8
'Mengapa semuanya berakhir seperti ini. Selalu ada darah, darah dan DARAH! MENGAPA?'
Mata efa membelalak tatkala melihat sebuah pecahan kaca yang cukup besar berada di atas Estevan yang saat itu tengah menghentikan langkah kakinya. Segera tangan kananya mendorong punggung Estevan sedangkan tangan kirinya menepis pecahan kaca yang hampir mengenai kepala Estevan.
Cress! Pyar!!
Estevan terkejut dengan apa yang dilakukan Zefa padanya, ia menoleh dan hendak memarahi gadis itu. Namun, Estevan mengurungkan niatnya sesaat setelah melihat tetesan darah segar keluar dari telapak tangan Zefa dan menetes begitu saja diatas tanan yang saat itu sedang kering.
Dengan kedua mata hitam legam miliknya yang diarahkan kearah Zefa, Estevan berfikir kalau apa yang sedang dilakukan gadis di depannya sangatlah aneh. 'Mengapa dia tidak berteriak?' Estevan mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya lalu melipatnya.
Sementara Zefa mendongakkan kepalanya kearah asal kaca yang berada tepat di atas kepalanya. Ia terlalu fokus dengan masalah yang baru saja dihadapimya dan hampir merenggut nyawa dari bosnya sehingga ia tidak merasakan darah yang keluar dari telapak tangannya.
Kedua mata Zefa menyipit seiringan dengan cahaya matahari yang menerobos melewati bulu matanya yang lentik dan mengenai matanya. 'Aku yakin kalau ini bukan hanya sebuah kecelakaan biasa secara, tidak mungkin sebuah pecahan kaca jatuh begitu saja.'
Saat itu Zefa menoleh kearah Estevan dan hendak menyampaikan pendapatnya namun, saat melihat Estevan yang hendak menutupi lukanya. Apa yang dilakukan Estevan mengingatkannya pada kejadian enam tahun lalu. 'Joshua....' Ia mengangkat kepalanya, senyum simpulnya menghilang ketika melihat orang yang ada di depannya ternyata bukan orang yang ada dipikirannya.
Zefa langsung menarik dengan kasar dan menyembunyikannya di belakang punggung. "Apa yang anda lakukan?" tanyanya sambil menatap menyelidik.
Melihat reaksi Zefa yang terkejut membuat Estevan melangkah mundur. "Apa maksudmu? Apa kau tidak merasakan kalau darah keluar dari tanganmu?"
"Maafkan saya, saya telah bertindak kasar," ucap Zefa dengan membungkukkan kepalanya.
"Jika kau ingin menutupi lukamu sendiri silahkan." Estevan membuang mukanya saat tangannya memberikan sebuah sapu tangan miliknya kepada Zefa.
Zefa mendongak, perlahan ia menegakkam kembali tubuhnya saat melihat sapu tangan yang diberikan Estevan. Zefa menerima benda tersebut lalu menutupi bekal lukanya dengan mengggigit ujung sapu tangan lalu mengikatnya. Sekilas Estevan melirik kearah Zefa dan saat gadis itu menoleh kearahnya, Estevan kembali membuang wajahnya. Kini Zefa siap untuk mengatakan pendapatnya mengenai kejadian ini. "Pak Estevan."
Estevan menoleh ketika namanya di panggil.
Perlahan dahi Zefa mengkerut lalu ia menoleh kearah lantai atas bangunan ruko yang masih dalam proses pembangunan itu lalu menunjuk ke atas tempat letak kaca sebelum jatuh. "Disana letak kaca sebelum terjatuh." Zefa menurunkan tangannya dan berjalan kearah kaca.
Estevan hanya memperhatikan apa yang dikatakan Zefa dan tidak mengatakan apapun.
"Dan tidak mungkin sebuah kaca jatuh karena tertiup oleh angin." Zefa yang awalnya menoleh kearah pecahan kaca beralih menatap kearah Estevan yang terlihat sedikit kebingungan.
'Jadi, secara singkatnya Zefa mengatakan kalau ada orang yang ingin membunuhku lalu.' Estevan mengarahkan atensinya kearah luka yang yang berada di tangan kiri Zefa. 'Gadis ini menyelamatkanmu tapi mengapa noda darah yang ada disana semakin membesar oh atau jangan-jangan.' Estevan mengerutkan dahinya dan menatap kearah Zefa yang masih sibuk dengan pecahan kaca di bawahnya.
"Sekertaris Zefa."
Zefa yang mendengar Estevan memanggil namanya langsung berjalan menghampiri pria itu. "Ada apa Pak Estevan?"
"Kita harus menjahit luka yang ada di tanganmu."
"Ti–"
"Apa kau akan mau membantah?"
Zefa menundukkan kepalanya. "Baik."
~
Kali ini bukan Zefa yang mengemudikan mobil melainkan Estevan sang Wakil CEO kantor. Zefa yang duduk di depan dan disamping pria garang itu merasa nyaman-nyaman saja sebab dia tidak perlu melakukan pekerjaan yang merepotkan namun, kejadian tadi benar-benar membahayakan orang lain.
'Apa yang terjadi sebenarnya?' pikirnya hingga membuat sebuha garis diantara kedua alisnya.
Setibanya di Rumah sakit, Estevan segera mencarikan dokter yang akan menjahit luka yang ada di telapak tangan Zefa semetara Zefa hanya duduk manis dan bermain bersama kucing disebelahnya. 'Mengapa pria galak itu harus repot-repot membawaku ke sini? Padahal cuma luka kecil,' batin Zefa dan saat ia mendengar ada seseorang yang memanggil namanya Zefa langsung menoleh lalu bangkit dan berjalan menghampiri seseorang yang memanggilmya.
Didalam sebuah ruangan Zefa duduk di kasur pasien sementara Estevan duduk di kursi yang berada tepat disamping tempat tidur. Untuk mengurangi rasa bosannya Zefa mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan dan ada salah satu foto figuran yang membuatnya membelakak terkejut. Agar ia dapat memastikan apa yang dilihatnya benar atau salah, Zefa menyipitkan matanya. 'Benar tidakku sangka itu memang dia tapi mengapa bisa aki melupakan namanya?"
Estevab heran ketika melihat Zefa duduk santai dan memandangi hiasan dinding disana seolah-olah luka yang ada di telapak tangannya bukan masalah yang besar. 'Sebenarnya dia manusia atau apa?'
"Zefa."
Zefa menoleh, deretan gigi putih terlihat ketika mulut Zefa melengkung membuat sebuah senyuman. "Kau." Seorang wanita dengan memakai jas putih berada tepat di depan Zefa, wanita itu terlihat cantik dan juga manis
"Ya ini aku, kau mengingatku?" tanya itu.
"Tidak," jawab singkat Zefa dengan diakhiri cengiran lebar.
'Tidakku sangka dia juha membuat cingiran kuda seperti itu,' batin Estevan serta kepalanya menggeleng heran.
Wanita itu tertawa. "Aku tahu itu, kau mengingat wajahku tapi melupakan namaku."
Senyukan yang terukir diwajah Zefa perlahan mengilang beriringan dengan tangan wanita yang berada di depannya sedang membuka balutan sapu tangan yang tadi menutupi lukanya. "Ya...aku ingin melupakan semuanya."
Wanita itu terdiam sejenak ketika mendengar perkataan Zefa, jelas ia tahu maksud dari kata-kata yang baru saja diucapkan Zefa dan untuk menghibur salah satu pasien istimewanya. Wanita itu kembali tersenyum dan membersihkan darah yang menutupi garis tangan Zefa. "Tidak apa jika kau melupakanku, aku akan memperkenalkan diriku untuk kedua kalinya. Namaku Rea dan aku menjadi salah satu dokter disini. Dulu kau juga pernah mengatakan padaku kalau kita akan bertemu lagi entah sebagai teman, pasien ataupun musuh."
"Tidak kusangka kau masih mengingat kata-kata gila seperti itu," jawab Zefa sambil menatap sayu kearah lukanya.
'Ternyata mereka berdua saling mengenal,' batin Estevan sambil menatap kearah Zefa lalu beralih menatap kearah luka yang ada di telapak tangannya. Ada satu benda yang membuat Estevan enggan untuk mengalihkan pandangannya. 'Cincin? Apakah wanita ini sudah bertunangan?' Estevan menatap Zefa.