Chereads / Suddenly Married With Stranger / Chapter 49 - Seakan Menyanyi Hanya Di Depannya

Chapter 49 - Seakan Menyanyi Hanya Di Depannya

Gedung Seni Kota M

Pertunjukan pertama selesai dengan riuh tepuk tangan dari semua yang hadir dan tak lama kemudian, pembawa acara kembali memanggil pengisi acara selanjutnya. Dimana pengisi tersebut adalah Aliysia yang jalan anggun menuju tengah panggung.

Ia memberi hormat kepada sang konduktor dan tentu semua tamu yang hadir di aula, dengan tepuk tangan yang kembali menggema.

Alliysia mengambi napas dalam dengan posisi tangan saling bertaut di depan perut. Ia kembali mengingatkan diri jika ini adalah kesempatan yang belum tentu didapat oleh banyak orang dan ia semakin berdebar, ketika tiba juga akhirnya unjuk kemampuan di depan banyak orang seperti ini.

Meskipun sampai saat ini Aliysia tidak melihat eksistensi orang yang diharapakannya datang, tapi ia harus tetap fokus dan tidak boleh membuat coach yang memberikan kesempatan kecewa.

Ia harus membuat semua terpukau dengan suara yang selama ini menjadi kebanggannya, bahkan sampai menentang sang papa hanya untuk bisa menyanyi.

Mah.... Do'akan Liysa dari sana, batinnya.

Setelahnya, suara alat musik mulai terdengar saling bersahutan dengan sang konduktor yang mengayunkan baton untuk mengatur alunan dari masing-masing alat musik. Lalu Aliysia, memulai dengan nada rendah.

Lagu klasik berjudul Sempre Libera menjadi pilihan, dimana ada permainan naik-turun dari nada rendah ke tinggi, dari selow menjadi cepat yang bersatu dengan musik yang mengiringi.

Aliysia masih menatap depan, sesekali memainkan tatapan dan tangan mengayun saat suara mulai mendayu.

Ia sama sekali tidak melepaskan barang sejenak tatapan, menatap semua penonton dengan bola mata bergulir sampai ke ujung.

Bahkan, ketika ia akhirnya menatap di ujung pintu utama dari anak tangga yang memperlihatkan sesosok pria yang berdiri terpaku di sana.

Netranya seketika melebar, ketika melihat si pria yang terdiam di pintu masuk.

Seseorang yang tidak disangkanya akan datang, justru kini balas menatapnya tanpa berkedip, membuat Aliysia sesaat tertegun, bahkan hampir terdiam jika saja ia tidak segera sadar dengan sekeliling.

Ya, ia hampir kehilangan nada di titik paling fatal, jika tidak segera menarik diri dalam pusara menghanyutkan.

Dengan senyum merekah dibibir, ia kembali mendapatkan nada tersebut dengan tatapan sesekali melihat ke arah pria di sana. Berharap jika apa yang ia lihat bukanlah suatu fatamorgana, tetapi nyata, meskipun pria di sana sama sekali tidak bergerak seperti malam itu, ketika tiba-tiba datang menjemput.

Namun, meskipun pria di sana hanya berdiam diri, tapi sesungguhnya itu cukup membuatnya tahu, jika ini benar adalah kenyataan tanpa ada ilusi sama sekali.

Tuhan mendengar permintaan Aliysia, dengan membuat si paman datang melihat penampilan yang penting baginya.

Padahal Aliysia yakin, jika seharusnya saat ini Vian sedang bersiap dengan penerbangan yang akan membawa ke Jerman.

Ya, benar sekali.

Pria yang berdiri di ujung pintu masuk adalah Vian yang masih terpaku, ketika mendengar nada tinggi dari si bocah yang tampil memukau bukan hanya karena visual tersaji nyata, melainkan karena suara yang mampu membuatnya merinding.

Lagu masih berlangsung, dimana Aliysia lebih semangat menyanyikan lagu yang sudah jauh hari dilatihnya. Bukan waktu singkat untuk mempersiapkan solo, bahkan ia sampai tidak bisa istirahat ketika berlatih di aula bersama pelatih.

Seakan menyatu dengan musik yang satu tahun ini didengar, Alyisia merasa seperti hanya sedang sendiri dengan Vian seorang yang menonton tanpa ada orang lain di sekeliling keduanya.

Ia seperti sedang menyanyi hanya untuk Vian, dengan nada tinggi sebagai akhir dari lagu yang dinyanyikannya.

Aliysia bahkan tidak tahu apa yang terjadi, seakan ia sendiri tidak memiliki kendali atas tubuh sendiri dan ketika suara tepuk tengan menggema, di situ barulah tersadar jika ternyata ia terlalu menghayati lagu, ditambah kedatangan Vian yang membuatnya semakin bersemangat.

Prok! Prok! Prok!

Suit~Suit~

Hingga gema suara tepuk dan juga siulan semangat dari penonton mengakhiri pertunjukan Aliysia, ketika ia mengangkat kedua tangan seakan mengatur nada tinggi yang mampu dicapainya.

Aku berhasil, terima kasih Tuhan, batinnya dengan lelehan kristal menggenang di pelupuk.

Aliysia membungkuk dengan sebelah kaki ditekuk sebagai penghormatan, kepada sang kondoktur dan semua yang mendukung, serta kepada Vian dengan senyum manis yang diulas, sebelum akhirnya meninggalkan panggung dengan tepuk tangan yang berhasil menyadarkan si pria.

Vian sampai tidak sadar melamun, bahkan segera menggeleng kepala dan memutuskan untuk menemui Aliysia.

Ia mengambil napas sambil mengedarkan pandangan, mencari sekiranya tempat ia bisa menemui si istri bocah.

Hingga sebuah getaran membuatnya merogoh saku dan menemukan nama Aliysia terpampang sebagai pemanggil, sepertinya si bocah sadar jika si paman pasti akan menemui setelah selesai dengan pertunjukan.

Setelah mendapat keterangan dan tempat yang ditentukan Aliysia, Vian segera keluar aula menuju sisi lain gedung sesuai petunjuk.

Halaman belakang adalah tempat saat ini keduanya berada. Aliysia telah selesai dengan penampilan yang memukau, yang membuat bukan hanya Vian, bahkan semua penonton yang mendengar suara si wanita muda sampai standing applause atas penampilan tersebut.

Di depan Vian saat ini ada istri kontraknya yang berdiri dengan wajah menunduk, ia tidak tahu karena apa.

Apakah karena ia melihatnya tampil berbeda, sehingga si bocah yang biasanya tidak tahu malu kini tampak malu, ketika keduanya saling berdiri berhadapan seperti ini.

"Congratulations, Liysa. It's so beautiful, I don't even blink when I hear it. (Selamat, Liysa. Indah sekali, aku sampai tidak berkedip ketika mendengarnya)"

Vian memuji Aliysia dengan tulus, ketika memang itulah perasaan yang saat ini ia rasakan. Vian terkesima, hingga ia sendiri tidak sadar berdiri tanpa peduli dengan senggolan di bahu dari para penonton yang lalu lalang di sekitarnya saat itu.

"Thank you, Vian," balas Aliysia dengan wajah masih menunduk, ia belum bisa mengangkat wajah, entah karena apa, tapi yang pasti ia malu sekaligus senang akan kedatangan si paman, itu saja.

Apakah dia tidak ingin melihatku, dari awal hingga saat ini dia masih saja menundukkan wajahnya, batin Vian bingung sendiri.

"Hei! Penyanyi sukses harus mengangkat wajah, untuk menatap masa depan lebih cerah," ucapnya menegur, kesal juga jika hanya melihat rambut yang disanggul cantik.

Vian juga ingin melihat wajah berseri Aliysia, seperti saat bernyanyi di atas panggung sana dan bukannya rambut seperti ini, apalagi melihat wajah berlipat seperti dua minggu yang dilaluinya bersama di bocah.

"Apa sih, kata-katanya bijak sekali," sahut Aliysia berpura-pura ketus, mengalihkan rasa malu seraya mengangkat wajahnya yang memerah.

Tunggu! Apakah dia sedang tersipu? Kalau begitu benar, dia malu karena aku melihatnya. Begitu 'kan?

Vian hanya bisa membatin, menanyakan sesuatu yang tidak akan ada jawabannya sampai kapanpun. Alhasil, ia pun bertanya meski tidak sama seperti yang ada di dalam hati.

"Wajahmu memerah, kamu sakit?" tanyanya dengan Aliysia yang lagi-lagi menolehkan wajahnya ke sembarang arah, menghindari kontak mata dengannya.

Sebenarnya ada apa dengan Aliysia?

Bersambung