"Apa kau yakin kalau bocah itu tidak akan merusak mobilku?" tanya Zefa kenapa Agus yang sedang fokus menyetir mobil.
"Tentu saja, kalau saja sampai lecet kau bisa langsung membunuhnya Lucas juga sudah diperingatkan tadi," jawab Agus.
"Baguslah." Zefa menghempaskam tubuhnya di senderan kursi dan menoleh kearah kaca, ia begitu lelah memikirkan kejadian hari ini. Matanya lekat menatap bangunan yang dilewatinya hingga ada seseorang yang membuat nertanya membelakak.
Di depan pintu gedung apartemen Agus menghentikan mobilnya dan Zefa melangkah keluar dari mobil Agus. Pria itu nenurunkan kaca mobil yang berada disampingnya lalu mengeluarkan tangannya dari dalam mobil. "Dengar, jika kau perlu sesuatu katakan padaku. Dikota yang jahat ini kau bisa mengandalkanku."
"Tentu, terima kasih." Mulut Zefa melengkung membentuk senyuman.
"Sama-sama, aku harus pergi sampai jumpa lagi." Kaca mobil Agus kembali menutup dan pria itu berjalan pergi.
Zefa diam melihat mobil Agus yang menghilang dari hadapannya. Sebelum ia masuk ke apartemen yanh ditinggalinya Zefa masih memiliki satu tanggung jawab lagi yaitu. "Kemana perginya bocah itu, lama sekali." Menunggu kedatangan Lucas. Zefa duduk diatas salah satu kursi besi yang berada disana, sudah 10 menit Zefa meninggu kedatangan pria itu dan sebuah mobil yang sangat dikenalinya datang.
Zefa masih duduk diam serta memperhatikan sosok pria yang baru saja keluar dari area parkir. Pria itu tersenyum lebar kearahnya namun, hanya sebuah tatapan dingin yang diberikannya kepada pria itu. 'Lucas? Nama yang cukup bagus untuk orang sepertinya.'
"Maaf lama nona Zefa, tadi ada kemacetan yang terjadi karena kecelakaan mobil." Lucas menggaruk kepalanya walaupun itu tidak gatal lalu memberikan kunci kepada Zefa.
Zefa memasukan kunci kedalam tasnya lalu bangkit dari tempat duduknya. Sejenak ia terfikirkan sesuatu yang jarang sekali dilakukannya yaitu mengundang orang ke apartemennya, sebenarnya Zefa tidak berniat melakukah hal itu namun, melihat bibir Lucas yang pucat membuatnya khawatir. 'Haruskah aku mengundangnya untuk makan malam?' Setelah beberapa detik berfikir akhirnya ia mulai mengambil keputusan.
Dengan mengambil nafas panjang, Zefa yang awalnya memalingkan wajahnha beralih menoleh kearah Lucas lalu bertanya, "Mau mampir dulu?" Dengan nada datar.
"Bolehkan?" Lucas kembali tersenyum lebar serta kedua alisnya terangkat ketika mendengar tawaran dari Zefa. Kepala pria itu mengangguk lalu berkata, "Nona Zefa memanglah orang yang baik."
Zefa mengabaikan pujian dari Lucas dan berjalan masuk kedalam apartemen. Segera Lucas mengikuti Zefa dari belakang dengan hati yang berbunga-bunga. "Bertenti memanggilku Nona Zefa." Tangan kiri Zefa menekan tombol lift lalu pintu pun terbuka, sesaat setelah Lucas masuk ia hendak menekan tombol empat sesuai dengan lantai apartemennya.
Lucas memegang pergelangan tangan kiri Zefa sambil berkata, "Biar aku saja."
Sontak Zefa menarik tangannya dengan paksa dan membuang mukanya. "Berhenti menatapku."
"Oh, kau tahu?" Lucas menyengir lalu mulutnya mulai bersenandung.
'Apakah keputusanku ini benar? Akh menyebalkan sekali.' Zefa menggigit bibir bawahnya untuk meluapkan kegelisahannya.
~
Di depan pintu apartemen, Zefa mengeluarkan dompetnya lalu meletakkan di depan scan kartu kunci apartmen yang berada di samping pintu lalu pintu tertebuka. Zefa melangkah masuk dan lampu yang ada diatasnya saat itu otomatis menyala. Lucas yang berada di belakang langsung menutup pintu dan berjalan masuk mengikuti langkah kaki Zefa.
Tepat di ruang tamu Zefa berhenti, ia berbalik dan menatap kearah Lucas. "Kau tunggu disini, jika sampai kau masuk ke kamarku, aku akan membunuhmu," ancamnya lalu berbalik pergi.
"Walaupun dia telah mengancamku tapi wajahnya tetap cantik," gumamnya lalu duduk di atas kursi sofa.
Sesampainya didalam kamar, Zefa merebahkan tubuhnya di atas ranjang lalu menatap langit-langit atap kamarnya. "Tidak mungkin dia keluar dari penjara secepat itu, harusnya lima tahun lagi tapi." Zefa bangun dan melepas heels yang masih terpasang dikakinya lalu menyilangkan kedua kakinya di atas ranjang. "Bagaimana mungkin dia bisa berkeliaran di luar sana? Dan tidak mungkin saja aku salah lihat."
Zefa menurunkan kakinya lalu melangkah menghampiri kaca rias lalu memutar kaca tersebut. "Tenang, sebentar lagi aku akan membalaskan semua dendammu, aku tidak akan membiarkanmu mati dengan sia-siap." Perlahan air mata menetes ke meja rias yang ada di deoannya dan saat itu tatapan sayu Zefa perlahan menajam saat melihat sebuah foto yanh tersebunyi dibalik kaca.
Setelah suasana hatinya sedikit tenang, Zefa melangkah masuk ke kamar mandi lalu membersihkan tubuhnya. Sebuah kaus berukuran over size melekat di badannya serta sebuah celana panjang membuat Zefa lebih nyaman. Ia berjalan keluar untuk pergi ke dapur namun, ketika melihat bagian dalan lemari miliknya, Zefa tidak menemukan sebuah makanan maupun minuman.
"Gawat." Dengan sedikit panik ia membuka seluruh lemari yang ada di dapur tapi semuanya kosong. 'Menyebalkan sekali, kenapa harus habis.' Zefa mengacak-acak rambutnya,Frustasi. "Sebaiknya aku pergi ke toserba untuk memberi makan bocah itu." Sebelum pergi Zefa membuka ponselnya untuk melihat perkiraan cuaca saat ini dan terlihat disana kalau sebetar lagi akan turun hujan.
Zefa mendengkus kesal, kakinya berjalan keluar dari dapur dan ketika sampai diruang tamu Zefa menghentikan langkahnya lalu menoleh kearah Lucas yang sedang bermain ponsel. "Aku akan pergi dulu."
Mendengar ucapan dari Zefa,Lucas langsung menurunkan poselnya dan bangkit dari tempat duduknya. Pupil mata Lucas melebar tatkala melihat pakaian yang dikenakan Zefa terlihat menggemaskan baginya. 'Menggemaskan sekali, oh tidak sadarlah Lucas.' Sengaja ia menggeleng-gelengkan wajahnya agar kesadaran yang hilang beberapa menit lalu kembali kepadanya. "Kau mau kemana? Aku akan menemanimu."
"Berhentilah bersikap bodoh dan bersiaplah baik," ujar Zefa. Kepalanya menoleh ke arah pintu yang di depannya lalu kembali melangkahkan kakinya. Sebelum ia keluar dari apartemen Zefa mengambil payung berwarna hitam yanh berada di samping rak sepatu lalu keluar dari apartemen.
~
Memilih sesuatu adalah bagian tersulit bagi hidup wanita, termasuk juga Zefa. Di depan jejeran mis instant yang tertata rapi dan memiliki rasa yang beragam. Zefa sulit memutuskan untuk memilih rasa apa yang akan di belinya. Di tangan kirinya ia memegang mie kuah sedangkan di depannya sebuah mie goreng terlihat menggiurkan.
"Jika aku membeli mie kuah rasa ayam bawang pasti akan cocok dengan udara dingin seperti ini, tapi jika aku menyukai mie goreng rasa rendang. Apa yang harus kupilih?"
Disaat otaknya sibuk memilih rasa mie yang akan di pilihnya, ponsel yang berada di tangannya berdering. Zefa menilik nama si penelfon tersebut. 'Aish pria ini!' Ikon hijau ditarik oleh ibu jarinya lalu nenempelkannya di telinga. "Halo, dengan Sekertaris Zefa disini ada yang bisa saya bantu Pak Este–"
"APA KAU SUDAH PULANG? SIAPA YANG MENYURUHMU PULANG?"
Reflek Zefa menjauhkan ponsel dari telinganya ketika mendengar suara amukan Estevan yang sangat menggelegar. 'Astaga!' Perlahan Zefa kembali mendekatkan ponslenya ke daun telinga lalu. "Pukul 20.00 adalah waktu bagi karyawan untuk pulang dan beristirahat, saya melakukan pekerjaan saya sesuai dengan jadwal yang ada." Zefa tidak memikirkan resiko yang akan di hadapinya setelah ini, ia mematikan telfon secara sepihak dan membeli semua stok mie kuah sekaligus goreng yang ada di rak saat itu dan memasukkannya ke keranjang yang menggantung di lengannya.
Dibawah rintik hujan, dengan meremat gagang payung hati Zefa tak henti-hentinya menggerutu saat mengingat kejadian saat di toserba tadi. "Apa yang ingin dilakukan pria itu malam-malam? Bahkan robot juga perlu istirahat da–" gerutuan Zefa terpotong saat melihat sosok pria yang sedang kehujanan.
To Be Continued...