"Apa yang kalian cari??" Jika harta, kalian salah tempat," kata Anthony dengan sangat jelas menggertak balik para perampok tersebut.
Mereka saling tatap, Anthony masih waspada terhadap gerak-gerik mereka. Karena salah satu dari mereka membawa senjata api.
Aku harus tetap tenang untuk bisa mencari kelemahan mereka, batin Anthony.
"Jangan hiraukan dia!! Cepat geledah seluruh sudut dirumah ini!!" seru ketua dari orang berpakaian serba hitam itu.
Tiga orang dari mereka mengangguk, lalu menyebar ke seluruh ruangan untuk mencari benda berharga. Di rumah Anthony tidak ada televisi, emas, bahkan HP Anthony pun ketinggalan zaman. Yasmini hanya memiliki radio baterai berwarna hitam punya orang dulu-dulu.
Anthony melirik ketika salah satu dari mereka masuk ke kamar neneknya. Sekitar 5 menit di dalam kamar Yasmini, tapi mereka tidak menemukan apa-apa.
Syukurlah!! Uang nenek aman! Batin Anthony.
Mereka semua berkumpul, salah satu dari mereka berkata, "Bos, tidak ada benda berharga sama sekali. Kami hanya menemukan HP ketinggalan zaman seperti ini!"
"Ahh!! Sial!! Ayo kita pergi saja!!" perintah ketuanya.
Mereka pergi dengan tangan hampa, tanpa tahu jika rumah sederhana itu menyimpan uang sebesar 100 juta. Sikap tenang Anthony menyelamatkan nyawa sekaligus harta peninggalan Yasmini.
Anthony tersenyum lega sambil melihat kepergian mereka, dia hanya kehilangan pintu yang biayanya tidak seberapa dibanding dengan uang Yasmini.
"Wahh!! Aku harus memindah uang itu ke tempat yang lebih aman ni!!" gumam Anthony, dengan kejadian barusan memang sangat diperlukan, bank adalah solusi tepat bagi Anthony.
Anthony berjalan menuju pintu, untuk sementara dia hanya bisa menambal pintu dengan bambu sisa buat kandang waktu itu. Setelah selesai memperbaiki pintu, Anthony bergegas mandi.
Di rumah Purnomo, Vanya merasa sudah sembuh. Wajah cantiknya kembali berseri, dia tidak sabar untuk pergi ke restoran agar bisa bertemu dengan Anthony.
Anita masuk ke dalam kamar Vanya untuk mengecek keadaannya, dia melihat Vanya sudah berdiri mengalungkan handuk.
"Vanya, kamu sudah sembuh?" tanya Anita, dia menghampiri Vanya sambil menyentuh dahinya yang tidak terasa panas.
"Sudah Mbak, ni aku mau mandi. Hehehe," sahut Vanya tersenyum.
Anita memeluk Vanya, dia sangat senang melihat keadaannya yang semakin membaik.
"Mbak senang sekali melihatnya. Ya sudah mandi sana!!" kata Anita sambil melepas pelukannya.
"Makasih ya, Mbak. Mbak sudah mau merawatku," ungkap Vanya dengan mata berkaca, dia sudah menganggap Anita seperti ibunya sendiri.
"Iya, tidak usah kamu pikirkan. Dan yang paling penting sekarang adalah kamu sudah sembuh,"
"Buruan mandi sana!! Mbak tunggu di meja makan ya!!" seru Anita.
Vanya mengangguk, lalu dia bergegas menuju kamar mandi. Sedangkan Anita kembali ke dapur untuk menyiapkan hidangan makan malam.
Satu jam sudah berlalu, Anita dan Vanya sudah berada di meja makan. Vanya sudah mengambil piring untuk mengisi nasi sekaligus lauknya.
"Kenapa Mbak? Sepertinya gelisah sekali!!" tanya Vanya sambil menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.
"Aku sedang menunggu mas Purnomo pulang, Vany. Hampir seminggu ini, dia sering pulang terlambat," ungkap Anita.
"Mbak sudah hubungi ponselnya?" tanya Vanya.
"Sudah, Vanya. Dia tidak mengangkatnya, ketika sampai di rumah jika ditanya katanya masih mengemudilah, rapatlah dan apa-apalah ada saja alasannya," jawab Anita.
"Iya mungkin jalanan lagi macet. Mbak, makan dulu saja. Jangan telat makan, nanti sakit lo, Mbak!!" saran Vanya.
Anita menghela napas, lalu dia mengikuti saran Vanya mengambil nasi, nasi yang dia ambil sedikit sekali. Mungkin hanya buat syarat saja agar Vanya tidak kuatir.
Anita sudah makan sesuap dengan malas, dia menguyah tanpa ada rasa karena pikirannya melayang memikirkan Purnomo. Walaupun sifat Purnomo seperti itu, Anita masih mencintainya.
Mas Purnomo kemana ya? Kenapa perasaanku tidak enak? Batin Anita.
Vanya yang melihat keadaan Anita seperti itu, dia hanya menggelengkan kepala.
"Mbak!!! Mbak Anita!!" panggil Vanya.
"Eh!! Iya Vanya? Kenapa? Mas Purnomo sudah pulang? Mana?" tanya Anita berentetan yang sudah kembali dari lamunannya.
"Haduh!! Mbak Anita ini!! Mas Purnomo saja yang dipikirkan. Jangan melamunlah, makan dulu mbak Anita sayang,"
"Mau aku yang menyuapi?" usul Vanya.
"Haha!! Mbak bisa sendiri. Iya ini mbak makan," timpal Anita.
Anita sudah menambah nasi dan memilih beberapa lauk, lalu dia makan sambil ngobrol ringan dengan Vanya. Perlahan pikiran Anita teralihkan, mereka sudah tertawa bersama membahas hal yang mereka sukai.
Anita yang duduk menghadap pintu masuk terhubung dengan ruang tamu, dia melihat Purnomo datang dan berkata, "Aku pulang."
"Mas, Ma ... kan," ucap Anita yang berubah nada yang sebelumnya riang tampak aneh didengar, senyumannya pun hilang ketika melihat Purnomo datang dengan seorang wanita sangat muda bergandengan tangan dengan Purnomo.
Vanya menangkap ekspresi Anita yang berubah drastis, lalu dia menengok ke arah Purnomo dan mendapati dia datang bersama wanita.
Perasaanku jadi tidak enak, semoga hanya pikiran burukku saja. Tapi siapa wanita itu? Batin Vanya.
Anita berdiri, dia berusaha untuk berpikiran positif. Kemudian dia bertanya kepada Purnomo.
"Wanita itu siapa, Mas? Tamu penting kita?"
Pertanyaan yang sama persis dengan batin Vanya, Anita masih menunggu jawaban dari Purnomo. Purnomo sudah mempersilahkan wanita untuk duduk dan masih menggantung pertanyaan Anita.
Duh!! Bagaimana ini cara bilangnya ke Anita agar tidak marah ya? Batin Purnomo.
"Siapa mas?? Aku rasa tidak mengenal wanita itu?? Cepat jawab?" tanya Anita lagi.