"Halo?"
"Iya, gue di depan rumah lo, nih," kata Aldo melalui telepon.
"Tunggu, gue turun." Iyan mengambil switernya yang tergantung di dinding dan lansung turun ke bawah.
"Iyan, mau ke mana?" tanya tante Nia saat Iyan lewat di ruang keluarga, Mutia sedang asyik menggambar.
"Mau jalan sama Aldo dan Adam tante."
"Oh, iya, hati-hati."
"Iya, tante." Adam pun keluar rumah, ia melihat Aldo sedang berdiri di depan pos satpam yang tidak punya satpam.
"Satpamnya di mana?" tanya Aldo.
"Entah, gue juga ga pernah nanya sama paman, Adam mana?"
"Dia udah nunggu di lokasi, nih, shareloknya." Aldo memperlihatkan layar ponselnya pada Iyan.
"Tiga jam dari sini?" tanya Iyan.
"Iya, ini pantai yang katanya masih belum dikenal banyak orang."
"Serius? Memangnya di Jakarta masih ada tempat yang tersisa dari tangan pejabat yang rakus itu."
"Gak tau lah, kita ikutin aja dulu, Adam bilang lo pasti suka."
"Ya, udah ayo berangkat, nanti keburu malam."
Cara Iyan membawa motor membuat estimasi jalan yang sebelumnya tiga jam menjadi jarak tempuh dua jam. Hingga keduanya pun sampai di lokasi yang Adam maksud.
"Ini? Mana pantainya" tanya Iyan.
"Hem, entah, gue telepon Adam dulu."
Iyan menatap sekelilingnya, ia tidak meyangka Adam membawanya ke lokasi hutan melalui tanjakan dan tikungan yang tajam, dan ujung-ujungnya Iyan hanya menemukan bongkahan puhon tumbang dan tempat yang tidak berpenghuni.
"Gak diangkat, Yan."
"Telepon lagi, masa kita berhentinya di sini."
Setelah mencoba beberapa kali, akhirnya ponsel Aldo terhubung dengan Adam.
"Gue udah di lokasi, nih, lo di mana?"
"Oh, tunggu, gue kira kalian sampainya jam lima sore, ternyata lebih cepat."
"Iya, Iyan kayak orang dikejar polisi bawa motor padahal belum punya SIM."
Iyan menatap Aldo degan wajahnya yang datar, sedangkan Aldo membalas tatapan itu dengan senyum kecil.
"Tunggu, gue dan rombongan menuju ke situ, lebih cepat lebih baik." Telepon pun dimatikan.
"Tunggu, Adam dan rombongan menuju ke mari."
"Rombongan? Rombongan apa?"
"Gak tau, tadi dia cuma bilang rombongan."
"Firasat gue gak enak, sepertinya kita bakal nanjak."
"Ya bagus, dong."
"Masalahnya tadi gue cuma bilang sebentar ke tante gue."
"Nanti bisa kamu telepon lagi."
Setelah menunggu lima belas menit, kelompok motor pun berhenti tepat di hadapan Iyan, ia berusaha mencari Adam dari sepuluh orang yang sama-sama menggunakan masker hitam.
"Yan." Laki-laki paling belakang mengangkat tangannya membuat Iyan tersadar kalau dialah yang ia cari.
"Kita mau ke mana?" tanya Aldo.
"Katanya mau liat pesona Indonesia."
"Iya, tapi perjalanannya sejauh apa, gue gak nyiapin apa-apa sama sekali."
"Lo tenang, besok tanggal merah, gak usah mikirin tugas dan ayo kita huting."
Iyan mengerutkan alisnya mendengar kata huting, hunting sama sekali tidak ada di rencana mereka semua, apalagi dengan rombongan yang banyak ini, fisarat Iyan semakin kuat, sepertinya dia dan rombongan akan nanjak gunung.
Iyan berboncengan Aldo pun mengikuti rombongan, cukup dua puluh menit perjalanan dari lokasi share lokasi yang dikirim Adam sebelumnya, mereka memarkir motor dan menutupinya dengan daun-daun besar ala kadarnya. Betul-betul terpencil, tidak ada suara motor selain suara motor mereka, tidak ada suara ribut selain suara rombongan yang dibawa Adam, yang ada hanya semilir angin yang membentur dedaunan, udara terasa sangat segar di tempat ini namun, Iyan khawatir jika tempat ini langganan begal, habislah dia yang hanya bawa diri dan beberapa lembar uang merah.
Rombongan itu memasuki hutan, orang yang paling depan memegang parang yang tajam untuk menepis semak yang menghalangi jalan.
"Gue curiga, kayaknya kita mau diculik," ketus Aldo.
"Gak mungkin, siapa yang mau beli lo, kalau gue jual?" tanya Adam.
"Iya," balas Aldo dengan ketus.
Satu semak lagi yang dibereskan oleh teman Adam yang berada paling depan dan akhirnya mereka keluar dari dinding semak itu. Mata seketika disuguhkan dengan dataran rendah yang digenangi oleh air, terlihat seperti danau yang kecil, arinya jernih dan dasarnya bebatuan coklat.
"I'ts amaizing," ucap Iyan seketika.
"Kan, apa gue bilang, lo gak mungkin gak suka sama rekomendasi tempat gue."
Tingga di Ottawa selama enam bulan membuat Iyan sama sekali tidak mengetahui ternyata masih ada tempat yang tersisa untuk memanjakan mata di Jakarta yang padat bangunan pencakar langit dan sungai yang tercemari.
"Lo gak pernah bilang, kalau ada tempat yang seperti ini," kata Aldo curiga.
"Lo gak nanya."
"Sejak kapan tempat ini ada?" tanya Iyan.
Adam sedikit heran mendengar pertanyaan Iyan, "Sejak bumi ada," jawab Adam.
"Maksudnya, sejak kapan lo tahu kalau tempat ini ada?"
"Oh, waktu lo ke Kanada gue memang mulai rutinitas baru tiap sabtu sore, nanjak-najak, dan rombongan gue akhirnya bawa gue ke sini."
"Hem, oke lah, gue mau siap-siap dulu," kata Iyan.
"Eh, tapi di sini jaringan internet stabil?" tanya Iyan.
"Noh, lihat tuh, ada pemancar, jelas bagus, lah."
Iyan tersenyum, sepertinya kali ini ia akan video call dengan charlotte.
"Boleh kita video call sekarang?"
"Of course, tapi aku baru bangun, nih, mau sholat subuh dulu."
"Oke, tapi jangan lama-lama, nanti keburu senjanya hilang."
"OMG, sunset?"
"Hem."
"Oke, aku akan cepat."
Iyan tersenyum membaca pesan dari Charl, "Eh, mau nginep?" tanya Iyan.
"Iya, gak liat rombongan lagi pasang tenda?"
"Terus gue sama Aldo nginep di mana?"
"Tenang, lo dan si beken yang satu ini Cuma bawa diri, makanan, tenda, pokoknya gue yang tanggung."
"Gue dibilang beken, kayak lo gak mirip monyet aja."
Baru saja Adam ingin membalas perkataan Aldo, tiba-tiba ponsel Iyan berdering, Iyan menatap Aldo dan Adam bergantian, ia kebingungan harus video call di mana, video call dengan Charl di depan kedua temannya membuatnya menjadi sasaran empuk hasil bacotan dan membuatnya diwawancarai seharian penuh.
"Lo kenapa, angkat, lah," kata Adam yang duduk tidak jauh dari Iyan.
Aldo yang duduk berdekatan dengan Iyan pun tidak sengaja melihat foto perempuan berambut pirang.
"Pacar lo yang video call?" tanya Aldo.
Wajah Iyan seketika pucat, "B-bukan, ini teman gue di Kanada!" ucap Iyan terbata.
Adam pun lansung mendekat, ia penasaran dengan cewek-cewek Kanada. "Angkat, Yan." Dengan sangat terpaksa akhirnya Iyan mengangkat video call dari Charl.
"Ryan, how are you? Sorry, I forgot say that I'm mestr."
"Oh, okay." Iyan menjawab dengan canggung.
Keduanya berbicara dengan bahasa Inggris hingga membuat Aldo dan Adam hanya bisa melihat perempuan rambut pirang itu tanpa memahami apa yang sedang ia katakan. "Cantik, bet," kata Aldo.
"Siapa itu?" tanya Charl dalam bahasa Inggris.
"Dia temanku."
"Oh, boleh aku melihatnya?"
"Tentu." Iyan menghadapkan wajah Aldo dan Adam di layar telepon, keduanya melambaikan tangan dan Charl membalas dengan senyuman. "You very beautifull," kata Aldo dengan pronosesion yang terdengar sangat berantakan namun, Charl sepertinya memahami perkataan Aldo.
"Thank you, nice to meet you."
"Dia ngomong apa, Yan?"
"Senang bertemu lo, makasih pujiannya," balas Iyan pada Aldo.
"Jadi temen lo yang mau lihat pesona Indonesia, dia? Cewek? Lo gak pernah cerita kalau punya teman cewek!" timpal Adam, firasat Iyan benar, setelah teleponnya dan Charl berakhir, kedua temannya akan mewawancarainya habis-habisan.