Tiba-tiba saja tubuhnya ambruk ke sebelah kiriku. Digantikan oleh sosok laki-laki yang sepertinya aku kenal. Dia menatapku dengan tajam sebelum menusuk-nusuk dada pria tua ini sampai benar-benar mustahil untuk hidup.
Ngeri juga ni anak.
Ini bukan rekannya yang ingin balas dendam pada pria tua ini, kan? sepertinya laki-laki ini adalah psycho juga. apa aku harus menendangnya?
Aku berusaha untuk bangun lalu mendekati laki-laki yang sedang menatap mayat pria tua itu. Aku sudah siap ancang-ancang kalau dia akan menyerangku.
"Udah gue bilang pulang sebelum jam 10 kak."
"Anj! kaget gue!"
Laki-laki ini berdiri lalu menurunkan tudung hoodienya dan benar, dia adalah Riki. Tanpa bicara dia melirik sekitar seakan-akan mencari sesuatu, lalu kembali menatapku.
"Lo gapapa?" tanya Riki dengan raut wajah khawatir.
"G-gapap—"
Gelap.
***
Perlahan-lahan aku membuka mataku, aku bisa menghirup bau obat-obatan khas rumah sakit— kenapa aku ada di rumah sakit?!
Pandanganku masih buram, tapi aku tahu siapa yang sedang duduk di sebelah kiri brankar. Dia menggenggam tangan kiriku.
"Riki.."
"Kak Minzu?!"
Samar-samar aku mendengar itu, dan kulihat Riki memencet sebuah bel.
Di sebelah kanan brankar aku bisa mengenalnya, dia Sunoo.
Setelah diriku di periksa, Dokter sepertinya mengatakan sesuatu kepada Riki dan Sunoo. Mereka hanya mengangguk sesekali mengatakan "baik dok."
Kini mereka menghampiriku.
"Lo gapapa kan, kak?" Tanya Riki sambil mengusap rambutku dan aku hanya mampu menggeleng untuk jawaban.
"Urusan kita belum selesai, Min. Gue harus tunda marah gue dulu sampai lo sembuh total" ucap Sunoo dengan ekspresi dinginnya.
"Gue juga ikut, kak" ujar Riki dan mereka melakukan tos tangan di hadapanku yang pasrah dengan apa yang akan terjadi hari ini, besok, atau nanti.
"Tidur, lo butuh istirahat" ujar Riki.
"Sebelum tidur gue harus tau gue kenapa tadi" ucapku tegas.
"Lo pingsan, gue langsung telpon kak Sunoo minta bantuan bawa lo ke rumah sakit" jelas Riki.
"Tapi kenapa rumah sakit? Lo kan tau gue benci rumah sakit" rengekku.
"Terus? Lo pingsan, tangan lo luka, baju lo berdarah-darah gini mau gue bawa ke bidan?"
Sepertinya aku memang harus diam. Emosi masih menguasai mereka berdua.
"Tidur, besok lo udah boleh pulang" ucap Riki dan aku hanya mengangguk lalu memejamkan mataku.
Walaupun tidak bisa.
***
Keesokkan harinya.
"Kamar gue!" Pekikku lalu lari memasuki kamar dan merebahkan tubuhku di atas kasur.
"Tingkah lo kayak udah nginep 3 tahun di rumah sakit" ucap Sunoo.
"Biarin."
"Yaudah, gue berangkat ke sekolah dulu. Jaga kakak lo ya Nik. Kalo dia macem-macem langsung sikat aja, oke?" Bisik Sunoo di akhir kalimat.
"Gue denger bestie!"
"Siap kak, makasih udah bantu gue, maaf ngerepotin kak."
"Sama-sama, gue gak merasa di repotin kok."
"Hati-hati kak."
"Bye Sunoo!"
"Masih jam segini, sekolah kita masuk jam 9. mau sekolah?" Tanya Riki yang duduk di pinggir kasur.
"Mau lah, gini-gini gue masih bisa belajar kok" ucapku dengan yakin.
"Serius? Yaudah ayo siap-siap."
***
Sesampainya di sekolah, kami langsung pergi ke kelas masing-masing. Aku menyempatkan diri untuk mampir ke lokerku. Kali aja ada surat sama coklat lagi kan.
Saat kubuka, ternyata benar. Ada surat dan— susu almond?
Aku meraih kertas itu dan membacanya.
Lain kali hati-hati. Lo lupa jurus Karate dulu? Coba lo inget-inget, biar lo gak terluka lagi. Hari ini gue gak akan ngasih lo coklat.
-J
"Hah? Kok dia bisa tau?" Gumamku.
"Minzu?"
Aku langsung menoleh. Ternyata Jungwon anak kelas sebelah itu.
"Mau bareng ke atas?" Tawar Jungwon dan aku mengangguk.
***
"Asli ini mah, UGD" ucap Taki panik.
Aku tidak menggubrisnya, dan sibuk menyeka darah yang keluar dari hidungku. Aku yakin ini hanya mimisan biasa.
"Bentar Rik, gue ngambil tissue lagi" ucap Taki lalu meninggalkanku sendiri di dalam kamar mandi.
Aku menatap wajahku yang terlihat pucat di kaca di atas wastafel.
Apa yang harus kulakukan? Ini masih ringan, jadi tidak apa-apa, tapi bagaimana kalau sudah waktunya?
"Ini" Aku menoleh ke arah Taki yang terlihat khawatir sambil membawa tissue.
"Muka lo pucet Rik!"
"Ki, gue mau ke UKS. Boleh minta tolong?" Tanyaku dan Taki mengangguk cepat.
"Jangan bilang kak Minzu gue ada di UKS, gue gak mau dia khawatir."
***
Akhirnya sudah jam istirahat, aku harus pergi ke kantin untuk membeli sesuatu. Sebelum itu, aku harus menelpon Riki. Aku akan memberitahu Riki kalau aku sudah makan, agar dia tidak pergi ke kelasku hanya untuk memarahiku karna belum makan.
"Halo Rik, lo dimana?"
"Maaf kak, ini Taki. Riki nya lagi ke kantin."
Aku mengernyit.
"Kalian gak bareng?"
"Gak kak, Riki kalah main game jadi dia dapet hukuman belanja ke kantin."
Aku mengangguk-ngangguk.
"Oke, kalau dia udah balik bilang kak Minzu udah makan."
"Oke siap kak."
Aku langsung memutuskan sambungan telpon. Lalu, kuletakkan handphoneku di atas meja. Ini sedikit aneh menurutku, setahuku Riki jago bermain game lalu hari ini dia kalah? Itu sangat tidak mungkin tapi...ah sudahlah, tidak semua orang akan selalu berada di atas.
"Lo mau ke kantin?"
Aku menoleh ke arah Wakil Ketua Kelas, dia adalah Jake.
Aku mengangguk, lalu berdiri dari tempat dudukku.
"Mau bareng?"
Aku mengangguk dan kami pun pergi ke kantin yang letaknya sangat jauh, tepat di belakang sekolah.
"Gue liat-liat lo deket sama Jungwon anak kelas sebelah?" tanya Jake.
"Enggak sedeket yang lo bayangin, kenapa?" tanyaku sambil menolehnya.
"Gapapa, cuma nanya aja" jawabnya sambil tersenyum.
Kuakui dia sangat tampan. Tapi rasanya aku tidak pantas untuk menyukainya. Bayangkan, dia yang pintar, tampan, berprestasi, friendly, boyfriend material ini bersanding denganku yang seperti ini. Sangat tidak cocok.
"Lo suka kripik jagung?" tanya Jake yang membuatku sedikit terkejut.
"Lo tau?"
Jake mengangguk.
"Tapi seinget gue stok di kantin udah habis" ucapku dengan nada yang terdengar pasrah.
"Eiy, tadi pagi gue liat ada di kantin" ucap Jake.
"Serius?!" pekikanku sepertinya membuat Jake tertawa.
"Iya, lo harus coba. Ada varian rasa baru."
"Rasa baru?"
"Rasa Balado."
"Wah, akhirnya mereka sadar kalau rasa jagung manis terlalu biasa" ucapku dan mataku tak sengaja melihat seseorang yang sedang menatap tajam ke arahku.
Jay, dia adalah Jay.
Kenapa dia menatapku tajam? Apakah aku ada membuat kesalahan padanya sehingga aku harus mendapatkan tatapan seperti itu?