Setelah diberi penjelasan serta pengertian pada akhirnya seluruh murid mau untuk belajar di ruang Sains seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kendatipun ada dari mereka yang merasa tidak nyaman.
Para murid pun keluar dari kelas satu persatu, tanpa terkecuali Nerisha dan Nana, meskipun menjadi teman satu kelas. Akan tetapi, Nana kerap kali menyusahkan Nerisha tanpa alasan jelas. Termasuk yang terjadi sekarang.
Nana, mendadak menghentikan langkahnya dan menghadang Nerisha di depannya.
"Hey, kamu! Gadis tidak tahu diri!"
Nana menarik tangan Nerisha dengan kasar, mendorongnya cepat ke sisi tembok sontak membuat Nerisha membulatkan matanya.
"Nana!"
Nerisha yang sedari tadi diam saja mendadak mengeluarkan suaranya, merasa kesal atas tindakan Nana yang sangat tidak sopan.
"Iya, memang kenapa jika aku membentakmu? Apa kamu ingin melaporkannya kepada guru?"
Kedua mata saling beradu pandang. Tatapan Nana begitu nanar pada Nerisha dan sebaliknya juga dengan gadis berponi tebal tersebut.
Nerisha membuka mulutnya ketika Nana menekan pergelangan tangannya dengan begitu keras seolah dia ingin melukainya.
"Sebenarnya apa salahku, Nana? Kenapa kamu menyakitiku seperti ini? Lepaskan tanganmu, sakit tahu!"
Kendatipun Nana menekannya dengan keras, tetapi Nerisha bisa membalikkan suasana. Dia menarik tangannya dan mendorong tubuh Nana ke sisi lain.
Gadis yang terkenal sombong dan tidak mau mengalah itu merasa kesal, sebab Nerisha mampu mengimbangi kekuatannya sekaligus melepaskan dirinya dengan begitu mudah.
"Oh, ternyata kamu bisa melawan juga … Kemari kau, wanita payah!"
Nana begitu geram, tidak ada kata membuang waktu dalam kamus besarnya. Dia menghampiri cepat Nerisha, kedua tangan yang gesit itu segera menarik rambut Nerisha.
Terjadi kegaduhan antara keuanya. Nerisha menjerit. Namun, dia bukanlah gadis lemah yang begitu mudah untuk ditindas. Tak mau kalah, tangan Nerisha pun meraih rambut Nana yang tergerai.
Keduanya saling tarik menarik, suara jeritan timbul dari mulut masing-masing dan tak ada yang mau mengalah sejauh ini.
"Aaa! Lepaskan tanganmu dari rambutku!"
Nana berteriak dengan keras, sementara Nerisha tidak menggubrisnya sama sekali. Sebaliknya Nerisha semakin menarik kencang rambut Nana, sebab gadis sombong itu semakin ganas terhadap dirinya.
"Lepaskan dulu tanganmu, baru setelah itu aku melepaskanmu!"
Nerisha membuka suara, dia tak akan melepaskan tarikannya sebelum Nana melepaskannya terlebih dahulu. Bagi gadis pemilik poni tebal dan Kakak perempuan itu Nana lah yang harus lebih dulu mengakhiri ini semua.
"Aaa! Dasar kau perempuan tidak tahu diri!" balas Nana berteriak. Tarikan tangannya semakin kencang sampai Nerisha merasa seluruh rambutnya akan terlepas dari kepalanya.
Semua bermula dari kecemburuan Nana pada Nerisha yang semakin hari kian dekat dengan Orion. Gadis yang terlahir dari keluarga kelas atas itu tidak mengatakannya secara gamblang.
Nana lebih sering merepotkan Nerisha disetiap kesempatan guna menarik perhatian Orion. Namun, kejadian pagi ini membuat hatinya mendidih dan yang berujung dengan tindakannya sekarang.
"Kamu perempuan yang tidak memiliki perasaan! Mengapa tiba-tiba saja kamu melakukan ini padaku, Nana?"
Nerisha semakin naik darah serta geram dengan tindakan Nana yang seperti anak-anak, sama sekali tidak mencerminkan kepribadian seorang anak dari pemilik Yayasan Sekolah.
Ketika keduanya masih saling menyakiti, saat itu juga seorang pemuda hadir untuk mererai. Dia di balik kekesalan Nana yang berujung dengan penderitaan yang didapat Nerisha.
"Berhenti! Apa yang kalian lakukan? Sudah cukup!"
Orion sampai memakai suara yang keras sebab perkataannya sama sekali tidak ada yang mendengarkan. Terutama Nana yang sejak awal sudah tersulut emosi.
Kedua tangan Orion bersusah payah untuk melerai keduanya. Pada akhirnya Nerisha dapat lepas dari cengkeraman Nana yang sudah seperti kerasukan setan dan bukan manusia.
"Jelaskan padaku, apa yang terjadi?" Orion meneriaki keduanya, sementara itu Nana menundukkan wajahnya dan tidak berani menatap mata Orion. Dia terlalu malu untuk melakukan hal tersebut.
Namun, lain halnya dengan Nerisha. Dia terlihat tenang meski merasa kesal dan dendam terhadap Nana, tergambar dari tatapannya untuk gadis yang hampir saja membuat seluruh rambutnya rontok.
Nerisha juga merapikan rambutnya yang kusut akibat tarikan tangan Nana. Namun, gadis memakai lensa kontak berwarna coklat itu, merasa bersyukur Orion datang di waktu yang tepat dan pertarungan ini tidak berakhir dengan hilangnya semua rambut.
"Sebenarnya kalian ini kenapa? Mengapa kalian bertengkar di sini, bukankah guru meminta kita semua untuk berkumpul di ruang Sains? Lalu, kalian malah bertengkar di sini seperti anak kecil saja!"
Orion memijat kepalanya yang mulai terasa sakit, mengelah napas panjang, tidak terpikirkan olehnya andai ia datang terlambat. Mungkin salah satu dari keduanya akan terluka parah.
"Dia yang memulainya dulu. Aku ingin pergi ke ruang Sains, tetapi tiba-tiba saja dia menarik rambutku seperti tadi. Dasar wanita yang kasar!"
"Apa maksudmu? Ini semua salah kamu sendiri! Orion, percayalah aku tidak melakukan itu. Dia saja yang memulainya dahulu. Aku bersumpah, diriku tidak memulainya. Kau tahu bukan, kalau aku ini anak baik, tidak mungkin bertarung dengan gadis seperti dia!"
Nerisha ingin mengumpat kesal melihat kelakuan Nana yang merengek seperti anak kecil pada Orion. Mulutnya tak henti-henti bergerak. Namun, tidak ada yang bisa mendengar apa yang Nerisha ucapkan.
Sementara itu Orion terusan memandang ke arah Nerisha tanpa memedulikan Nana yang merangkul di pinggangnya.
"Apa kamu tidak percaya denganku, Orion? Bagaimana bisa wanita secantik dan sebaik diriku melakukan itu, kecuali dia yang memulainya terlebih dahulu."
"Hey, apa maksud perkataanmu itu? Kamu yang memulainya terlebih dahulu dan bukan aku! Kamu yang menghadangku dan langsung menarik rambutku!"
"Bohong!" Nana mengumpat, mengelak dari kenyataan yang ada. Tangannya merangkul erat pada Orion, tubuhnya yang mungil bersembunyi di balik badan kekar Orion.
"Kemari kamu!" Nerisha naik pitam, tanganya menarik Nana yang bersembunyi seperti pengecut.
Orion berusaha mererai mereka kembali, membantu Nana untuk tidak diamuk Nerisha yang marah.
"Kau berbohong! Orion percayalah, dia yang lebih dulu menghadangku dan mendorongku hingga ke dinding. Lalu setelah itu menarik rambutku, jelas aku melawannya. Sumpah, diriku tidak bohong ... Orion, percayalah. Sungguh, aku tidak benar-benar ingin melakukan itu."
Dilema besar melanda hatinya. Orion berada dalam posisi yang tidak menguntungkan saat ini andai waktu dapat berputar kembali, maka dia tidak ingin datang ke sana dan masuk dalam pertengkaran antara dua gadis.
Nana terus saja bersembunyi, menunjukkan wajah seolah dirinya tertindas sementara Nerisha merasa geram. Kedua tanganya mengepal keras dan ingin sekali dia menampar Nana dengan tangannya itu.
Orion mengelah napasnya sampai dia berteriak. "Berhenti! Cukup, lepaskan tanganku! Kalian membuatku menjadi kesal!"
Dirinya benar-benar kesal, bagaimana tidak? Kedua gadis itu menarik tangan kiri serta kanannya secara bersama-sama. Seketika dia merasa tubuhnya akan lepas andai dirinya tidak segera pergi.
"Kalian adalah senior di sekolah ini! Seharusnya kalian berdua harus bisa menjadi contoh yang baik bagi adik-adik kelas bukan seperti anak kecil yang merebutkan sebuah permen! Aku merasa kecewa dengan kalian!"
"Sudah! Sebaiknya kalian pergi ke ruang Sains. Guru dan yang lain, pasti sudah menunggu kalian! Ayo Nerisha, kita pergi!"
Nyatanya pemuda itu lebih memilih Nerisha dibandingkan Nana yang sudah bersusah payah mencari perhatiannya.
Pemuda itu menarik tangan Nerisha dan mengajaknya pergi tanpa menyadari hal tersebut membuat Nana semakin kesal.
Hatinya tercabik-cabik. Nana mengacak-acak rambutnya kembali. Lagi dan lagi dia kalah dari Nerisha meskipun sebelumnya dia berhasil membuat teman satu kelasnya itu menderita.
"Hey! Orion!"
Nana tidak bisa menyembunyikan rasa kesalnya sekarang. Dia sering kali melakukan hal tersebut. Namun, selalu saja dia kalah dari gadis itu, sementara itu Nana sering kali menang dan mendapati perhatian Orion.
"Orion!"
Sulit dipercaya, dia harus menerima kekalahan untuk yang kesekian kalinya. Nana memukul tembok, tetapi tidak ada rasa sakit yang tercipta hanya gejolak dendam yang semakin memuncak.