita berdua yang akan menikah, bukan saya sendiri atau kakak sendiri. Seharusnya kita saling bertukar pendapat, bukannya menentukan sendiri-sendiri seperti ini." Arabella masih menundukkan kepalanya tidak berani menatap langsung pada Gerrit. Nada bicaranya agak bergetar.
"Sudah saya bilang kau bisa memilih sendiri! Begitu saja tidak bisa! Kau bisanya apa?!" Gerrit sangat kesal dengan pendapat Arabella yang menyusahkan menurutnya, hingga dia membentak Arabella tanpa sadar.
Bentakan itu membuat hati calon istrinya sakit, sangat sakit. Seolah hatinya ditikam seribu pedang secara bersamaan. Seumur hidupnya tidak ada yang membentaknya sepert itu, kecuali Hanson yang membentak semalam. Buliran air mata mulai menetes sedikit demi sedikit. Gerrit memang pemarah dan sangat tidak peka.
"Sebaiknya kita pulang saja, saya tidak ingin apapun." Arabella berjalan dengan cepat keluar dari toko perhiasan itu.
"Hey! Kita belum selesai memilih cincinnya! Ara! Tunggu aku!" Gerrit berteriak, namun Arabella tidak peduli. Gadis manis ini memilih menulikan pendengarannya.
Arabella berjalan yang tadinya hanya jalan cepat, semakin lama berubah menjadi berlari kecil. Hingga ia akan memasuki taksi, tangannya berhasil diraih oleh Gerrit.
"Hey, kau ini kenapa? Apa kau selalu menangis begini? Tidak baik dilihat orang-orang." Nada bicara Gerrit benar-benar membuat Arabella semakin kesal, nada yang rendah dan mengintimidasi. Arabella sudah tidak peduli lagi.
"Saya tidak mau menikah denganmu. Kamu sangat jahat, saya tidak mau pulang bersamamu."
Arabella dengan kuat menyentak genggaman tangan Gerrit yang sangat kencang. Ia berhasil terbebas dari calon suaminya dan masuk ke dalam taksi yang memang sudah berjajar di pinggir jalanan. Pria dari keluarga Hangelman ini berusaha memanggil Arabella, berusaha membuka pintu taksi yang ditumpangi calon istrinya ini. Namun sayang, sopir taksi sudah mengunci taksi miliknya agar si penumpang aman dan selamat dari bahaya yang ia kira.
"Anda tidak apa-apa nona?" sopir taksi itu membuka pembicaraan yang melihat Arabella menangis.
"Iya, pak saya tidak apa-apa. Ayo jalan saja pak, saya tidak ingin berada di sini." Arabella berbicara dalam bahasa Ducth baku sambil menangis. Sedangkan sang pria masih menggedor-gedor pintu taksi tersebut.
"Baik nona." Lelaki paruh baya yang menjadi sopir taksi menampakkan raut wajah khawatir melihat Arabella yang terus menangis. Langsung tancap gas meninggalkan titik sebelumnya. Terlihat sangat jelas Gerrit sangat marah begitu taksi pergi.
"Nona, harus saya antar kemana?" sang sopir taksi bertanya pada Arabella yang masih mengusap air matanya.
"Saya ingin diantar ke Amstel, tolong ya pak." jawab Arabella yang masih terisak tapi berusaha tersenyum.
"Baik nona, silahkan nona jika ingin menggunakan tisu." Sopir taksi itu memberi tisu pada Arabella sambil menyetir dengan kecepatan sedang.
Keadaan di dalam taksi sangat senyap, sesekali terdengar isakan Arabella. Jemari mungilnya mulai menggeser layar ponsel guna mencari satu nama yang selalu melindunginya. Tentu saja sang kakak, Hanson Gusmant. Ia mengetikkan sebuah pesan singkat yang ditujukkan untuk kakak tercintanya. Padahal sebelumnya mereka bertengkar hebat hingga ada rasa canggung pada diri Arabella.
Hanya butuh waktu yang cukup singkat taksi yang ditumpangi Arabella tiba di Amstel yang memang tidak terlalu jauh dari tempat sebelumnya. Amstel merupakan sebuah sungai besar di Amsterdam. Kanalnya jauh lebih besar dari kanal-kanal yang ada. Pemandangannya juga sangat indah meski berada di tengah kota. Lagi pula banyak perahu kecil yang beroperasi di sana. Tempat yang selalu digemari oleh Arabella, tempat yang cocok untuk melepas penat dan kesedihan.
Setelah taksi berhenti di tempat pemberhentian di dekat Amstel, gadis manis ini melakukan pembayaran secara tunai. Untung saja ia membawa dompetnya yang berisi kartu identitas dan beberapa lembar uang tunai. Ia turun dari taksi dan mulai berjalan menyusuri tepian sungai. Kegiatan yang dilakukan Arabella sebenarnya diperhatikan beberapa orang yang berlalu di trotoar seberang. Karena tubuh Arabella terlalu dekat dengan bibir tanggul, seolah ia akan jatuh ke dalam sungai.
Setelah puas berjalan-jalan di tepian sungai, ia memilih duduk di tempat yang agak nyaman. Posisi tanggul yang agak lebar dan tepat dibawah pohon maple yang berdaun jingga. Angin sepoi-sepoi menerpa lembut rambutnya yang terurai dengan indah. Kakinya menggantung di atas air sungai yang cukup tenang.
Arabella POOV
Semilir angin berhembus menerpa wajahku dengan lembut. Dapatku dengar desiran ombak yang sedikit tenang akibat perahu-perahu yang melintas. Ya, aku memang berada di tepian sungai. Lebih tepatnya duduk di tanggul sungai besar menjadi tempat kapal-kapal kecil berseliweran, mungkin mirip dengan lautan atau hanya anggapanku saja.
Bunuh diri?
Memangnya aku seperti ingin bunuh diri? Tentu saja tidak, pikiran seperti itu tidak pernah ada di otakku. Jika ada, sama saja aku menyakiti keluargaku.
"Kau berniat bunuh diri hm?"
Aku hapal betul dengan suara ini. Aku hanya tertawa kecil menanggapi pertanyaannya. Terdengar suara langkah kaki yang kian mendekat, dan ia duduk di sampinku.
"Kakak, kenapa lama sekali?"
Dia adalah kakak satu-satunya untukku, kak Hanson. Aku dapat melihat senyumannya yang menenangkanku. Dia mengusap lembut rambutku. Ia memang tampan, bahkan sangat tampan. Aku tidak berbohong dengan ini.
"Maaf ya aku lama, tadi aku harus mencari alasan pada dady, café mulai ramai di jam-jam sekarang. Oh ya, mana supir barumu?" Ia mengusak rambutku pelan. Aku hanya memanyunkan bibirku dan menggembungkan pipiku. Mencoba untuk terlihat merajuk padanya.
"Jangan ingatkan aku padanya kak, dia sangat menyebalkan. Aku tidak mau pergi bersamanya lagi, dan aku juga tidak ingin menikahinya kak." Aku sudah memutuskan, dia ternyata sangat menyebalkan dan kejam. Bahkan dia membentakku di tempat umum, padahal tidak ada yang melakukannya padaku selama ini.
"Ya ampun, kau sangat imut Ara. Seharusnya si bodoh itu bisa lebih lembut padamu." Dia mencubit pipiku sambil terkekeh kecil, pemikirannya sama denganku.
"Kakak tolong bicarakan pada dady untuk mengundur pernikahan, paling tidak sampai aku lulus, ya?" Dia terdiam sejenak mendengar permintaanku, mungkin dia akan kesulitan. "Baiklah akan aku coba." Dia tersenyum lembut padaku, memang seperti itulah kakakku yang sesungguhnya.
"Apa kau sungguh-sungguh Ara? Maksudku mmmm… aku akan memikirkan cara lain, kau tenang saja." terlihat jelas gelagat gelisah kak Hans.
"Bukan kak, aku hanya meminta mengundurkannya saja, tidak membatalkannya." Aku bicara sambil membenahi rambutku yang terbawa angin. Aku sungguh tahu maksudnya, kak Hanson adalah kakak yang baik, namun ia juga bertanggung jawab mengurus café.
"Aku tahu kak, aku sudah tahu semuanya. Lagi pula aku menerimanya kok, aku juga tidak mau café yang sudah didirikan kakek dengan susah payah malah jatuh begitu saja." Aku merasa cukup menyusahkannya dengan permasalahanku.
"Apa kau yakin? Jika kau tidak merasa yakin, aku akan berusaha mencari jalan." Wajah cemasnya membuatku merasa buruk hari ini, dia masih mencemaskanku setelah pertengkaran tadi malam.
"Aku yakin kak, sangat yakin. Kakak tidak perlu khawatir, aku hanya ingin menyelesaikan kuliahku dengan baik." Aku berusaha tersenyum meski dada merasa sesak, sangat ingin menangis saat ini juga.
"Baiklah… Maafkan aku ya, aku tidak bisa menjagamu dengan baik. Aku tidak menyangka kau menjadi dewasa dengan cepat, dan kau akan mendahuluiku menikah."
"Kakak menyebalkan, jangan bicara seperti itu." Aku merengek dan memukul lengannya dengan ringan. Ia justru tertawa dengan tingkahku, aku juga jadi tertawa karenanya.
"Ayo kita pulang, aku akan menceritakannya pada dady dan momy. Aku harap mereka akan mengerti dan bisa mencari jalan keluar bersama." Ajaknya yang sudah bersiap untuk berdiri.
"Iya kak ayo pulang."
Kami berjalan menuju mobil kesayangan kakak yang sudah terparkir tepat di tepi jalanan yang agak lengang. Mobil warna hitam yang sangat mengkilap, iya ya lah mobil itu selalu dirawat dengan baik oleh kakakku.
Mobil melaju dengan santai di atas jalanan kota Amsterdam yang dihiasi pepohongan yang berwarna jingga. Menurutku sangat indah pemandangan musim gugur ini. Walaupun suasananya membuat hati menjadi galau dan gelisah, mendadak menjadi sensitif. Keadaan dalam mobil juga sangat sunyi, biasanya aku akan banyak bicara atau kakak menyalakan radio untuk mendengar musik. Kak Hanson hanya fokus pada jalanan yang kami lalui.
Sungguh, kak Hanson adalah kakak yang sangat baik, meski ia sering menjahiliku. Begitulah ia menunjukkan kasih sayangnya padaku. Ia akan selalu menjagaku dan akan berusaha membuatku bahagia. Tidakkah kau bisa seperti itu, kak Gerrit?
"Sepertinya kita harus mampir ke supermarket dulu untuk membeli beberapa camilan. Bagaimana menurutmu?" kak Hans memang bisa mengerti isi pikiranku. Aku hanya bisa mengangguk cukup lemah. Melihat reaksiku, kak Hanson langsung membelokkan mobilnya menuju tempat tujuan.
"Apa kau ingin membeli ice cream kesukaanmu?" dia bertanya lagi dengan matanya yang masih fokus menyetir. "Iya kak, aku ingin ice cream rasa blueberry kak." Aku membenarkan posisi duduk yang semula tak betul. Menegakkan tubuhku dan merapihkan pakaian yang kukenakan.
"Baiklah, kakak akan membelikanmu ice cream di kedai langgananmu. Bisakah kau yang membeli camilan?" kak Hans kembali bertanya ketika mobil sudah berhenti di parkiran supermarket.
"Okay kak, aku akan membeli camilan." Aku mengedipkan mataku, kak Hans malah mengusak rambutku sambil tertawa. Apa aku semenggemaskan itu?
Aku melangkahkan kakiku ke arah etalase camilan yang berjajar rapi di dalam bagian supermarket. Mengambil troli kecil dan kembali berjalan mencari makanan ringan kesukaanku dan kak Hans. Mataku menelisik ke segala arah susunan barang. Namun, tiba-tiba pendengaranku terusik dengan suara seseorang.
"Makanya minum susu yang banyak agar kau tinggi Hanna." Aku terhenti ketika mendengar suara yang aku kenal.
"Bisakah kau tidak selalu mengikutiku, dasar albino." Suara perempuan menyahut suara sebelumnya, aku seperti penguntit yang sedang menguping. Tapi aku penasaran, apa tebakanku benar?
Terlihat seorang gadis cantik dengan tubuh ramping putih bersih dan mata seperti rusa yang bercahaya. Sekilas bibirnya juga berwarna merah muda alami yang sedang memarahi seorang pria tinggi yang nampak tidak kalah putih. Aku kembali memundurkan tubuhku agar mereka tidak melihatku, bersembunyi dibalik etalase yang tinggi.
Aku sangat mengenal pria itu, meski ia sudah sangat berbeda dengan terakhir kali bertemu. Yah, pria itu adalah orang yang selama ini aku tunggu, sudah beberapa tahun terakhir.
Oh, mereka terlihat sangat dekat. Mengapa ia bersama gadis itu? Padahal dia menyuruhku untuk menunggunya kembali. Apa dia sudah melupakanku? Secepat itu dia melupakanku? Ternyata momy benar, sangat tidak adil bagiku. Aku yang seharusnya ada di posisi perempuan itu.
"Han han, apa kau akan memakan semua camilan itu?" Bahkan kau tidak semanis itu padaku dulu.
"Sudah kukatakan jangan memanggilku seperti itu bodoh." Pria itu tertawa dan mendorong troli yang mereka bawa menuju arah kasir. Tanpa sadar aku justru mengikuti pemandangan yang menyakitiku.
Mereka sangat serasi bersandingan seperti itu. Sungguh, aku tidak bisa berbohong untuk menyangkalnya. Mereka membayar semua belanjaan yang telah mereka pilih. Aku berusaha semakin dekat, karena aku ingin melihat mereka saling tersenyum saat bicara dengan kasir.
"Kalian terlihat sangat serasi." Aku tidak suka mendengar perkataan yang keluar dari mulut kasir itu. Aku sangat ingin merobek mulutnya.
"Terimakasih." Perempuan itu tersenyum, oh sungguh membuat hatiku sakit.
Aku sudah lelah mengikuti mereka yang hanya mematahkan hatiku. Aku berbalik arah ingin melanjutkan kegiatanku sebelumnya, berusaha acuh tak acuh dengan yang aku temukan barusan. Tapi, suara yang kurindukan justru lebih mematahkan perasaanku.
"Tentu, dan aku sangat mencintainya."
Belum seberapa jauh aku melangkah meninggalkan mereka, seperti tersambar petir. Perih, sakit dan jengkel bercampur menjadi satu dalam hatiku. Tapi entah mengapa tidak ada rasa penyesalan atau kerinduan yang sesungguhnya. Reaksi tubuhku seolah biasa saja.
Dasar bodoh, kau memang laki-laki bodoh yang sudah kutunggu selama ini. Berarti aku yang lebih bodoh darinya dong. Lalu untuk apa aku menunggunya ya?
Aku berjalan cepat dan melanjutkan kegiatanku tadi, sambil menahan amarah dan gelisah yang muncul bertubi-tubi. Mengambil beberapa camilan yang sudah kuincar sebelumnya, sampai penuh troli yang aku bawa.
"Ternyata kau ada di sini." suara rendah seorang laki-laki mengagetkanku.
"Kenapa kak Gerrit ada di sini?" aku membelalakkan mata ketika melihatnya tepat di depanku.
"Saya mengikutimu, ternyata kau bersama kak Hanson, saya ingin meminta maaf jadi saya menyusulmu." Wajahnya membuatku sebal dan kesal, seketika aku meremat pegangan troli.
"Kakak tidak perlu mengikutiku, kita bisa bertemu lain hari, bukan?" aku berusaha tenang dan tidak memunculkan rasa sebalku, aku sembunyikan dibalik senyuman.
"Kau benar, kita bisa bertemu lain hari, tapi saya merasa tidak tenang. Saya benar-benar minta maaf. Oh ya, dimana kak Hanson?" dia tiba-tiba mengambil alih pegangan troli yang aku bawa.
"Kak Hans sedang membeli ice cream, kak." Jawabku singkat sambil berjalan di sampingnya.
Kami berjalan menuju kasir, aku bingung harus bicara apalagi padanya. Wajahnya yang sangat kaku seperti kanebo itu membuatku kikuk. Aku tidak tahu dia marah atau tidak dengan wajah seperti itu.
"Biar saya saja yang membayarnya sebagai tanda maaf saya." Ucapnya ketika melihatku mengambil dompet dari tas yang aku bawa. Dia kenapa sih? Tapi baguslah aku tidak perlu mengeluarkan uang. Aku hanya mengangguk dan menunggunya menyelesaikan pembayaran.
Saat aku menerima kantong belanjaan dia langsung menyambarnya. "Biar saya saja yang membawanya." Apa-apaan reaksinya dengan wajah datarnya. Aku hanya memandangnya dengan tatapan bingung.
"Wah, kalian sangat serasi ya, anda memperlakukan kekasih anda dengan sangat baik tuan." Suara kasir perempuan membuatku seketika menoleh kearahnya.
"Terimakasih nona, dia bukan kekasih saya lebih tepatnya calon istri." Aku tersentak mendengar jawaban tidak terduga dari kak Gerrit. Apa aku tidak salah dengar?
Kak Gerrit langsung menuntunku menjauh dari lokasi kasir itu tepat setelah menyelesaikan kalimatnya. Aku benar-benar seperti orang bodoh yang masih memasang muka bingung. Kami berjalan berdampingan, tangan kanannya memegang kantong belanjaan dan tangan kirinya memegang tanganku. Ingin rasanya melepaskan tapi genggaman tangannya begitu kencang.
"Jadi benar dirimu, Gerro." Suara perempuan menginterupsi langkah kami dari belakang, sepertinya familiar.
"Hanna? Bukankah kau tinggal di Prancis?" kak Gerrit menyambut ucapan perempuan yang ia panggil Hanna itu.
"Aku sudah menyelesaikan pendidikanku dan meraih keinginanku. Aku kembali untukmu Gerro, I miss you." Perempuan itu nampak sangat dekat dengan kak Gerrit sampai ingin memeluknya, namun kak Gerrit menolak.
"Aku sedang membawa kantong belanjaan Hanna, aku tak bisa memelukmu." Nada suaranya melembut ketika berbicara dengan Hanna ini, tapi tidak denganku, dasar pilih kasih.
Aku hanya bisa diam melihat interaksi manis mereka sambil mengawasi sekitar, mencari sosok laki-laki yang tadi bersama dengan perempuan ini.
"Hanna, kenalkan dia calon istriku, Arabella Gusmant. Dan Arabella, kenalkan dia mantan kekasihku, Hanna Roosevelt, dia seusia denganku jadi kau bisa memanggilnya kakak jika kau mau."
"A-ah ya, kak Hanna salam kenal." Aku langsung berinisiatif memulai perkenalan yang canggung ini sambil mengulurkan tanganku. Kenapa situasinya aneh begini?
"Oh ya, jadi ini calon istrimu? Kau sudah melupakanku Gerro? Bahkan dia tidak secantik aku." Ingin rasanya membaluri mulutnya dengan sambal super pedas. Dia juga tidak menyambut uluran tanganku, sombong sekali.
"Arabella memang tidak secantik dirimu karena dia bukan model terkenal sepertimu. Tapi dia jauh lebih baik darimu, sudah berapa pria yang tidur denganmu Hanna?" kak Gerrit masih bisa berbicara lembut dengan kalimatnya itu? Wah hebat, dia tidak selembut itu denganku, jahat.
"Apa maksudmu? Aku tidak pernah melakukan yang kau pikirkan."
Belum sempat kak Gerrit menjawab, terdengar kembali suara laki-laki yang aku cari sedari tadi.
"Hanna, kenapa kau lama sekali? Apa kau sudah menemukan barang yang tertinggal?" dia bicara dengan siapa sih, matanya sibuk dengan ponselnya. Dia masih sama seperti dulu.
"Nah, datang juga pacarmu." Kak Gerrit seolah menyindir si Hanna sombong ini, dan hanya dibalas dengan kekehan.
"Gerro, kau salah sangka, dia ini sekertarisku, Willem Van Espen. Tentu saja dia bukan kekasihku Gerro." Tangannya menarik tangan kak Willem agar tidak melihat ke arah ponsel terus-menerus. "Hei, taruh ponselmu itu, Willem, kenalkan dia Gerrit Hangelman kekasihku." Lanjutnya kembali.
"Ah maaf maaf haha, kenalkan saya Willem Van Espen, sekertaris nona Hanna." Dia mengulurkan tangannya pada kak Gerrit dan disambut dengan baik.
"Salam kenal, saya Gerrit Hangelman, lebih tepatnya saya mantan kekasih nona Hanna." Senyuman yang muncul di wajah kak Gerrit seolah tak suka pada kak Willem. Tapi kenapa kak Willem tidak melihatku?
"Oh ya, tuan Willem, kenalkan Arabella Gusmant calon istri saya." Lanjut kak Gerrit yang menyebutku calon istrinya di depan kak Willem.
"Arabella? Tunggu sebentar, ini Arabella? Benar-benar Arabella?" sangat jelas wajah kak Willem terkejut melihatku ada di depannya, aku hanya bisa mengangguk lemah. Tuhan tolong kuatkan aku.
"Kamu akan menikah dengan tuan Gerrit?" lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk menjawab pertanyaannya.
"Tunggu sebentar, kalian saling kenal?" kak Gerrit bertanya padaku, aku bingung harus menjawab apa selain mengangguk. "Jawab aku dengan benar Arabella." Suaranya mulai menakutkan, astaga.
"I-iya kak, ka-kami saling kenal, kak Willem…"
"Saya kekasih Arabella sejak semasa sekolah menengah pertama tuan."
Astaga omonganku dipotong oleh kak Willem, jantungku berdegub begitu cepat mendengar omongannya. Dan juga melihat ekspresi kak Gerrit yang sepertinya marah. Aku tak tahu harus melakukan apa. Semua mata ketiga orang ini tertuju padaku, menuntut jawaban yang mungkin mereka inginkan masing-masing.
"Apa itu benar Arabella?" pertanyaan kak Gerrit sangat menuntut, tapi aku hanya bisa mengangguk seperti orang bodoh. "Jawab dengan benar Arabella." Lanjutnya dengan nada yang semakin dalam. Aku menelan ludahku sendiri, astaga sangat gugup.
"I-iya kak, dia adalah orang yang aku ceritakan kemarin." Mendengar jawabanku wajah kak Gerrit mulai kembali seperti semula, ia menghela napas.
"Okay, tidak masalah Arabella, kalian sudah lama tidak bersama, saya mengerti." Dia bilang seperti itu dengan mengelus rambutku, aku benar-benar terkejut. "Tuan Willem, anda harus melepaskan Arabella untuk saya, karena dia sudah menjadi calon istri saya." Lanjutnya kembali dengan menggenggam tanganku erat.
"Saya tidak akan melepaskan Arabella untuk siapapun tuan Gerrit. Saya akan berusaha merebutnya kembali, begitu juga dengan Hanna yang akan membawa anda kembali padanya." Jantungku berdegub semakin kencang membuat sesak pada dadaku. Tidak pernah terbayang akan menjadi seperti ini.
"Kita lihat saja nanti, apa anda bisa merebutnya kembali? Atau anda akan jatuh cinta pada Hanna? Kalian sudah bersama sejak dua tahun lalu, bukan?" kak Gerrit tidak mau kalah dengan kak Willem. Perdebatan mereka membuatku pusing.
"Apa maksudmu Gerro? Aku dan Willem tidak ada hubungan apapun, dia hanya sekertarisku." Hanna meninggikan suaranya yang cukup melengking. Aku takut jika nanti menjadi pusat perhatian seisi supermarket.
"Benarkah? Kau pikir aku bodoh? Lalu kenapa kalian berciuman di bandara ketika kau kembali tadi pagi?"
Kambali tersambar petir hatiku mendengar perkataan kak Gerrit, semakin sesak yang kurasakan. Sungguh hancur perasaanku, bodohnya aku yang hanya bisa mematung diantara mereka. Melihat wajah kak Willem dan Hanna yang seperti tertangkap basah, membuatku meneteskan air mata perlahan.
"Kau tahu dari mana? Itu tidak benar Gerro, kami tidak melakukan itu, aku mohon percayalah." Hanna menyambar tangan kak Gerrit yang menggenggam tanganku hingga terlepas. Namun, kak Gerrit menghempaskannya.
"Tidak perlu Hanna, jika tidak ada yang ingin kalian bicarakan kami duluan." Kak Gerrit kembali menggenggam tanganku.
Sebelum kami pergi, aku masih melihat wajah kak Willem yang hanya diam di sana. Dia tidak menyangkal atau menjelaskan apapun. Perasaan yang aku jaga selama ini dihancurkan dalam waktu beberapa menit saja. Sia-sia aku menunggunya, sia-sia aku menjaga perasaan ini.
"Ara, kau menangis?" aku hanya diam mendengar pertanyaan kak Gerrit dalam langkahku.
"Menangislah jika ingin, saya tahu rasanya pasti sangat menyakitkan. Maafkan saya." Nada lirih di ujung kalimatnya membuatku bergetar, tangisanku muncul. Rasa sesak yang dari tadi aku tahan akhirnya terlepas begitu saja.
Kak Gerrit memegang lenganku, seperti merangkul, menopang tubuhku yang melemah dan agak terseok saat berjalan. Aku hanya bisa menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku hingga tak bisa melihat jalan dan arah melangkah. Untunglah ada kak Gerrit di sampingku saat ini, paling tidak ada yang bisa menuntunku bertemu kak Hanson. Entah seberapa lama aku melangkah, aku tidak menyadari kami berhenti dimana.
"Astaga! Ara, kau kenapa?" begitu mendengar suara kak Hanson, aku langsung menghambur memeluknya. Menyembunyikan wajahku di dada bidangnya, meredam suara tangisanku yang semakin kencang.
"Apa kau disakiti lagi sama Gerrit?" aku hanya menggeleng dalam pelukan kak Hanson.
"Tidak kak, saya minta maaf atas kejadian sebelumnya. Saya mengikuti kalian untuk meminta maaf secara langsung pada Arabella, tapi kejadian tidak terduga terjadi. Saya akan menceritakannya saat di rumah." Kak Gerrit berucap cukup panjang. Aku memang memeluk kak Hanson, tapi tanganku masih di genggam kak Gerrit. Sepertinya dia masih belum menyadarinya.
Kak Hanson menenangkanku beberapa saat sambil mengelus rambutku dengan lembut. Melepaskan pelukanku dan mengusap air mataku. Aku sangat malu, pasti wajahku sudah sangat berantakan sekarang. Senyumannya mampu menenangkanku, tapi masih ada kak Gerrit yang membuatku canggung.
"Ayo kita pulang, aku sudah membelikan beberapa ice cream untukmu. Tapi sepertinya kau harus membaginya dengan Gerrit." Kak Hanson malah meledekku seperti meledek anak kecil yang akan merajuk jika makanannya diambil anak lainnya.
"Ish kakak menyebalkan." Dia malah tertawa melihat reaksiku ini, sungguh menyebalkan, membuatku makin malu saja.
Akhirnya aku pulang dengan dua orang laki-laki, kak Hanson dan kak Gerrit yang berjalan di sampingku masing-masing. Kak Hanson membawa ice cream dan kak Gerrit membawa kantong belanjaan. Mereka menggandeng kedua tanganku seperti membawa seorang bocah, malu sekali.
Di sisi lain isi hatiku yang masih sakit, sepertinya saat ini waktu yang tepat untuk melepas laki-laki yang ku tunggu selama ini. Memang benar, bagian tersulit dalam mencintai seseorang adalah mengetahui kapan harus melepasnya, dan tahu kapan harus mengucapkan selamat tinggal. Semoga saja patah hati ini adalah berkah Tuhan yang menyelamatkanku dari orang yang salah. Tapi, apa kak Gerrit adalah orang yang tepat untukku?
Arabella POOV End
To Be Continued…
Author's note
Terimakasih atas dukungan dan antusias teman-teman pembaca. Terus ikuti perjalanan cerita ini, jangan lupa sertakan saran dan kritikan, serta like cerita ini ya. Agar autor dapat meneruskan menulis cerita ini dengan semangat....
Love you gays...