Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Wait Me

Dayita_Yaniah
--
chs / week
--
NOT RATINGS
7.7k
Views
Synopsis
Ryan Saputra dipanggil Iyan, siswa SMA Pelita Bangsa Surabaya yang berhasil lolos sebagai delegasi pertukaran pelajar di Ottawa, Kanada. Namiirah, dipanggil Mira siswi Sekolah Kesehatan di Bandung yang sedang magang di rumah sakit. Keduanya bertemu saat nenek Iyan yang tinggal di Bandung kritis di rumah sakit. Keduanya adalah orang yang sama-sama menolak hubungan jarak jauh atau LDR namun, siapa sangka mereka justru terjebak di dalam hubungan itu saat Iyan berhasil mendapat beasiswa ke di MC Gill Montreal, Canada. Charlotte Dunois, teman dekat Iyan di Ottawa saat pertukaran pelajar muncul kembali. Kehadiran Charlotte dengan paras cantik dan rambut pirangnya yang menarik membuat Iyan kembali tertarik. Akankah kisah cinta yang berbalut rindu antara Iyan dan Mira berlanjut setelah kehadiran Charlotte kembali dalam hidup Iyan? Bagaimana nasib Charlotte saat Iyan kembali ke Surabaya dan akankah Mira dan Iyan kembali dipertemukan oleh takdir?
VIEW MORE

Chapter 1 - Ryan Saputra

Ryan Saputra, biasa dipanggil Iyan adalah sosok pemuda yang tampan, cerdas, tinggi dan baik hati. Kecedasannya tidak diragukan lagi, berkali kali ia mewakili sekolahnya dalam lomba olimpiade Matematika sampai ke tingkat nasional, sekitar dua bulan yang lalu dia berangkat ke Kanada dalam rangka pertukaran pelajar. Selain itu ia dikenal dengan sikap anti terhadap cinta. Mereka yang melihat Iyan mungkin merasa kasihan atau bisa berpikir jika Iyan adalah pemuda hebat karena matanya tidak bisa dibutakan oleh cinta, tapi siapa sangka sehebat apapun kamu secerdas apapun kamu jika kamu sudah jatuh cinta maka kamu bukan siapa siapa, Iyan hanya belum menemukan seseorang yang pas di hatinya.

Setelah upacara, siswa SMA Pelita Bangsa lansung berhamburan bak semut yang keluar dari sarang, ada yang kekantin dan ada yang lansung masuk ke kelas.

"Selamat pagi murid-murid," ucap Pak Haris saat memasuki kelas. "Pagi pak!" jawab murid-muridnya dengan serentak. Pak Haris pun mulai mengabsen siswa kelas XI IPA 1. Beberapa murid yang sudah menjadikan terlambat sebagai rutinitasnya pun kesal seribu kali dengan bapak guru yang satu ini, pasalnya semua guru mengabsen di akhir pelajaran, Cuma dia satu-satunya yang mengabsen setelah mengucapkan kalimat sapaan untuk para muridnya. Sikap Pak Haris secara tidak lansung membuat muridnya harus masuk kelas dengan tidak terlambat.

Kini giliran Iyan, namanya berada di urutan ke-24, nama kedua dari urutan belakang. "Ryan Saputra?"

"Katanya kalau bukan lusa mungkin besok udah datang pak dari Kanada," kata Adam, Pak Haris hanya mengangguk. Setelah 90 menit berlalu, bel pun berbunyi pertanda berakhirnya mata pelajaran.

Tepat jam 01.42 WIB Iyan tiba di bandara internasional Juanda dan di jemput oleh pamannya. Iyan bukanlah laki-laki kaya seperti kebanyakan temannya, kedua orang tuanya sudah lama meninggal sejak Iyan berumur 5 tahun karena kecelakaan, sejak saat itu ia diasuh oleh Paman dan Tantenya.

"Iyan, sarapan nak!"kata Tante Iyan,

"iya Tan, tunggu."

"Gimana kemarin di Kanada?'' tanya Paman Ryan.

"Yang pastinya Iyan dapat pengalaman baru lagi," jawab Iyan dengan santai sambil mengunyah bubur ayam yang tantenya beli di ujung lorong sebelum jalan raya.

"Iyan berangkat duluan, yah, Tante, Paman, hampir telat niihh".

"iya, hati-hati di jalan, ya, Nak!" kata tente Iyan

Iyan ke sekolah dengan motor kesayangannya, satu-satunya warisan orang tuanya yang tersisa, sedangkan rumah, bisnis, dan mobil semuanya telah dijual untuk membayar kredit ayahnya di bank setelah kepergiannya yang tiba-tiba. Kira-kira butuh waktu 10 menit untuk sampai ke sekolah. Sesampai di sekolah, setiap mata yang tertuju padanya pun sulit untuk tidak terperanjat.

"Yah, ganteng, keren abiss, lah, pokoknya mana pintar lagi, aduh Iyan" kata salah satu siswi kelas 10.

Style Ryan memang bak anak sultan, padahal kalau persoalan uang juga tidak lebih banyak dari teman-teman kelasnya yang naik mobil pribadi ke sekolah. Bodynya yang tinggi, kulitnya yang putih, gaya rambutnya yang keren, ditambah lagi dengan balutan sweater merah.

"Ih, tambah ganteng aja sih loh pulang dari Kanada, gimana cewek-cewek Kanada? Seru gak diajak main?" tanya Aldo.

"Hallah, lo ma,h kalau cewek, cepatnya bukan main, Iyan belum duduk kali!"

kata Adam sambil menjitak dahi Aldo.

Iyan hanya tertawa kecil melihat kelakuan temannya yang susah akur.

"Silakan duduk pak boss" kata Adam sambil menarikkan kursi untuk Iyan. Mereka pun asik berbincang-bincang dan pak Sum yang mengajar waktu itu sudah memasuki kelas. Waktu istirahat pun tiba, siswa SMA Pelita Bangsa berhamburan, ada yang ke perpustakaan ada yang ke kantin ada yang nongkrong di belakang sekolah. Iyan, Adam dan Aldo memilih ke kantin.

"kantin yuk, laper nih, tadi gak sempat sarapan" kata Aldo dengan muka cengar-cengirnya.

"Emang cuma lo yang lapar, gue juga lah, gak sempet sarapan" kata Adam.

"Ya, udah gak usah banyak ngoceh, yuk, ke kentin, gue tangkis, mumpung gue lagi rindu-rindunya sama kalian" kata Ryan sambil berekspresi ingin mutah.

"Alhamdulillah, emang gak rugi temenan sama Ryan, udah ganteng, pintar, baik lagi. selamat lagi deh, lu" kata Aldo sambil mengusap usap dompetnya.

Sesampai di kantin Aldo lansung memesan 3 porsi mie ayam, sembari menunggu pesanan, Ryan mengotak atik ponselnya, dan tiba-tiba ada pesan masuk dari nomor yang tidak diketahui.

"Nenek di kampung sakit Iyan! Kamu gak mau ke Bandung?" Iyan tidak peduli dengan pesan seperti itu, apalagi dari nomor yang tidak diketahui, "Iyan, Maiya tuh, otw ke sini!" kata Adam.

Iyan hanya memasang flat face, sudah malas dengan tingkah Maiya yang dari SMP tidak henti-hentinya mengejar Iyan, intinya dalam berhubungan itu, siapa yang mendua maka bersiaplah mengemis cinta, 3 tahun yang lalu, Maiya lebih memilih laki laki selingkuhannya dari pada Iyan, dan sekarang entah ke mana perginya lelaki itu, menghilang tanpa jejak dan berlagak lupa dengan sampahnya.

"Sayang kamu datang dari kanada kapan? Kamu tau gak, aku tuh, rindu banget, aku telepon telepon gak pernah diangkat atau jangan-jangan kamu sudah punya cewek lain di sana? Ih, sayang, kamu yah, kebiasaan ditanya kok diam mulu!" kata Maiya sambil duduk berhadapan dengan Iyan.

"Maiy lo itu kenapa sih, manggil sayang, ingat ya kita itu putus 3 tahun yang lalu, kok lo masih gitu-gitu aja, gak beruba-berubah, lupa kalau lo pernah mendua?" kata Iyan dengan dingin, sambil berjalan meninggalkan kantin.

"Huh, lo sih, dibilangin juga apa, Iyan itu udah gak cinta sama lo!" timpal Aldo

Setelah jam sekolah berakhir, ia pun pulang ke rumah.

"Iyan! bangun, paman sama tante mau ke Bandung, Nenek sakit!" kata Tante Iyan dari balik pintu kamar sembari berlalu menuju kamarnya untuk packing. "Mutia coba kamu bangunin kakak Iyan, nak! kayaknya dia belum bangun, ambli kunci dupikat kamarnya di atas rak buku Paman" kata Tante.

"Iya, ibu" kata Mutia dengan muka mengantuk. Satu-satunya sepupu Ian yang dia anggap seperti adik sendiri adalah Mutia, umurnya 10 tahun.

"Kak Iyan, bangun dong, kita mau ke bandung, nih, nenek tiba-tiba sakit!" sambil menggedor gedor pintu, tidak ada respon dari dalam kamar, tampaknya Iyan masih berada di alam mimpi, maka mutia pun terpaksa memakai kunci duplikat milik ibunya.

"Kak Iyan, bangun, kok tidur gini amat sih," kata Mutia sambil menepuk-nepuk pelan pipi kakanya sepupu yang sudah dia anggap seperti kakak kandung.

"Kak Iyan! Bangun!", teriak mutia di telinga Iyan. Iyan pun bangun dengan muka yang siap-siap ingin menerka sepupunya itu, "Nenek sakit, Ayah dan Ibu mau ke Bandung."

Iyan spontan berkata, "Serius?" sambil melihat jam dinding yang menunjukkan jam 02.35 WIB. "Pesawat mana yang terbang ke Bandung jam segini?" tanya Ryan dalam hati.

"Cepet, Kak, ibu sama ayah udah packing."

"Nenek sakit apa?" tanya Iyan.

"Katanya sakitnya kambuh lagi."

Iyan pun buru-buru bangkit dari tempat tidur, sikat gigi dan cuci muka, hanya memakai switer hitam dengan bawahan levis hitam.

"Kapan keluarga di Bandung bilang kalau nenek sakit, Tante?" tanya Ian.

"Baru-baru tante dapat telepon, nenek dilarikan ke rumah sakit lagi, keadaannya sekarat."

Iyan yang mendengar perkataan Tantenya hanya menelan salivanya. "Semoga saja tidak," kata Iyan dalam hati, ia mencoba menepis pikiran negatif yang hinggap tiba-tiba di dalam kepalanya.

Mereka tiba di bandung tepat sebelum subuh dan lansung ke rumah sakit tempat nenek dirawat.

"Ibu gimana, Mbak?" tanya Paman Iyan pada kakaknya.

"Kata dokter, kita hanya butuh berdo'a, sudah sepuluh jam ibu tidak sadarkan diri dan dokter tidak bisa mastiin keadaannya, sebenarnya dua bulan yang lalu, ibu sempat kambuh lagi, tapi setelah rutin minum obat herbal perlahan mulai baikan lagi, terus kemarin pas aku ke pasar tiba-tiba dapat telepon dari rumah, ibu sudah dibawa ke rumah sakit," jelas tante Iyan

Mendengar ucapan tantenya, Iyan teringat dengan pesan dari nomor yang tidak diketahui pemiliknya itu, "Siapa dia sebenarnya, apa mungkin dia Tante Nia?" tanya Iyan.

"Allahu akbar Allahu akbar, Allahu akbar allahu akbar." Adzan berkumandang di ponsel Iyan yang tidur di mushola rumah sakit. Saat ia bangun beberapa orang sudah bersiap-siap untuk sholat di mushola ia pun dengan cepat bangkit untuk mengambil air wudhu untuk ikut sholat berjamaah.