"Gimana rasanya? Enak?" Tanya Jake setelah aku mengunyah kripik jagung itu.
Aku hanya mengangguk. Ini sangat enak! Lebih enak dari rasa Jagung Manis itu!
Kulihat Jake tersenyum lalu dia mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Gue mau ngobrol masalah keakraban kelas" ucap Jake setelah meminum minumannya.
"Tiba-tiba?"
"Gue rasa kita belum terlalu akrab selama menjabat jadi Ketua dan Wakil Ketua Kelas" Jake menggantung kalimatnya lalu menatapku.
"I hope we can be close friends right now."
Aku cukup tertegun dengannya sekarang.
***
"Gimana? mau ke UGD?" tanya Taki.
Aku memutarkan bola mataku.
"Lo kenapa Ki? Gak bakal selesai kalo gue masuk UGD" ucapku lalu meminum teh hangat yang sudah dibuatkan Taki.
"Rawat inap? Oke ayo ke rumah sakit, lo harus di rawat inap."
Aku menghembuskan nafasku pelan.
"Gue gapapa Ki, just trust me. Gue cuma kecapekan aja" ucapku meyakinkannya walau aku sendiri tidak yakin.
"Kecapekan kata lo? Lo lupa gue anak siapa? Gue anak Dokter spesialis Kanker. Jadi, gue tau semua gejala-gejala penyakit mematikan itu!"
Aku tidak bisa berkata-kata lagi.
"Kok diem?"
Aku hanya meliriknya, lalu menundukkan kepalaku.
"Udah, gue mau istirahat dulu. Bangunin gue kalau udah jam masuk." ucapku lalu merebahkan tubuhku di atas kasur UKS.
"Terserah, kali ini aja lo boleh bantah omongan gue. Tapi, kalau udah semakin parah gue bakal paksa lo ke rumah sakit untuk pengobatan." ucap Taki lalu membuang muka, lucu.
"Percuma, pada akhirnya juga gue gak bakal bisa lepas dari penyakit itu."
"Ni anak bener-bener minta di sleding ya kepalanya?"
"Udah Ki, gue mau istirahat."
***
Istirahat kedua sudah dimulai, aku menatap langit yang berubah warna menjadi jingga. Aku sedang memikirkan kata-kata Jake tadi siang di kantin. Apa karena kita sudah kelas 3 SMA jadi harus lebih mendekatkan diri pada teman? Atau dia punya maksud yang lain?
Aku menatapnya yang akan keluar kelas, dirinya terlihat begitu sibuk.
Sebaiknya aku keluar untuk mencari udara segar. Bagaimana kalau ke taman? Ini adalah hari pertamaku merasakan fullday school, aku belum pernah melihat taman sekolah di sore hari. Semoga saja ini adalah pertama dan terakhirku merasakan sekolah fullday. Karna fullday ini, aku lebih jarang bertemu dengan Riki.
Ah aku melupakan anak itu. Aku harus menelponnya.
***
Handphoneku berdering dan tertera nama kakakku. Aku melirik ke arah Taki sebelum mengangkat telpon itu.
"Halo kak!"
"Hm, lo udah makan?"
"Ini mau makan, lo gimana?"
"Sama gue juga. Btw tumben lo kalah main game, dapet hukuman pula."
Aku mengernyit lalu menatap Taki yang sedang tersenyum pepsodent sambil menampilkan dua jarinya. Aish, anak ini tidak briefing tadi.
"Hehehe iya, sekali-kali kalah. Gue udah bosen menang mulu"
"Sombong dasar"
"Oh iya, gimana luka tangan lo?"
"Biasa aja, udah gak terlalu sakit"
"Oke, bagus kalo gitu."
"Yaudah, lo makan dulu sana."
"Oke siap"
Sambungan telpon langsung diputuskan oleh kak Minzu. Kini aku menatap tajam ke arah Taki.
"Dari sekian banyak alasan, kenapa harus kalah main game dapet hukuman anjir?!"
***
Aku menghela nafas lega, lalu memasukan hanphoneku ke dalam saku almamater sekolah. Sudah saatnya pergi ke taman.
Sesampainya di taman, seseorang menghentikan langkahnya di depanku. Saat kulihat wajahnya
"Hai, long time no see?"
Bruk!
Wah ni anak, belum apa-apa aku sudah di dorong.
"Woi! Kasi ancang-ancang kek! main dorong aja!" omelku lalu berdiri.
Aish, kenapa harus di taman sih? kakiku jadi lecet kena krikil!
"Selain deket sama Jungwon, lo juga deket sama Jake ya? Semurahan itu kah lo?" tanya Glory membuatku mengernyit.
"Lo iri? Gak ada yang deketin lo jadi lo bilang gitu?" Tanyaku lalu sedikit tertawa.
"Lebih murahan siapa sama lo yang bercinta dengan hampir semua cowok di sekolah ini, hm?" tanyaku membuatnya tersulut emosi.
Bagus Minzu, lanjutkan!
"Kurang ajar!"
Prangg!
Dia melemparkanku sebuah pot kaca, syukurnya aku bisa menghindar dengan baik. Siapa yang menyediakan pot kaca di taman? sini, aku ingin bicara!
"Wanna fight? maju" ucapku dengan nada deepku.
Ni anak mancing kan? Yaudah nih gue kasih liat sekarang.
"Dasar jalang!"
Dia berlari ke arahku, aku langsung menggeser tubuhku dan memberikannya jalan untuk berlari.
Bruk!
Dia bodoh, sangat bodoh.
"Jadi gimana rasanya nabrak pohon Jati, bestie?" teriakku pada Glory yang sepertinya tak sadarkan diri.
"Yaudahlah, rasain tuh" ucapku.
Baru akan berbalik, aku dikagetkan dengan manusia yang tadi siang menatapku tajam.
"Mau kemana lo?"
Apa lagi sih ini?
"Bukan urusan lo" ucapku lalu melewatinya.
Bruk!
"Akh!"
Kenapa orang-orang hari ini suka mendorongku?!
"Maaf tapi bisa gak lo kalo mau dorong jangan di krikil? kaki gue lecet lagi nih" ucapku sambil memperlihatkan kakiku yang lecet.
Sepertinya dia tidak peduli.
Bough!
Tenang, aku bisa menghindar dari lemparan pot bunga itu. Selain pot kaca, ditaman juga ada pot pelastik ya?
"Lo kenapa? Huh?! dateng tiba-tiba terus ngelempar pot bunga, segabut itukah hidup lo?!" Pekikku dan Jay hanya diam menatapku. Aku langsung berdiri dari posisi jatuh tadi.
"Denger, gue gak merasa ada buat kesalahan sama lo so, don't disturb my life" tegasku lalu berdecak kesal.
"Kok diem? Lo ngerti bahasa Inggris, kan?"
"Lo mukul adik gue."
Aku terkejut. Pertama, Glory adik Jay?! Kedua, mukul katanya?! Woi! Matanya buta?!
"Lo liat? Adik lo sendiri yang nabrak pohon, gue cuma ngasih jalan aja!" Pekikku padanya sambil menunjuk Glory yang masih tak sadarkan diri.
"Sama aja."
Ni anak bener-bener ya? Minta di tendang rasanya.
Bough!
Tak!
Bruk!
"Woi! Jangan nyakitin cewek anjir! Akh!"
Iya, dia tiba-tiba memukulku sampai mendorongku dan akhirnya aku tersungkur di krikil taman. Kalau dia mendorongku di lantai masih aku terima tapi ini di krikil!
"Lo...lo kenapa sih?! Huh?!" Bentakku.
Bruk!
Seseorang mendorongnya lalu Jay ambruk di sebelahku, aku harus memanfaatkan kesempatan ini. Aku langsung meraih kedua tangannya dan aku tahan di balik punggungnya. Layaknya seorang polisi yang berhasil menangkap buronannya.
"Denger, bukan gue tapi adik lo. Lain kali gak usah sok jadi pahlawan tanpa tau apa yang terjadi. Sifat lo ternyata sama kayak adik lo, pembully bodoh. Listen this, benerin belajar lo dulu baru ganggu orang." Ucapku lalu mendorong tubuhnya hingga ia mencium krikil taman.
Rasain tuh, poppo sama krikil taman yang tajem.
Aku langsung menarik Riki dan berlari menjauhi taman itu.
Iya, Riki yang mendorong Jay tadi.
"Pelan-pelan anjir! Luka lo berdarah lagi!"
"Bodo amat, Rik!"
Sesampainya di UKS, aku langsung mengobati luka-luka di kakiku dan luka sayat di tanganku. Sedangkan Riki hanya menatapku.
"Syukur gue gak jauh dari taman, kalo gitu gak ada yang bakal nyelametin lo" ucap Riki.
"Iyain."
"Bilang apa sama gue?"
"Makasi."
"Yang ikhlas dong."
"Terima kasih Riki, kau lah adik terbaik aku" ucapku mengikuti nada salah satu animasi Malaysia yang sering kutonton.
Riki tertawa.
Brak!
"Minzu kata anak kelas lo—"
Aku menatap Jake yang berkeringat dengan nafas yang terburu-buru. Dia mematung di depan pintu UKS sambil melirikku dan Riki bergantian.
"Lo gapapa?" Tanya Jake lalu menghampiriku dengan langkah gontai lalu menarik kursi UKS.
"Gapapa Jake, tadi kata anak kelas apa?" Tanyaku.
"Tadi anak kelas liat lo di pukul sama Jay di taman, mereka liat dari jendela kelas. Waktu gue samperin ke taman udah gak ada siapa-siapa. Terus gue nanya sama ibu loby katanya lo lari ke UKS sama cowok rambut item" jelas Jake lalu ia mengatur nafasnya.
"Cowok rambut item, dia Jake. Adik gue, Riki namanya" ucapku sambil menunjuk Riki.
"Udah tau."
"E-eeh?" kagetku.
"Kak Jake kan—"
"Gue sama Riki udah kenal karna gue ketua klub Karate, iya gitu" jawab Jake memotong pembicaraan Riki. Ini membuatku cukup curiga, pasti ada yang di sembunyikan.
Tapi aku tidak peduli, hehe.
"Yaudah ayo balik" ajakku lalu berdiri dari tempat duduk.
"Tapi tangan lo gapapa?" tanya Riki.
"Gapapa, sakitnya masih bisa gue tahan" jelasku dan kami pun keluar dari ruang UKS.
"Rik, lo langsung ke kelas aja. Biar gue yang jagain Minzu, okey?" ucap Jake dan Riki mengangguk.
***
Sesampainya di rumah, aku langsung mengganti bajuku untuk pergi berangkat kerja. Aku menggunakan hoodie coklat dan celana coklat yang serasi dengan hoodieku. Tiba-tiba aku kepikiran dengan kata-kata yang aku lontarkan pada Jay, apa itu berlebihan?
Ah sudahlah, dia pantas mendapatkan kata-kata seperti itu.
"Lo mau kerja?"
Aku langsung tersentak kaget, lalu menoleh ke arah Riki dengan tatapan tajam.
"Kalau masuk inget ketuk pintu anjir, lo mau kakak lo mati kena serangan jantung?!"
"Gue nanya, lo mau kerja?" Tanya Riki yang sepertinya dia tidak peduli dengan omelanku.
"Iya! Kenapa?"
"Jangan pulang lewat dari jam 10 atau luka lo bertambah" ucap Riki yang membuatku mengernyit.
"Bukannya dia harusnya udah mati kemarin?"
"Lo kira psikopat di Korea ini cuma satu?"
Ni anak bener-bener.
"Iya iya, gue gak bakal ngulangin kesalahan lagi."
Kulihat Riki berdiri lalu menghampiriku.
"Good girl" ucapnya dengan nada rendah lalu pergi begitu saja dari kamarku, meninggalkanku yang sedang menjadi patung.
"Dia adik gue yang ngeselin itu?"