"Tidak!"
Nerisha berteriak dengan keras, wajahnya pucat pasif dan keringat bercucur deras membasalah seluruh tubuh. Napasnya terengah-engah. Dia baru saja terbangun dari mimpi buruk yang seolah nyata.
"Apa yang sedang terjadi tadi, yang aku lihat dalam mimpiku itu? Siapa gadis itu dan seseorang yang memakai topeng di sana? Mengapa dia membawa pisau dan gunting, untuk apa itu semua? Lalu, gadis itu …."
"Kejadian seperti apa, yang aku lihat di dalam mimpi? Sebenarnya siapa gadis itu? Mengapa dia dan orang itu bisa hadir dalam mimpiku dalam waktu yang bersamaan? Dengan alasan apa seseorang ingin melukai gadis itu?"
Nerisha meraih gelas berisi air yang ada di atas nakas, meneguknya sampai tak tersisa. Dia berusaha menjernihkan pikirannya yang kacau akibat mimpi yang tak pernah terjadi sebelumnya.
"Nerisha, apa kamu sudah bangun?"
Ketika Nerisha yang masih berpikir. Natasha datang dari ruangan lain, membuka pintu kamar secara perlahan dan memasuki kamar dengan keadaan yang sudah rapi.
Natasha berniat untuk membangunkan Nerisha. Namun, kenyataannya adiknya itu sudah bangun tanpa perlu dia bersusah payah membuang tenaga.
"Ada apa denganmu? Mengapa wajahmu sangat pucat? Apa kau habis bermimpi buruk? Lihat, kamu juga berkeringat? Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Kamu bermimpi buruk lagi, Nerisha?"
Natasha buru-buru duduk di tepi Nerisha yang masih menggenggam gelas air kosong.
Natasha menyentuh tangan adiknya yang yang berkeringat dan terasa dingin sedangkan pendingin ruangan sudah dimatikan sejak semalam. Sementara itu Nerisha menatap kedua manik Natasha yang tengah cemas.
"Aku tidak apa-apa, Kakak. Diriku baik--baik saja. Ini hanya mimpi biasa yang sering kualami. Tidak ada mimpi buruk," tutur Nerisha yang berusaha untuk tetap tenang. Namun, tidak bisa menutupi rasa gugupnya.
Dalam benaknya, Nerisha tidak berpikir untuk memberitahukan setiap kejadian yang ada pada mimpinya kepada Natasha, sebab dia tak ingin Kakaknya ikut cemas. Terutama mimpi ini lain dari bunga tidur yang selalu datang padanya.
Natasha menatap kedua manik adiknya penuh kecemasan, mengangkat satu tangan dan mengelus rambut Nerisha yang basah akibat berkeringat.
"Jangan seperti itu. Jika terjadi sesuatu, kamu harus mengatakannya. Kamu jangan berpikir untuk menyimpannya sendiri. Kakak, juga berhak tahu setiap mimpi buruk yang kamu mimpi 'kan. Bisa saja itu adalah Misi baru untuk kita. "
Natasha terus menerus membelai lembut adiknya yang masih tampak gemetaran. Sementara Nerisha berusaha untuk bersikap tenang meskipun keringat terus bercucuran di punggungnya.
Selama sejarahnya. Jikalau Nerish bermimpi buruk biasanya akan terjadi hal buruk yang sedang menimpa seseorang diluaran sana. Entah itu hilang atau semacamnya. Sama seperti yang terjadi pada Bintang beberapa waktu lalu.
Sebelumnya Nerisha telah bermimpi buruk terhadap gadis tersebut, hanya saja saat itu tergambar jelas dalam mimpinya. Namun, mimpi yang datang sekarang lebih nyata dan jelas membuat Nerisha tidak bisa berhenti memikirkannya.
"Lalu, apa yang sebenarnya kamu mimpi 'kan? Siapa yang kamu lihat dalam mimpimu dan apa yang terjadi di sana? Cepat katakan pada Kakak."
Natasha memaksa. Akan tetapi, Nerisha diam hanya membuka mulut dan tidak sekalipun dia berniat membahas mimpi itu kembali.
"Tidak Kak. Sudah dikatakan, aku tidak sedang bermimpi buruk hanya bermimpi biasa saja, tidak lebih dari itu. Percayalah!" serga Nerisha yang sudah lebih tenang dari sebelumnya.
Kedua maniknya mancarkan cahaya kejujuran tak ada yang dia tutup-tutupi hanya saja Nerisha takut Kakaknya akan terus bertanya hal yang serupa.
"Sungguh? Kalau memang benar, kenapa kamu berkeringat seperti orang yang habis berolahraga? Andaipun memang dirimu tidak bermimpi, lalu wajahmu mengapa terlihat pucat? Ayolah, Nerisha jangan membuat Kakak cemas seperti ini. Aku tidak mau kejadian itu terulang kembali ...."
"Aku tidak pernah menyembunyikan sesuatu dari Kakak, benarkan? Kakak, tidak usah cemas berlebihan seperti ini terhadapku … Aku baik-baik saja, sudah dikatakan sebelumnya bukan? Masalah, berkeringat dan wajah yang pucat, ini hal wajar ketika bangun tidur. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, untuk sekarang lebih baik Kakak tenang saja. Okey."
Perlahan Nerisha menurunkan kakinya, berjalan menjauhi tempat tidur dan meraih handuk yang berada di atas tempat duduk.
Natasha masih memperhatikan sikap adiknya yang seolah seperti seseorang yang menyembunyikan rahasia. Namun, dia juga tidak bisa terus mencurigai Nerisha berlebihan.
"Benar kamu baik-baik saja?"
"Iya, Kakak. Tentu aku baik-baik saja. Selama aku masih memiliki kakak di sisiku, maka tidak akan ada hal buruk yang terjadi … Masalah mimpi, itu hanyalah bunga tidur saja Kak. Semuanya tidaklah nyata. Kakak percayalah padaku."
"Iya, semoga saja itu hanyalah bunga tidur dan selamanya tidak akan pernah terjadi."
Biarpun Nerisha telah meyakinkannya. Namun, Natasha tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana pucatnya Nerisha tadi.
"Baik, Kak. Sebaiknya aku segera mandi karena adikmu ini harus pergi ke sekolah hari …."
Dia menggoda Kakaknya sebelumnya akhirnya beranjak pergi ke kamar mandi. Namun, sebelum itu dia berpesan saat berdiri di bibir pintu masuk.
"Kakak, jangan lupa sarapan sebelum pergi Kuliah!"
"Iya, aku akan sarapan sebelum pergi kuliah. Sudah sebaiknya kamu mandi dahulu, nanti kita sarapan bersama-sama. Ibu dan Ayah pastinya sudah menunggu kita di bawah … Cepat mandi sana!"
"Baik, Bos!"
Nerisha menutup pintunya dan segera membersihkan diri. Suara air keran yang dinyalakan terdengar mengucur deras dari balik ruangan itu.
Selagi Nerisha mandi, Natasha masih tetap berada di atas kasur dan tampak tertegun di sana.
Gadis yang tidak pernah melepaskan kacamata itu masih merasakan ketidak tenangan di pikirannya. Dalam benak dia terus memikirkan kejadian kemarin malam yang menimpa Bintang.
Saat tahu alat eskavator itu ternyata tidak ada yang mengendalikannya, membuat pertanyaan besar dalam pikiran Natasha selama beberapa waktu ini.