"Terima kasih!" Ucapku dengan sopan sambil memberikan uang kembalian kepada pelanggan.
Aku menghembuskan nafasku pelan, lalu melihat jam dinding. Sudah pukul sembilan malam, itu artinya sebentar lagi aku harus pulang. Kalau tidak, Riki pasti akan marah.
"Lo anak tunggal?"
Aku menoleh ke arah Heilla, dia berdiri di sebelahku. Banyak juga manusia random di bumi ya? Gak ada angin gak ada hujan, tiba-tiba bertanya hal yang tak terduga.
"Gue punya adik laki-laki."
"Gue kira lo anak tunggal" gumam Heilla yang samar-samar kudengar.
"Lo sendiri?"
"Gue anak tunggal" jawab Heilla membuatku mengangguk paham.
"Eum, gue boleh ngomong empat mata sama lo?" Tanya Heilla dan aku mengangguk.
***
Kami berdua sudah berada di lantai atas cafe ini. Hanya kami berdua, karena sebentar lagi cafe akan tutup. Kami memilih tempat duduk yang berhadapan langsung dengan jendela, jadi kami bisa menikmati pemandangan di malam hari sambil menikmati ice vanila latte.
"Gue mau nanya tentang hubungan lo sama Sunoo, kalian.."
"Gak! Kita berdua cuma temen, gak lebih dari itu" jelasku sebelum dia salah paham.
Dia terlihat menghela nafas lega.
"Gue kira pacaran," ucap Heilla lalu menunduk.
Aku mengernyit menatapnya, sudah jelas aku tau maksud dia mengatakan itu.
"Lo suka sama Sunoo?" Tanyaku dengan nada pelan.
Heilla mengangguk lalu menatapku.
"Tapi kayaknya Sunoo gak suka sama gue" ucap Heilla sedih.
Maaf Heil. Tapi emang iya, Sunoo gak suka sama lo.
"Semenjak gue bergabung di cafe ini, gue selalu salah fokus sama laki-laki yang berambut coklat, tubuh yang tinggi dan wajah yang ganteng terus kulit yang coklat tapi tetap menarik di mata gue."
"Wait, brown hair? But Sunoo is black hair" ucapku dan kulihat dia terkejut.
"Serius?"
Aku meringis pelan.
"Lo bilang rambutnya coklat? Itu namanya Haechan" ucapku dan dia mengangguk mengerti.
"Jadi gue salah ngira orang?"
Duh maaf Heilla, aku ketawa dalam hati.
"Iya."
"Menurut lo, Haechan orangnya kayak gimana?" Tanya Heila sambil meminum winter choconya.
"Dia anaknya baik" ucapku singkat, daripada salah ngomong ya kan.
"Lebih spesifiknya?"
Mataku berkeliling berpikir bagaimana caraku untuk lolos dari pertanyaan ini. Bukannya bagaimana, sangat sulit untuk mendeskripsikan Haechan.
Ah aku punya ide!
"Dia—"
"Minzu, lo di panggil Sunoo di bawah."
"Ahh, bagus!" Aku langsung menghampiri Haechan. Lalu, kutarik tangannya agar dia bisa duduk di sebelah Heilla. "Tanya sama anaknya langsung Heill, gue ke bawah dulu! Good bye!" pekikku langsung turun tanpa mempedulikan raut wajah mereka yang bingung.
Sesampainya di bawah, aku langsung menghampiri Sunoo yang sedang meletakkan tasku di atas meja pelanggan.
"Makasih Noo" ucapku sedangkan aku malah mendapat tatapan tajam darinya.
"Ngapain aja lo di atas? Karaokean? Lo gak liat jam? Liat jam sekarang, udah jam sepuluh malem lebih! Kalo lo dimarah sama Riki, gue gak ikut-ikutan ya" ucap Sunoo lalu melipat tangannya di dada.
"M-maaf" ucapku lalu mengambil tasku.
"Ayo pulang, biar gue yang nganter lo sampai rumah."
"Gak! Biar gue sendiri aja Noo."
"Gak! Cewek gak boleh jalan sendiri malem-malem!"
"Kemarin-kemarin juga gue pulang sendiri, udah gapapa gue sendiri bisa kok!"
"Gak! Pokoknya pulang sama gue!"
"Noo, lo lupa? Gue pernah berantem sama preman sampai kakinya patah? Lo lupa gue anak Karate?"
Sunoo diam.
"Ya kan tetep aja lo cewek" lirih Sunoo membuat sudut bibirku sedikit terangkat.
"Sunoo, gue bisa jaga diri baik-baik. Percaya sama gue okay?" Ucapku dan Sunoo mengangguk dengan ragu.
"Yaudah, gue duluan!"
"Hati-hati! Inget telpon gue kalau ada apa-apa di jalan! Gue bakal langsung teleport ke lokasi inget!" pekik Sunoo membuatku tersenyum.
Anak itu selalu mengkhawatirkanku.
***
Aku menoleh jam yang ada di dinding. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih tetapi belum muncul tanda-tanda kak Minzu datang.
Aku berdecak kesal. "Tuh anak gak liat berita di TV saking sibuknya, ya?" Monologku sambil memakai hoodie abu dan mengambil pisau dapur untuk berjaga-jaga.
Aku berdoa sebelum membuka pintu rumah, berharap kak Minzu baik-baik saja.
***
"Kiw cewek!"
"Baru pulang kerja dek?"
"Mau main sama abang gak?"
Aku hanya menatap santai kedua preman yang ada di depanku.
Jadi ini alasan Riki menyuruhku untuk pulang jangan lebih dari jam sepuluh malam?
"Sini ayo deketan."
Gila, benar-benar orang gila.
"Loh kok ngatur? Lu yang sini, lu yang perlu juga" ucapku dengan nada kesal.
"Oh iya ya?" Gumam preman itu membuatku yakin bisa mengalahkannya dengan mudah.
Tak!
Bough!
Tak!
Disaat preman itu mendekatiku, aku langsung menendang wajah preman itu dengan tendanganku. Akibatnya, preman itu terjatuh. Sisa preman lagi satunya yang kelihatannya lebih kuat. Setelah melihat temannya tersungkur, dia langsung menyerangku tapi syukurnya aku bisa menghindar dengan cepat. Aku langsung memukul perutnya lalu menendang wajahnya dengan penuh kekuatan.
Kini mereka berdua tak sadarkan diri, aku menghampiri mereka berdua untuk memastikan kondisi mereka. Kalau mereka mati, harusnya aku masih bisa selamat. Maksudku, selamat dari tuduhan pembunuhan.
"Woi masih hidup, kan?" Tanyaku namun tak ada jawaban. Aku memeriksa denyut nadinya dan syukurnya mereka masih hidup.
"Dasar, preman lemah."
Aku langsung meninggalkan mereka berdua di sana. Rumahku masih berada di ujung sana, dan sialnya harus melewati jalanan yang sepi lagi. Tapi tidak apa-apa, selagi aku bisa melindungi diri.
Krask!
Krask!
Krask!
Tenang, aku mendengarnya. Aku memilih untuk melangkahkan kakiku dengan santai daripada menoleh kebelakang.
Krask!
Krask!
Oke, aku harus menoleh kebelakang untuk memastikan langkah siapa yang berjalan tepat dibelakangku.
Wush!
Syukurnya aku langsung menghindar dari serangan pisau itu. Aku langsung menatap tajam ke arah pria tua yang sedang menatapku dengan tatapan anehnya.
"Woi! Cupu banget lo pakai pisau!" Omelku lalu aku meletakkan tasku di atas tanah.
Ini gawat, dia punya senjata sedangkan aku tangan kosong.
Pria itu berlari ke arahku lalu berusaha menikamku menggunakan pisau tapi syukurnya selalu melesat.
Jleb!
Aku melirik pisau yang menancap di pohon pisang tepat disebelah kiriku. Nyaris saja aku tinggal nama!
"WHAT THE! Are you crazy?!" pekikku.
Apakah aku sedang berhadapan dengan Psycho sekarang?
"Loh kok diem? Jawab anjir! Gak bisa bahasa Inggris lo? Makanya belajar dulu, baru bunuh orang!"
Oh no, ajaran sesat mana ini?
Sret!
"Akh!"
Sial, aku telat menghindar. Pisaunya berhasil menyayat lenganku. Walaupun tidak terlalu dalam, rasa sakitnya lumayan juga ya.
Aku tidak boleh lengah.
Ayo Minzu! ingat masalahmu, ingat bagaimana keluargamu dulu, ingat wajah Glory dan bayangkan di hadapanmu adalah musuh terbesarmu.
Bough!
Brak!
Sret!
Bough!
Aku tersenyum bangga melihatnya tersungkur ke aspal. Aku melirik kanan dan kiri rumah warga. Sepi, seperti tidak ada tanda kehidupan.
Jadi ini alasan sebenarnya Riki menyuruhku untuk pulang sebelum jam sepuluh malam?
"Akh!"
Lagi, tanganku tergores pisau itu lagi. Syukurnya tidak tertancap. Aku sedang melawan siapa ini? psycho? Atau pembunuh?
Mereka berbeda, kan?
Bruk!
Sial, dia mendorongku hingga menabrak pohon mangga besar. Tenang, aku akan berusaha untuk bangkit lagi.
"Akh! WOI PELAN-PELAN BADAK! SAKIT TAU! COBA LO RASAIN ADA DI POSISI GUE! DADA GUE JANGAN LO INJEK KADAL!"
Dia tertawa.
"Oh lo bisa bersuara ternyata" ucapku sambil menahan sakit dan berusaha meraup oksigen.
"Aku baru pertama kali bertemu mangsa random seperti ini" ucapnya.
"Oh iya dong, langka kan gue?" Jawabku dengan ekspresi bangga.
"Akh! W-WOI!" pekikku saat dia malah semakin menekan dadaku menggunakan sepatu bootnya.
Boot man, BOOT!
"Kau akan mati di tanganku" bisiknya lalu tertawa nyaring yang membuat telingaku sakit.
Sresh!
"ARRRGHHH!"