"Naya, maafin gue! Gue nggak tau apa yang terjadi sama lu." Raka menatap Kanaya dengan rasa bersalah.
"Gue nggak merasa keberatan buat ada di samping lu malam ini aja, kalau besok lu nggak mau liat gue lagi nggak apa-apa. Tapi please! Gue temenin lu malam ini. Yaa?!" Raka memohon dengan segenap hati.
Kanaya menghapus air mata, lalu mengangguk perlahan.
"Sebenarnya, apa keuntungan lu nemenin gue malem-malem begini? Padahal lu juga udah capek seharian ini dan butuh istirahat." Kanaya penasaran.
"Nemenin lu bukan suatu ajang nyari keuntungan, Nay." Jawab Raka, menatap Kanaya.
"Jadi??" Tanya Kanaya, atas jawaban Raka yang menggantung.
"Sebenarnya, gue cuma mau menepati janji gue sama lu, untuk membuat lu bisa merasakan kangen sama gue." Kata Raka, tatapan nya dalam pada Kanaya.
"Makanya gue bilang, ijinin gue nemenin lu malam ini, kalau gue gagal dan nggak bisa bikin lu merasakan apa-apa, ya gue akan pergi jauh dari kehidupan lu." Jelas Raka, berusaha mengulang apa yang pernah ia katakan.
"Tapi kalau ternyata lu bisa merasakan, setidak nya kangen dan mau ketemu sama gue. Itu adalah yang gue inginkan. Kita bisa ketemu setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik. Selalu bersama!" Kata Raka, wajah nya berharap penuh pada Kanaya.
"Raka! Lu jangan bikin gue nangis lagi dong!" Kanaya sangat terharu mendengar ucapan laki-laki yang pintar dan memiliki paras tampan itu.
"Kenapa mau nangis? Gue malah selalu berusaha bikin lu ketawa, Nay." Raka hanya bisa menatap tanpa beranti menyentuh Kanaya.
"Bu-bukan! Bukan begitu maksud gue, Ka!" Kanaya gugup dan menggerakan kedua tangan sebagai tanda bukan, serta membuka mata lebar.
"Maksud nya, gue tuh terharu sama ucapan lu, Ka." Lanjut jelas Kanaya.
"Oh! Gue kira lu sedih sama semua yang gue bilang tadi." Jawab Raka, bibirnya melengkung tersenyum puas mendengar ucapan Kanaya.
Kanaya akhirnya ikut tersenyum juga, karna merasa bahagia melihat Raka yang berniat baik.
"Jadi sekarang kita mau kemana nih?" Tanya Raka to the point.
"Terserah lu aja! Yang penting gue bisa selamat malam ini." Sahut Kanaya.
"Tenang! kemana pun lu pergi, asal ada gue di samping lu. Nggak akan ada yang berani ganggu lu, Naya!" Raka mengangkat kedua jari nya seperti berjanji dan menyengir lebar.
"Emm, baiklah kalau begitu." Jawab Kanaya, tersenyum kecil,
Mereka melanjutkan perjalanan nya di malam hari menggunakan motor.
Raka mengajak Kanaya untuk makan nasi uduk favorit nya, setelah makan Raka pun berniat membawa Kanaya ke tempat yang biasanya penuh dengan anak-anak nongkrong, letak nya tidak jauh dari rumah Raka.
Di tengah perjalanan, Raka merasakan ada getaran, ia berpikir bahwa tubuh Kanaya menggigil.
"Nay, are you oke?" Raka berhenti lalu membalikan tubuh, agar bisa melihat Kanaya secara langsung.
Meskipun, jaket yang di kenakan Kanaya cukup tebal serta kaos kaki dan sepatu menutupi kaki nya, tapi ternyata tidak mampu menahan dingin nya angin malam yang menusuk hingga ke tulang.
"Gue kedinginan, Ka." Jawab Kanaya jujur, bibir nya sudah pucat karna dingin.
Kedua tangan nya sudah terlipat di dada.
Tanpa berucap, Raka langsung membuka jaket nya. Lalu memberikan kepada Kanaya.
Kanaya nenolak, karna ia tidak ingin Raka kedinginan hanya karna dirinya.
"Terus lu pake apa?"
"Rumah gue deket sini, jadi lu pake aja dulu jaket gue." Paksa Raka tetap memakaikan ke tubuh Kanaya.
"Gue mau telepon orang rumah gue, supaga di bawain jaket, jadi kita tunggu disini aja dulu ya." Lagi ucap nya.
Setelah Raka menelepon seseorang di kejauhan, ia mendekat pada Kanaya.
"Masih dingin?" Tanya Raka, mengambil duduk tepar di sebelah Kanaya.
"Masiiihh.." jawab Kanaya sambil meniupkan hawa dari mulut ke telapak tangan nya, dan duduk meringkuk.
"Boleh gue peluk?" Tanya Raka sangat berhati-hati.
"Tapi maaf nggak ada niat lain, cuma mau bikin lu nggak dingin. Sampai orang rumah gue datang bawain jaket." Jelas Raka, agar Kanaya tidak salah paham dengan niat baiknya.
"Boleh Ka, boleeh. Terima kasih banyak!" Sahut Kanaya sambil menggigil dan menatap Raka, ia percaya bahwa Raka bukan orang jahat.
Raka menarik tubuh Kanaya, lalu memeluk dengan erat.
Kanaya pasrah dengan kondisi saat ini, karna ia sangat membutuhkan pelukan Raka.
Menunggu beberapa menit di pelukan Raka, akhirnya ada sebuah mobil berlogo bintang tiga sudut yang tak lain adalah mercedes benz memiliki tampilan sporty mewah dan sangat ekslusif di pandang mata, berwarna biru laut yang kanaya yakini mobil itu adalah type AMG GT R, Mercedes Benz seri GT ini merupakan sports car yang pernah di pakai oleh papa nya.
Jadi Kanaya hafal betul apa yang sedang berhenti di depan mata nya.
Kedatangan mobil itu, membuat Kanaya melepaskan pelukan Raka dan kedua nya bangkit berdiri.
"Mobil siapa ini, Ka?" Ucap Kanaya, takut ada penjahat mendekat.
Raka hanya diam, dan tiba-tiba seseorang tersebut keluar dari pintu supir.
Lalu memanggil Raka dan menundukan kepala saat mendekat Raka.
"Ini mobil nya Mas Raka." Sambil menyerahkan kunci pada Raka.
"Terima kasih Pakde, ini motor nya bawa pulang ya. Pakde bawa jaket aku nggak?"
"Bawa mas. Ada di dalam mobil masih di gantung." Ucap laki-laki tua yang di panggil Pakde sambil menunjuk ke arah mobil dengan ibu jari nya.
"Nah, Pakde pake jaket aku. Karna cuaca udah dingin banget." Sahut Raka perhatian.
"Emm, nggak usah mas, kan rumah deket aja." Tolak Pakde dengan sopan dan tak berani menatap mata Raka.
"Pake aja! Tunggu sini, aku ambilin jaket nya dulu!"
"Jangan mas, nanti kalau pak bos tau saya pakai jaket Mas Raka, bisa bahaya malahan..." Pakde mencoba beri penjelasan, asal ketakutan nya.
Raka tetap meneruskan langkah nya, membuka mobil dan mengambil jaket.
"Udah tenang aja! Nanti aku telepon Ayah." Lalu memberikan jaket itu untuk Pakde.
"Aduh Mas, ini bukan nya apa, Pakde malah jadi takut lho Mas." Kata Pakde mengambil jaket Raka dengan perasaan serba salah.
"Pakde, percaya deh sama Raka ya. Pokoknya aku jelasin sama Ayah supaya Pakde nggak di marahin saat pulang, yaa?!" Pinta Raka, sedikit memaksa.
Akhirnya, Pakde pun percaya pada ucapan Raka dan mengikuti yang di perintahkan.
Setelah drama jaket selesai, Pakde pun pergi menggunakan motor yang tadi di pakai oleh Raka.
Sementara Pakde dan bayangan nya semakin menghilang, Kanaya berpikir keras, 'apa maksud Raka berbuat sedemikian ataukah ia sengaja ingin menyombongkan diri dengan segala yang ia miliki?'
***