Bianca menganggukkan kepalanya, perempuan itu menceritakan pada Riki semua kilas hidupnya. Entah kenapa pada Riki dia bisa berterus terang prihal kehidupan pribadinya.
"Eh, sorry ya ... Gue jadi curcol sama lo." setelah menyadari semuanya dia bahas, padahal baru beberapa jam mereka bersama Bianca merasa ada pria yang satu frekuensi dengan dirinya.
"Santai aja, lagian gue juga sama punya pengalaman pahit." sahut Riki, pria jangkung itu meneguk kopi sisa.
Lupa akan jam kantor, pria jangkung itu menjadi pendengar setia dari setiap cerita dari Bianca. Ada rasa penyesalan dari dalam Riki mengapa dia tidak sejak awal-awal saja kenal dengan Bianca, perempuan tanggung dan memiliki hati yang baik.
Dia tak menyangka jika orang yang dirinya katakan pada sang tante, Dahna sang ibunda Elfata bahwa perempuan yang di sukai El itu hanyalah seorang office girls dan memiliki niatan jahat untuk kembali mengambil seluruh harta kekayaan yang di milikinya.
Bagaimana mungkin Bianca akan mengambil harta kekayaan Elfata, saat ini saja statusnya sudah berubah menjadi seorang janda pengangguran.
Setelah beberapa jam yang lalu mengundurkan diri langsung pada CEO.
"Mau gue antar?" tawar Riki, mereka akan berlalu dari kopi shop tersebut. Bianca menolaknya. Jika dia diantar oleh laki-laki lain sudah di pastikan Nona, sang mama akan memberikan sederet pertanyaan.
"Hati-hati, ya." lambaian lengan Riki di balas oleh Bianca, perempuan itu berlalu menggunakan ojek online yang di pesannya.
Riki kembali ke kantor dan pekerjaannya sudah menunggu untuk pria jangkung itu kerjakan.
***
"Dari mana, lo?! Jam berapa ini laporan belum selesai dari tadi." hardik Elfata mendobrak pintu ruangan Riki.
Tatapan elang itu Elfata layangkan pada direktur pemasaran di kantornya. Bagaimana tidak Riki sudah lebih dari tiga jam menemani Bianca di kopi shop. Sementara sang CEO tengah menunggu laporan di ruangannya yang tak kunjung datang.
"Sabar dong, El! Perlu proses juga. Tar kalau salah gue juga yang musti balik ngerjain lagi." protes Riki,
Elfata membalikkan badan nya melangkah keluar dari ruangan tersebut, tak lupa pintu ia banting hingga menyebabkan bagi siapa saja yang mendengar akan kaget bukan main.
Riki menggelengkan kepalanya. Elfata kembali bersikap kasar pikir pria itu. Setelah di telaah banyak perubahan dari Elfata setelah mengenal sosok Bianca.
"Semuanya!!! Dengarkan baik-baik. Jika ada yang keluar kantor bukan urusan kerjaan, jangan harap bisa mendapatkan upah selama sebulan! Jika ada yang melanggar denda 1000$!" Elfata memberikan ultimatum pada semua karyawannya.
Tidak ada yang berani berproses, di ruangan Divisi itu Elfata mengumumkan secara gamblang. Para karyawannya hanya saling bertatap satu sama lain, tak terima dengan keputusan Elfata.
Namun, nyali mereka tidak bisa membantah keputusannya yang ada mereka bisa di pecat.
Bak super hero dalam film sebuah kartun, Riki menghampiri Elfata. Pria tampan itu sedang dalam mode marah besar terlihat dari kilatan matanya seperti burung elang.
"El! Lo sadar gak apa yang sudah lo ucapkan!" tanya Riki, menepuk bahu Elfata.
Bukannya menjawab, pria tampan itu menatap mata Riki dengan serius seolah di tantang untuk duel.
"Pake acara denda segala! Semua karyawan lo berhak keluar kantor jika ada urusan mendesak di luar pekerjaan, El!" kembali Riki memberikan wakil suara karyawannya yang tak bisa mereka lakukan untuk protes.
"Urusan mendesak seperti apa? Seperti lo yang diam-diam menemui office girls yang mengundurkan diri itu! Tidak tahu diri memang. Sudah mendapatkan pelatihan malah keluar begitu saja tanpa membayar." Elfata tidak sadar dengan ucapannya, rupanya pria tampan itu sedang cemburu pada sahabat sekaligus direktur pemasaran di kantornya.
Bukannya Riki menjawab tapi pria jangkung itu justru tertawa terbahak-bahak. Elfata dalam mode cemburu semua karyawan yang menjadi imbasnya.
Hahaha hahaha
Mengerutkan kedua alisnya, berkacak pinggang merasa di permalukan di depan semua karyawan. Elfata pergi meninggalkan Riki yang masih tertawa menertawakan dirinya yang merasa bodoh atas perlakuannya sendiri.
***
Arga yang sudah merasa lebih sehat, kakinya sudah sembuh dari luka tabrak oleh Elfata. Pria tampan berusia lima tahun itu baru saja pulang sekolah TK bersama sang oma.
Duduk di kursi depan rumahnya menunggu sang oma membukakan pintu rumah mereka.
"Mami? Tumben sudah pulang kantor." tanya Arga, melihat Bianca turun dari ojek online.
Nona menoleh melihat Bianca putrinya dengan tatapan penuh tanda tanya.
Bianca sudah menyiapkan mental jika mamanya akan menyerang dengan berbagai pertanyaan juga makian dari perempuan setengah paruh baya itu.
"Arga cucu oma, masuk ganti baju lalu makan siang ya nak." perintah sang oma, pria kecil itu menganggukkan kepala lalu masuk ke dalam rumah.
Sementara Bianca duduk, menundukkan kepalanya siap mendengar semua perkataan sang mama.
"Mama benar-benar kecewa sama kamu, Bianca! Terpaksa mama akan menghubungi ayahnya Arga untuk meminta hak Arga sebagai anaknya." satu telunjuknya Nona angkat, wanita itu merasa kecewa dengan semua keputusan Bianca.
Menolak cinta dari pria tampan seperti Elfata dan sekarang perempuan itu keluar dari perusahaan, tidak memiliki pekerjaan.
"Ma, dengarkan aku dulu." Bianca berusaha akan menjelaskan. Namun, sang mama sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah.
Bianca merasa percuma menjelaskan pada sang mama. Wanita itu terlanjur kecewa pada dirinya, akan tetapi Bianca tidak tahu harus bagaimana lagi.
Bianca tidak mau jika sampai sang mama menghubungi mantan suaminya perkara soal hak Arga dalam segi harta. Untuk itu dia harus berfikir dan menerima Elfata untuk menyenangkan hati sang mama.
"Baiklah, ma ... Bianca akan mencoba menghubungi Elfata dan bilang pada dia kalau Bianca mau jadi kekasihnya." ucap Bianca di meja makan, dan benar saja wanita setengah paruh baya itu tersenyum bahagia.
"Kamu tidak bohong 'kan, Bianca?"dengan terpaksa Bianca menggelengkan kepalanya, tersenyum demi membahagiakan sang mama juga tidak akan membiarkan mantan suaminya di hubungi oleh Nona.
"Yeee, Arga mau punya papa." ujar pria kecil itu bahagia, melompat-lompat seperti mendapatkan ice cream.
Bianca juga Nona menggelengkan kepala melihat tingkah konyol Arga, memang ya menjadi anak kecil itu seakan tidak punya beban dan penuh dengan kebahagiaan.
***
Elfata kini berada di ruangannya menatap langit-langit ruangannya duduk di kursi kebesaran dengan tangan yang saling bertautan. Merasa malu dengan apa yang baru saja dia umumkan akan tetapi aturan itu akan berlaku terlihat dari perintah dirinya pada sang sekertaris untuk menempelkan aturan tersebut di mading kantor.
Drrrtt drrrttt
Ponsel yang dia letakkan di atas meja samping laptop itu bergetar, secepatnya Elfata mengambil dan melihat siapa yang menghubungi dirinya
Tak dia sangka ternyata Bianca, perempuan yang dia sukai menghubunginya terlebih dahulu. Secepatnya El menggeser ikon berwarna hijau agar panggilan itu tersambung.
"Papa." suara anak kecil itu memanggil Elfata dengan panggilan papa. Ada perasaan haru dalam hati Elfata satu detik kemudian pria itu tersadar.
"Papa?" Elfata membeo, hingga terdengar suara tawa renyah dari balik ponsel.
"Maaf ya, om ... Arga keceplosan." Tawa Arga membuat pria itu begitu merasa gemas dengan tingkah Arga,"Om kata oma, di tunggu di rumah ya." tambahnya kemudian.
"Iya, om nanti ke rumah Arga." jawab pria itu, setelah mendengar jawaban dari Elfata Arga menutup sambungan teleponnya.
Dengan penuh semangat Elfata kembali mengerjakan pekerjaannya yang sempat tertunda beberapa jam yang lalu.
"Pak, ada meeting dadakan." ujar sang sekertaris.