Chereads / Wait Me / Chapter 2 - Mendadak ke Bandung

Chapter 2 - Mendadak ke Bandung

Salah satu orang yang sepertinya terlihat alim pun maju sebagai imam, Iyan kurang tahu apakah dia imam untuk mushola ini atau hanya salah satu dari keluarga yang orang dekatnya terbaring di rumah sakit ini. Dua rakaat berlansung begitu cepat, di akhir salam Iyan menghabiskan waktunya menyendiri di sudut mushola untuk mendoakan nenek, ibu dan juga ayahnya yang sudah lebih dulu mengahap Ilahi. Jika neneknya juga pergi secepat ini, Iyan akan kehilangan sosok orang yang ia sayangi untuk kedua kalinya setelah kepergian orang tuanya sekaligus.

Iyan masih tidak bisa melupakan saat ayah dan ibunya menelpon lima tahun yang lalu untuk menjemput Iyah di rumah Paman setelah kepulangan orang tuanya dari New York, kedua orang tuanya menelpon untuk memberitahukan bahwa mereka sudah mendarat di bandara dan segera menjemput Iyan di rumah Paman namun, lima belas menit kemudian, ponsel pamannya kembali berdering, bukan telepon dari ibunya Iyan melainkan dari rumah sakit yang menyatakan bahwa kedua orang tua Iyan sedang dilarikan ke rumah sakit lantaran kecelakaan.

Truk hilang kendali datang dari arah yang berlawanan sehingga membuat mobil yang dikendarai oleh kedua orang tua Iya terhempaskan. Mendengar telepon tersebut, paman sudah tidak yakin jika adik iparnya bisa selamat pasalnya dari kondisi mobil yang ia lihat saat menuju ke rumah sakit sudah hancur bagian depannya.

Paman, tante, Mutia dan Iyan pun memasuki rumah sakit, sesampai di depan ICU keduanya pun lansung dihampiri oleh dokter. Kedua orang tua Iyan sudah tidak bisa tertolong, kedunya meningga di perjalanan menuju rumah sakit. Tante Iyan yang mendengar informasi itu pun seketika rebah di kursi, Mutia yang masih berumur lima tahun hanya bertanya-tanya ke mana ibunya sepertinya itu, sedangkan paman dengan cepat menghampiri adiknya, yakni ayahnya Iyan, ia memeluk jenasah adiknya yang sudah tidak bernyawa itu sedangkan Iyan hanya berdiri di depan ruang ICU melihat lengan ibunya yang jatuh dari tempat tidur.

Tante Iyan pun mengampiri Iyan dan mengajaknya masuk, tante Iyan histeris saat melihat jenazah kakak Iparnya dan juga jenazah Irma, ibu Iyan. Momen yang paling tidak bisa Iyan lupakan adalah saat kedua orang tuanya kompak meninggalkan Iyan sendiri.

Air matanya terjatuh tanpa ia sadari, dengan cepat punggung tangan kirinya pun menepis air mata itu. "Jangan dulu nenek, ya Allah," mohon Iyan dalam hati. Setelah ia menutup doanya, tiba-tiba ponselnya berdering, rasa ngantuk yang masih meliputi tiba-tiba tertendang dengan deringan ponsel yang menerakan nama pamannya.

"Halo, Paman, saya di mushola, keadaan nenek bagaimana?" tanya Iyan.

"Kamu sekarang ke kamar inap nomor 8B, nenek sudah sadar."

"Alhamdulillah, oke, Paman, Iyan segera ke sana."

Dengan langkah besar Iyan pun berjalan dengan cepat menuju ke kamar inap yang dia sendiri pun tidak tahu di mana letaknya, rumah sakit di Bandung, jangankan di Bandung bahkan di Surabaya saja Iyan tidak tahu menahu tentang rumah sakit, terakhir ia menginjak rumah sakit lima tahun yang lalu saat orang tuanya kecelakaan.

Langit yang masih gelap membuat koridur rumah sakit terlihat sepi, hanya beberapa orang yang lalu lalang itu pun cleaning servis. Saat Iyan sedang siduk menoleh ke kanan dan kakinya tetap melangkah ke depan, tiba-tiba salah satu pintu ruangan terbuka, perempuan seketika keluar dengan membawa lima laporan, sama sekali tidak menduka akan ada seseorang yang berjalanan dari arah yang berlawanan begitupun Iyan hingga tidak sengaja keduanya bertambakan dan laporan yang ada di tangan perempuan itu berhamburan di lantai.

Tidak tidur semalaman membuatnya sama sekali tidak memperhatikan dan tidak menduga akan ada orang yang lewat di koridor.

"Maaf-maaf!" kata Iyan dengan cepat sambil memunguti laporan yang terjatuh dari tangan perempuan yang ada di ddepannya.

Sedangkan perempuan itu hanya berdiri menatapi Iyan yang sibuk memunguti laporan itu. Ia menggelengkan kepalanya beberapa kali, setelah tidak libur semalamankarena mendapat giliran shift malam ia telah kehilangan jatah tidur paginya karena harus menyusun laporan-laporan itu lagi sebelum makan siang untuk diserahkan ke dokter.

"Maaf, aku sungguh tidak sengaja!" kata Iyan sambil menyerahkan laporan itu ke perempuan yang bernama Namirah, Iyan tidak sengaja melirik sebuat bros nama warna pink melekat di atas dada kirinya.

Mira hanya menatap dengan wajah datar sambil membuan nafas, ia tidak mengatakan apa-apa, mengambil laporan dari tangan Iyan dan meninggalkan Iyan begitu saja. Namun, dengan cepat Iyan memanggilanya.

"Mba, Namira," antara ragu Iyan ingin memanggil dengan namanya lansung atau pakai Mba, pasalnya perempuan itu terlihat seumuran dengan Iyan, wajahnya yang imut dan tingginya yang hanya 160 cm membuatnya terlihat seperti siswi kelas 10.

Mira menoleh ke belakang. "Apa lagi?" tanyanya, terdengar seperti keluhan.

"Aku mau minta tolong, Mba," kata Iyan segan.

"Kamu kelas berapa?" tanya Mira sambil membiarkan pernyataan Iyan melayang tidak terespon.

"Masih kelas sebelas, Mba," jawab Iyan.

"Oh, gak usah panggil, Mba, panggil Mira aja, kita sati tingkat."

Iyan terkejut dalam hati, ia menatap Mira dari atas sampai bawa. "Aku lagi praktek magang."

"Memangnya ada magang kelas sebelas?" tanya Iyan dalam hati.

"Tadi mau minta tolong apa?" tanya Mira.

"Kamar inap 8B di mana?"

"Di balik gedung ini," jawab Mira dengan cuek, ia benar-benar mengantuk setelah pertama kali seumur hidup tidak tidur dua puluh empat jam.

Iyan terlihat kebingungan. "Jalan ke gedung sebelah lewat koridor ini juga?"

"Nggak, nanti kamu metok tembok kalau ngikut kordidor ini, harus putar dulu, soalnya gedung ini sama dedung kamar ini saling membelakangi."

"Putar lewat mana?"

"Belum pernah ke rumah sakit ini sebelumnya?" tanya Mira dengan heran, bahkan ia saat pertama kali menginjak rumah sakit ini pun tidak terlihat sebingung laki-laki yang ada di hadapannya.

"Aku tinggal di Surabaya, pertama kali ke rumah sakit ini, makanya tidak tahu jalan."

Mira menghela nafas, setelah mengorbankan tidur paginya, ia akan menghilangkan waktu istirahatnya beberapa menit demi mengantar laki-laki yang sedikit tampan ini ke gedung inap.

"Ayo, ikut aku," kata Mira, Iyan berjalan di belakang Mira, ia sama sekali tidak tahu kalau menjatuhkan laporan Mira sama dengan mengambil jam tidur paginya.

Di perjalanan menuju kamar inap yang Iyan cari tiba-tiba ponsel Mira berdering. Langkahnya pun terhenti seketika hingga membuat Iyan yang berjalan di depannya pun harus mengerem tiba-tiba.

"Kenapa Anto?" tanya Mira dengan jutek, seolah-olah ia terpaksa mengangkat telepon dari Anto.

"Hem, semalam kamu gak nemenin aku, ternyata kamu tidur di ruang kerja dokter Haris, sudah, aku harus beresin laporan lagi setelah ini."

"Mana bisa, terhabur, mau disusun ulang lagi sebelum makan siang." Bersamaan dengan itu langkah Mira perlahan maju, Iyan yang ada di belakangnya pun juga mulai melangkah.

"Hem, jatuh tadi, ada orang gak sengaja nabrak."

Iyan lansung sadar kalau perepuan yang sedang memipin jalan di depannya ini sedang membiacarakannya.

"Iya, sudah." Telepon pun berakhir.

"Itu gedung B-nya, nomor delapan ada di lantai dua paling ujung," kata Mira sambil menoleh ke belakang melihat Iyan.

"Oh, makasih, ya," kata Iyan kemudian meninggalkan Mira beberapa langkah di belakangnya. Seketika ia menoleh kembali.

"Mira, maaf, laporannya sudah berantakan gara-gara aku."

"Gak, papa, minimal aku harus ngorbanin tidur pagi untuk menyusun ulang," kata Mira tanpa ekspresi.

Iyan tidak tahu lagi harus berkata apa, ia pun meninggalkan Mira dan masuk ke gedung B.

Saat ia masuk ke dalam kamar tempat nenek di kamar, ia seketika di sambut dengan senyuman nenek, senyum yang sudah lama Iyan rindukan. Terakhir ia melihat nenek satu tahun yang lalu, menelpon nenek satu bulan yang lalu saat ia menempuh pertukaran pelajar di Kanada.

"Perasaan nenek bagaimana?" tanya Iyan sambil menggenggam erat jemari neneknya yang dingin dan pucat.

"Nenek selalu senang kalau melihat kamu," jawab Nenek.

Paman hanya melihat ibu dan keponakannya dari jauh, ia duduk di salah satu kursi yang ada di sudut ruangan, Mutia tertidur di kursi sampingnya sedangkan tantenya entah ke mana, Iyan belum melihatnya.