Chereads / REDUP||Nishimura Riki / Chapter 3 - A Letter From ‘J’

Chapter 3 - A Letter From ‘J’

Gedung bertingkat tiga berbentuk persegi panjang, dengan cat berwarna coklat pastel, lapangan yang luas dan tiang bendera Korea Selatan di sisi kanan pintu lobby ini menjadi tempat dimana kami menimba ilmu.

Ada dua pohon besar kramat yang rumornya, dulu sekolah sudah menebangnya. Namun, keesokkan harinya pohon itu muncul kembali seakan-akan sekolah tidak pernah menebangnya. Dan lebih parahnya lagi, petugas yang menebang pohon itu jatuh sakit selama lima hari. Sejak saat itu, pihak sekolah mengerti kalau pohon itu tidak boleh di tebang. Ini hanya cerita dari mulut ke mulut dan belum tentu benar. Mungkin saja pohon itu memang tidak di tebang. Tidak ada yang tau.

Bentar, kok jadi bahas pohon sih?

Setelah kami masuk ke dalam lobby, kami harus berpisah. Aku ke arah kiri sedangkan Riki ke arah kanan karena, tangga untuk mengakses kelas dua belas dan sebelas itu berbeda.

"Bye Rik!" Ucapku sambil melambaikan tangan tanpa melihat ke arahnya.

Aku langsung menaiki tangga menuju lantai tiga, kelasku.

Aku menguap. Kalian pasti pernah mengalami mimpi buruk, kan? Nah, tadi malam aku mengalaminya. Coba kalian pikirkan, Dinosaurus dengan kepala yang menyerupai manusia dan dia sedang memasak Takoyaki di kamarku..what? Sangat buruk, bukan?

Ah iya, aku ingat. Tadi pagi aku memasukkan minuman kopi kaleng ke dalam tasku. Aku harus meminumnya agar aku tidak mengantuk lagi.

"Eh?! Kok lo ngikutin gue?!" Pekikku saat melihat Riki berdiri di belakangku.

"Kasian, lo masih ngantuk. Kalo lo jatuh terus gak ada yang nolongin lo gimana? Sakitnya sih gak seberapa, malunya itu lho!" Ucap Riki lalu tertawa membuatku menatapnya datar.

"Bilang aja khawatir, susah bener dah" gumamku lalu membuka minuman kaleng yang tadi aku ambil di dalam tas.

"Mau gak, Rik?" Tawarku.

Riki hanya menggeleng, lalu ia merangkul bahuku.

"Ayo nak, kita ke kelas. Pasti teman-teman kamu sudah menunggu" ujar Riki sambil mengelus rambutku. Percis seperti bapak yang sedang mengantar anaknya di hari pertama sekolah. Kulihat siswa siswi di lorong kelas menatap kami lucu.

Apanya yang lucu?

"Gue kakak lo, kalo lo lupa."

"Tinggian gue, berarti gue kakak lo."

Aku mendengus kesal.

"Terserah."

Setelah sampai di depan kelas, aku menghentikan langkahku. Lalu, aku menoleh ke arah Riki.

"Udah, balik sana ke kelas." Ucapku dan Riki mengangguk lalu, meninggalkanku.

Saat aku masuk ke dalam kelas, aku menghentikan langkahku lalu menatap tajam ke arah teman-teman yang sedang asik duduk dengan circle-circle mereka.

Aku melirik meja yang ada di bawahku.

Brak!

Semua kompak menoleh ke arahku dengan ekspresi kaget mereka, melihatku yang masih menjabat sebagai Ketua Kelas ini marah.

"M-Minzu?"

"Enak ya, pagi pagi udah gibah? Siapa piket sekarang?" Tanyaku dengan nada dingin.

Aku langsung menatap tajam ke arah siswa-siswa yang piket di hari Senin. Jangan kira aku tidak tahu siapa saja yang piket hari ini. Aku hafal siapa dan kapan piket kelas.

"Piket sekarang."

Dengan cepat mereka berdiri dari tempat duduk lalu mengambil sapu yang ada di lemari alat-alat kebersihan.

"Yang lain, bantu mereka! Gue gak mau ada guru yang bilang kelas kita kotor." Perintahku yang dibalas anggukan cepat dari teman-teman.

Sedikit cerita kenapa aku bisa ditakuti oleh teman-temanku di kelas. Aku dipilih menjadi Ketua Kelas oleh teman-teman saat pembagian kelas di Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah dulu. Selama itu masih baik-baik saja, aku juga terlihat ramah dan masih sabar menghadapi anak kelasku. Sampai akhirnya kelasku di cap ribut dan nakal oleh guru-guru bahkan wali kelas kami. Aku juga sudah di nasehati oleh wali kelas agar lebih tegas untuk menjaga ketertiban kelas. Saat aku kembali ke kelas setelah di nasehati di ruang guru, kelasku berantakan. Meja dan kursi ada dimana-mana. Aku yang melihat itu langsung memarahi teman-teman. Teman-temanku cukup syok, seakan-akan mereka melihat dua orang yang berbeda di diriku. Sosok yang lemah lembut dan sosok yang kejam, dingin dan menyeramkan.

Agak alay, namun itu lah yang terjadi hingga akhirnya aku ditakuti jika aku marah.

Dan selama ini mereka berusaha untuk tidak membuatku menjadi sosok yang dingin itu dengan cara disiplin, tidak ribut saat belajar, tidak keluar kelas saat guru belum masuk kelas, dan masih banyak lainnya. Dan usaha mereka aku akui berhasil.

Tapi tidak untuk hari ini.

Aku menghembuskan nafasku pelan lalu menatap semua anak kelas. Aku sudah berdiri di belakang mimbar podium kelas.

"Oke. Gue mau bilang terima kasih buat kalian yang udah mau kerjasama bersih-bersih kelas. Gue mau ngasih info, pak Chan gak bisa ngajar hari ini. So, kira free class selama empat jam" jelasku.

Tumben hening, biasanya mereka akan teriak-teriak kesenangan.

"Gue mohon kalian jaga ketertiban kelas, buat seakan-akan kelas kita ada guru yang ngajar. Kalau kalian gak mau ada guru yang masuk. Kalau gue denger kalian ribut, gue yang minta tugas dari pak Chan buat kalian"

"Kalian ngerti?"

"Ngerti, Min!"

Aku mengangguk lalu kembali ke tempat duduk. Sekarang, aku bingung harus melakukan apa. Bermain game, belajar, atau tidur? Karena aku kekurangan tidur tadi malam, jadi aku memilih untuk..

Membaca webtoon horror.

***

Jam istirahat pun tiba, aku mengambil beberapa buku di dalam tas. Aku berniat untuk meletakkan buku-buku itu di loker miliku. Supaya besok tidak terlalu banyak membawa buku. Kalian ingin tahu besok berapa buku yang harus kubawa? Enam buku. Termasuk buku kamus, ketertiban sekolah, dan buku Undang-Undang Negara.

Dahiku berkerut saat melihat gembok pintu lokerku yang letaknya berbeda. Maksudku, arahnya. Arahnya berbeda dengan arah saat terakhir aku mengunci loker ini.

Oke, mungkin ada yang tak sengaja tersenggol saat berjalan. Saat kubuka loker itu, ada sebuah surat berwarna kuning dan satu bungkus coklat batangan di dalam lokerku. Aku tersenyum miring, lalu tanpa berpikir panjang langsung merogoh handphone di saku almamater sekolahku.

Ini pasti kerjaanya Riki.

"Yo wassup sister?"

"Jawab jujur sama gue, lo kan yang ngasih gue coklat sama surat?" ucapku to the point.

"Eeh?Gak ada anjir! Lo aja gak ada ngasih gue kunci cadangan. Lo kira gue seniat itu buat ngasih lo surat sama coklat di loker yang jelas-jelas lo kunci pake gembok?"

Oohh..

Iya juga ya..

"Jangan matiin telponnya. Gue kesana sekarang."

Aku diam memandang surat dan coklat yang ada di dalam lokerku. Apa mungkin ada seseorang yang membuka lokerku sebelumnya?

Aku meraih surat tersebut lalu kubaca.

Gue suka sama lo udah lama.

- J

"Siapa anjir?!" Monologku spontan.

Beneran, aku tidak punya teman dengan inisial 'J'. Dia bilang, dia suka denganku sudah lama? Apa dia teman SMP? SD? Tapi seingatku, aku benar-benar tidak punya teman dekat inisial 'J'. Apa aku punya pengagum rahasia seperti kisah novel yang pernah kubaca?

"Mana?"

"Anj! Woi Riki! Lo kalo muncul kasih tanda kek! Lo mau gue mati kena serangan jantung hah?!" teriakku reflek sambil memegang jantungku.

Sialan, Riki hanya tertawa.

"Mana surat sama coklat yang lo maksud?" tanya Riki.

Aku langsung memberikan surat dan coklat tersebut kepadanya.

"Gue suka sama lo udah lama" ucap Riki membaca isi surat tersebut lalu menahan tawanya.

Setelah ini dia pasti akan meledekku.

"Ada juga yang nyukain lo modelan kek gini?" ledek Riki lalu tertawa lepas.

"Maksud lo? Gue kan cantik" ujarku percaya diri.

Hei, listen. Gak ada tuh wanita yang jelek di dunia ini. Mereka semua sama-sama cantik, hanya saja sifat mereka yang membedakan standar kecantikannya.

"Yaudah, nih coklatnya" ucap Riki lalu memberikan coklat.

"Loh, lo gak mau ambil?" tanyaku di balas gelengan dari Riki.

"Lo aja, nanti kalo gue yang makan terus gue jadi suka sama si pengirim surat gimana?"

Plak!

Aku hanya memukulnya pelan.

"Aduh!" Pekik Riki sambil tertawa.

"Udah sana, gue mau ke kelas" ucapku lalu meninggalkan Riki yang masih tertawa di depan lokerku.

Setelah menaiki tiga puluh anak tangga, kini aku sudah sampai di lantai tiga, kelasku.

"Eits, di cariin ternyata ada disini."

Ohh Glory, siapa sih yang tidak tau dia? Hampir semua siswa pernah menjadi bahan bully nya.

"Wow, dapet surat cinta nih" ucapnya lalu merampas surat dan coklat yang ada di tanganku.

Sangat tidak sopan.

"Widih, ada juga yang nyukain lo?"

"Lo orang kedua yang bilang gini. Sana, gue mau ke kelas. Lo mau ambil coklatnya? Ambil aja. Gak usah ganggu gue" ucap Minzu lalu melewati Glory.

Bruk!

Gapapa, lecet dikit aja kok.

"Udah berani lo sama gue?!" Bentak Glory. Aku hanya memutarkan bola mataku malas lalu, menatapnya.

"Biasanya juga gue berani sama lo kali. Baru nyadar lo? Oh iya, Alena sama Yoonbi mana? Tumben berani gangguin gue sendirian" tanyaku sambil berdiri dari posisi jatuh tadi.

Lumayan bro, kepental 5 cm. Aku gak tau Glory makan apa tadi, tapi memang kuat sih.

Aku lihat glory semakin mengepalkan tangannya. Sudah mulai emosi rupanya.

"Udahlah, istirahat cuma dua puluh menit. Jangan buang-buang waktu lo buat ganggu gue" ucapku lalu pergi meninggalkan Glory yang berteriak layaknya orang kerasukan.

Entahlah, aku tidak mendengarnya. Yang pasti itu adalah sumpah serapah. Gak penting, kan?

Mataku tak sengaja melirik laki-laki yang sedang berdiri menyandarkan punggungnya di tembok kelas 3-1 sambil memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana, tidak menggunakan almamater, lengan kemeja yang di lipat hingga siku di tambah dasi yang longgar dan rambut hitam yang hampir menutup mata.

Keren.