Tanggung Jawab
Setelah beberapa hari sang anak di rawat, kini Bianca membawa Arga untuk kembali ke rumah mereka. Sang dokter memberi tahu jika pria kecil ini jangan terlalu banyak gerak terlebih dahulu namun perlu perawatan intens agar bisa berjalan kembali tanpa bantuan.
"Terimakasih, dok." ujar Bianca, sebelum keluar dari ruang inap.
Dokter cantik itu menganggukkan kepala, tersenyum memberikan semangat pada pria kecil yang sangat tampan tersebut.
Perempuan cantik, berkacamata juga rambut di ikat bun memakai kaos over size juga celana jeans panjang terlihat sangat cantik di mata, Elfata.
Pria itu sudah tahu jika Arga akan keluar dari rumah sakit. untuk itu dirinya sudah berada di parkiran menunggu sosok yang dia tunggu tiba di depan pintu utama rumah sakit.
"Yuk, aku antar." El, keluar dari dalam mobil. Setelah menghampiri ibu dan anak tersebut.
"Gak, usah!" Bianca, memalingkan wajahnya dari pria tampan itu. Ia masih kesal karena Arga menjadi seperti ini dan kerjaannya pun terhambat.
"Kalau jutek kaya gitu, makin cantik ya." goda El, membuat Bianca malu-malu tersenyum. Namun tidak memperlihatkan jika dia tengah merona karena gombalan dari seorang pria.
Beberapa kali Bianca tolak ajakan El, namun pria itu tidak pantang menyerah. Berusaha untuk menjadi laki laki yang bertanggung jawab atas apa yang sudah dia lakukan.
Hingga akhirnya ibu satu anak tersebut luluh dan kini mereka dalam perjalanan menuju kediaman Bianca.
Sepanjang perjalanan tidak ada obrolan serius, hanya ocehan ocehan sederhana dari mulut kecil pria yang tengah duduk di kabin belakang itu sendirian.
Pria kecil itu tengah bergurau jika dirinya sudah lama tidak menaiki mobil mewah seperti itu, dan bahkan dia tidak pernah bertemu dengan papanya sudah sangat lama.
Deg, jantung Bianca berpacu dengan cepat ketika Arga menyebutkan dirinya sangat ingin bertemu papanya.
"Eem!" El, mengerutkan keningnya berfikir.
Hanya memakan waktu kurang lebih tiga puluh menit kini mereka sampai di depan rumah sederhana milik Bianca. Jam menunjukkan pukul sepuluh pagi, dan kini sosok perempuan paruh baya itu keluar dari balik pintu rumah.
"Wassalamu'alaikum, alhamdulilah. Cucu oma sudah sembuh sayang, bagaimana kakimu?" Melihat Arga, Nona memeluk pria kecil itu dengan penuh kasih sayang juga rasa khawatir.
Bianca juga El, mencium lengan milik perempuan paruh baya tersebut ketika pelukan nya sudah terurai.
"Bianca, ini siapa?" tanya sang mama, menunjuk ke arah pria tampan dengan dasi yang menempel di badannya. Nona tahu betul jika pria itu bukan pria sembarangan dari penampilannya saja Nona sudah hapal.
"Saya, Donzello. Tante, bisa panggil saya El." secara gamblang El, memperkenalkan dirinya tanpa ragu, meskipun dia yang telah menyebabkan kaki cucunya terluka.
Nona menganggukkan kepalanya, Bianca sendiri sudah menceritakan jika El yang menabrak juga berusaha untuk bertanggung jawab. Untuk itu biaya rumah sakit dan segala pengobatan Arga sudah di bayar lunas oleh laki-laki yang kini duduk di kursi kayu di depan rumah Bianca.
"Terimakasih, ya." Bianca, duduk di sebelah El. Setelah menyimpan cangkir berisi teh untuk El.
"Untuk?" Pertanyaan El, membuat Bianca kembali menoleh.
"Kamu sudah baik, dan mau menanggung semua biaya Arga."
"Itu bentuk tanggung jawab, saya." jelas El pada perempuan di sampingnya itu.
Entah mengapa Bianca ingin sekali menumpahkan semua beban di hatinya pada El, namun Bianca menyadari jika dia juga El tidak lebih dari seorang pelaku yang ingin bertanggung jawab atas korbannya.
Tidak lama kemudian, Arga keluar berjalan menggunakan tongkat. Dengan sigap El membantu Arga untuk berjalan dan duduk di pangkuannya.
Bianca sangat terharu, biasanya jika ada laki laki lain yang berusaha mendekati dia melalui Arga, pria kecil itu langsung menolak secara mentah-mentah. Namun berbeda dengan El, Arga menerima El begitu saja, bahkan dia mau duduk di pangkuan pria itu.
"Arga. kasian om-nya, kamu berat," tegur sang mami, meminta Arga untuk turun dari pangkuan El.
"Terus Arga duduk, dimana. Mi?" pertanyaan anak kecil itu, membuat El gemas.
El tidak keberatan jika memangku Arga, sekalipun setiap hari canda pria itu pada Bianca membuat perempuan di sampingnya tersenyum lepas.
Bianca melihat jam di pergelangan tangannya, dia harus segera berangkat kerja, pasalnya baru dua minggu dia bekerja jika harus izin ataupun tidak masuk tidak enak rasanya pada sang atasan.
Dengan senang hati El akan mengantarkan Bianca ke tempat kerjanya.
Setelah berpamitan pada sang anak juga sang mama, kini keduanya di perjalanan menuju sebuah perusahaan, Bianca menunjukkan arah. El sangat terkejut jika Bianca bekerja di perusahaan dia.
Bagaimana, bisa dia tidak mengenali karyawannya sendiri? Batin El berbicara.
"Sekali lagi makasih ya, aku kerja dulu." El menganggukkan kepalanya.
Setelah Bianca keluar dari dalam mobil, El berusaha untuk menghubungi seseorang dan mencari tahu bagian apa Bianca bekerja.
***
Beberapa hari El tidak masuk kantor dengan benar, pria itu kini disibukan dengan berbagai pekerjaan juga meeting sudah terjadwal dengan rapih, oleh sekretarisnya
"Aduh, El. Lo kemana aja sih!" Riki masuk begitu saja, hanya pria itu yang bebas masuk ke ruangan sang presiden direktur.
"Kenapa?" El mengangkat satu alisnya, menunggu jawaban dari sahabat sekaligus direktur pemasaran tersebut.
"Kerjaan lagi banyak, El. dan lo menghilang tanpa memberi kabar!" protes Riki, terhadap pria yang kini so sibuk dengan pekerjaan di atas mejanya.
Percuma juga rasanya jika protes pada yang memiliki kekuasaan di dalam kantor ini, bisa bisa dia sendiri terkena imbasnya.
Tanpa pikir panjang Riki keluar dari ruangan El, membiarkan sang bos besar untuk bekerja, mengerjakan semua pekerjaannya tanpa di ganggu oleh siapapun.
Riki berharap jika El tidak mengabaikan pekerjaannya lagi, apalagi sampai bermain perempuan di klub malam bersama para wanita jalang.
Tidak mau kejadian terulang kembali setelah beberapa tahun El sembuh dari luka hatinya.
Riki akan berusaha sekuat tenaga melindungi bahkan akan menginterogasi perempuan mana tengah dekat dengan sahabatnya itu, butuh bertahun tahun lamanya Riki membantu El untuk seperti saat ini.
"Pak El, minta apa?" Riki mendengar jika sekertaris El, menerima perintah dari atasannya.
"Tumbenan loh, pak El meminta kopi buatan office girl." Susan, dengan heran menceritakan pada Riki sahabat sekaligus direktur pemasaran.
"Office girl?" Riki bertanya sekali lagi, memastikan apa yang di pinta El itu bukan kebiasaan dirinya. Bahkan makanan pun biasa nya Susan sendiri yang harus menyiapkan juga mencicipinya terlebih dahulu.
Perempuan berponi itu menganggukkan kepalanya, selama dia bekerja dan menjadi sekertaris bosnya baru kali ini sang atasan meminta dibuatkan kopi oleh office girls.
Seorang Donzello Elfata, mana pernah mau dibuatkan kopi oleh pegawai rendahan seperti office girls, dahulu kala dia pernah mengatakan jika tangan OB terlalu kotor untuk membuatkan sesuatu untuk dirinya.
Mengapa seperti tiba tiba El minta, permintaan yang bukan dirinya sukai? Pertanyaan demi pertanyaan ada di kepala Riki, membuat pria jangkung itu lelah dengan pikirannya.
Pasalnya tidak mungkin jika dia menanyakan secara langsung pada sahabatnya itu.
"Apa perlu, gue cari tahu?"
Bersambung..