Universitas Seni Kota M
"Maaf, sedang apa ya Tuan di depan pintu aula?"
Seorang penjaga yang malam itu menegurnya masuk tampak bingung, bahkan sampai keningnya berkerut, kembali membuat Vian merutuki kelakuannya yang sembrono.
Kenapa ia tidak bertanya dulu kepada warga kampus, minimal penjaga yang ada di depan sebelum masuk dan berlarian bagai orang gila seperti ini.
Bodoh, umpatnya dalam hati.
Untuk menghilangkan rasa malu yang tiba-tiba saja mampir, Vian berdehem dan melihat bergantian antara si penjaga dan pintu yang hampir didobraknya paksa. "Hum, begini. Apakah aula ini kosong? Bukankah sedang ada pentas dari jurusan seni, tapi kenapa ..."
Ucapannya sengaja tidak dilanjutkan, ketika melihat si penjaga mengangguk mengerti dengan gumaman, seakan tahu apa maksud dari ucapan setengah dari pria yang beberaoa malam lalu pernah ditegurnya.
"Oh... Itu, jika yang dimaksud adalah paduan suara, maka Tuan salah tempat. Bukan di sini, tapi di gedung seni pusat kota. Sepertinya, acaranya juga sudah berlangsung dari beberapa saat lalu," jelas si petugas membuat Vian diam-diam mengumpat.
Sial! Padahal, aku ingin melihatnya bernyanyi, batinnya kesal sendiri.
Ternyata ia sudah menghabiskan banyak waktu saat berdiri di depan pintu, benar-benar double sialan.
"Gedung di kota? Begitu Pak?"
"Iya, kalau yang dimaksud pertunjukkan seni dari jurusan musik, maka di sana tempatnya, Tuan."
Penjelasan kedua yang lebih jelas barulah membuat Vian meyakinkan diri, kembali merutuki diri dan memutuskan untuk segera ke sana. "Kalau begitu terima kasih atas informasinya, saya permisi, Pak," sahutnya setelah mengetahui tempat sesungguhnya Aliysia tampil.
"Iya, sama-sama, Tuan."
Setelahnya, Vian kembali ke parkiran yang lumayan jauh dari aula, ia mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi seakan tidak ingin ketinggalan, ketika si bocah memperdengarkan suara kepada semua.
"Ya Tuhan, semog aku belum terlambat," harapnya meminta.
Untunglah jalana kota tidak semacet saat ia pergi ke kampus, tidak ada macet ataupun gangguan yang menjadi kendala berarti. Sehingga kini, ia bisa segera sampai gedung seni pusat kota.
Namun masalahnya, mobil yang ramai karena sepertinya di dalam pun banyak orang membuatnya kesulitan mencari tempat parkir.
Entah kenapa ia seperti sedang diberikan ujian, sudah salah tempat lalu saat ini mencari tempat kosong, yang untungnya ada satu masih tersedia.
Ah! Terima kasih, Tuhan, batinnya penuh syukur.
Ia akhirnya bisa memarkirkan mobil, kemudian memastikan benar-benar terkunci dengan 'bip' terdengar, setelahnya berlari cepat menuju tempat acara dilaksanakan.
Jantungnya berdetak seiring kaki berlari menuju pintu dengan banyak orang berlalu lalang, belum lagi suara musik dan suara indah yang terdengar menggema di koridor, tempat di mana ia saat ini sedang berlari.
Tap!
Dari ujung pintu masuk tempat Vian saat ini berdiri, ia bisa melihat langsung ke arah panggung dimana ada seorang wanita berdiri di depan, sedangkan di balakang ada orkestra yang mengiringi nyanyian.
Vian terpaku, bola matanya bahkan tidak berkedip ketika melihat seorang wanita memakai gaun tanpa lengan yang terlihat sempura membalut tubuh.
Ia hanya bisa terdiam, terpesona dengan visual yang disajikan oleh si bocah, cantik dan anggun dalam balutan gaun berwarna champagne. Lihat, bagaimana saat tangan tersebut terangkat ketika nada tinggi diperdengarkan.
Sepanjang hidupnya, ia tidak pernah menyaksikan secara langsung kegiatan orkestra seperti ini.
Vian jelas bukan orang yang menghabiskan waktu dengan menganggumi setiap suara yang dikeluarkan seorang penyanyi. Namun Aliysia, kenapa wanita itu mampu membuatnya terdiam, terpesona karena keindahan yang didengarnya.
Suaranya bagus, merdu dengan oktaf tinggi yang sempurna.
Namun, sebenarnya yang sedang menjadi masalah bukanlah suara indah Aliysia yang ada di atas panggung, melainkan…
Jantungku, kenapa jantungku ikut berdebar? Ada apa denganku.
Ya, jantungnya lah yang dipermasalahkan dengan penampilan Aliysia yang sungguh memukau di matanya.
Ia seperti bisa melihat efek cahaya di belakang tubuh Aliysia, terdengar berlebihan, tapi itu adalah kenyataannya.
Sebelum pertunjukan
Di dalam hall besar gedung seni pusat kota sudah banyak berkumpul penonton sebagai penikmat seni. Lalu, ada perwakilan dari masing-masing universitas dan tentu saja perwakilan dari universitas luar negeri, perwakilan yang menjadi tujuan utama semua yang tampil.
Ya, tentu saja semua yang akan tampil menginginkan perhatian agar dipilih, itu juga yang diinginkan oleh Aliysia, karena jika sampai perwakilan kampus luar negeri memperhatikannya, bukan tidak mungkin kesempatan besar akan datang kepadanya untuk kuliah di luar negeri.
"Tenang saja, Liysa. Kalau itu sih aku yakin kamu sudah siap. Lagian, kamu 'kan punya gen turunan dari mendiang Tante. Jadi bisa lah, percaya deh," ujar Sasha, menyemangati setelah keduanya kembali bersisihan, kebetulan Aliysia baru selesai dengan sang coach dan hanya tinggal menunggu giliran.
"Hm, semoga saja keberuntungan menyertaiku, Sha," sahut Aliysia, melirik cemas kedepan panggung meski tidak terlihat apa-apa, hanya bisa mendengar gemuruh tepuk tangan yang meriah.
Percayalah, tepuk tangan meriah di sana justru semakin membuatnya gugup.
"Semangat ya, Liysa. Aku yakin kamu pasti bisa, semuanya jika kamu aku percaya," lanjut Sasha kembali menyemangati.
"Aku semangat kok. Aku juga yakin, jika nanti ada kekuatan yang membuat aku mampu mempersembahkan suara paling indah dan akan menjadi yang terbaik," tandas Aliysia, menenangkan dengan janji dan tidak ingin membuat Sasha kecewa kepadanya.
"Okay, Liysa. Kamu pokoknya harus semangat!"
Aku berharap mereka akan memilihku di antara banyak penyanyi yang tampil. Dan juga sebenarnya selain harapan aku dipilih, aku juga ingin sekali penampilan kali ini dia akan datang melihatnya. Tapi, itu tidak mungkin karena yang aku tahu dia hari ini harus terbang ke Jerman untuk bisnisnya.
Aliysia hanya bisa meminta serta berharap dalam hati, mengambil napas dalam dan mengeluarkannya dari mulut secara perlahan, menenangkan diri agar ia tidak semakin panik dibuatnya.
Tidak apa, setelah ini selesai keesokan harinya aku akan bertemu dengannya, aku akan menyusulnya, lanjutnya masih di dalam hati, menahan sedih.
Ia tidak boleh seperti ini, ia seharusnya tahu kalau Vian tidak mungkin memiliki waktu untuk melihat nyanyian yang akan ditunjukan olehnya.
"Huft ... Kamu bisa, Aliysia Tjia-
"Aliysia! Kamu sudah siap belum? Giliran kamu setelah ini."
Panggilan dari coach membuat Aliysia menelan lagi kalimat yang akan diucapkan, padahal ia hampir memanggil nama lengkap pemberian papa dan mama yang sudah lama tidak disebut olehnya sendiri.
Nama keluarga yang tidak boleh diketahui oleh Vian.
"Iya Coach! Aku sudah siap," jawab Aliysia tegas, dengan segera beranjak dari duduk dan mengikuti coach yang kembali memberikan nasihat sebelum ia naik ke panggung.
"Ingat untuk mengatur pernapasan, jangan sampai ada fals."
"Baik Coach, aku mengerti," sahut Aliysia dengan kepala mengangguk, sejenak berdoa kepada Tuhan dan akhirnya menaiki anak tangga menuju tengah, dimana para orchestra bermain.
Bersambung