"Iyan di sini, Nek," kata Iyan sambil mengecup punggung tangan neneknya.
"Kapan pulang dari luar negeri?" tanya nenek.
"Kemarin, Nek. Dijemput paman di bandara."
"Kamu di sana enam bulan makan apa? Ada nasi, gak? Pasti gak ada rendang, ya."
Iyan tertawa kecil mendengar perkataan neneknya. "Makan roti, beras ada tapi tidak dibuat nasi seperti di sini, daging banyak tapi tidak dimasak rendang, Nek."
"Loh, masa kamu makan roti tiap hari."
"Hem, sup, banyak makanan beratnya tapi jarang ada nasi," kata Iyan sambil mengangkat kedua bahunya
Satu bulan hidup di Kanada membuat Iyan sempat mengeluh, tiap hari ia harus makan beberapa kali gara-gara selalu merasa lapar, seharian tidak makan nasi harus ia paksa, makan roti tiap hari harus ia biasakan dan bahasa Prancis membuatnya geleng-geleng kepala, ia kira teman-temannya di Kanada akan berbicara bahasa inggris yang merupakan bahasa resmi ternyata sangat jauh dari perkiraan Iyan, ditambah lagi bahasa inggris gaul yang menjamur di sekolahnya, berbicara dengan sangat resmi membuat teman-teman sekelasnya sedikit kagum dan beberapa justu mengetawainya karena Iyan terlihat sangat tegang.
"Oh, tapi, baguslah sekarang kamu sudah pulang, pasti banyak ilmu yang kamu dapat di sana, kan?"
Tinggal di Kanada selama enam bulan membuat Iyan mampu memindahkan satu buku matematika ke dalam kepalanya, satu-satunya yang ia bisa banggakan selama sekolah di Kanada adalah kemampuan berhitungnya yang sedikit lebih baik dibanding teman-teman sekelasnya meskipun banyak rumus-rumus yang asing baginya namun, dengan kemampuan berhitungnya ia bisa mengejar pelajaran matematikan dengan cepat.
"Iya, Nek. Teman-temanku di sana semuanya pintar-pintar," kata Iyan.
Tante Nia dan tente Mia pun masuk ke kamar membawa sarapan. Tante Mia lansung tersenyum dan mengecup dahi nenek yang ia panggil dengan ibu.
"Ibu, bagaimana perasaan ibu?" tanya tante Mia.
"Baik, kamu tambah cantik saja," puji nenek. Iyan yang mendengarnya hanya bisa tersenyum, ia memang mengakui kecantikan tantenya, wajah khas jawa yang ayu.
"Ibu bisa aja." Tante Mia tersenyum.
"Ibu sarapan ya, sebentar lagi ada bubur yang datang untuk ibu," kata Tante Nia.
"Iyan, kamu bawa ini ke pamanmu, sarapan dulu." Iyan mengambil kantongan yang berisi tiga bungkusan yang ia duga bubur ayam dan juga termos kecil yang sudah pasti berisi kopi susu.
***
Melihat kondisi ibu yang sudah membaik dan sudah asyik bercerita, paman Iyan memutuskan untuk pulang sore itu ke Surabaya karena besok dia harus masuk kantor, Iyan dan Mutia juga harus masuk sekolah.
Sorenya mereka berempat akhirnya berangkat ke bandara setelah berpamitan dengan nenek. Iyan, Mutia, keduanya memeluk nenek. Pamannya janji akan datang di bulan ramadhan nanti untuk tinggal lebih lama setelah mengurus cuti.
Mereka sudah berada di pintu gerbang rumah sakit, tinggal menunggu mobil jemputan menuju ke bandara. "Yah, ponsel mama ketinggalan, deh kayaknya." Berselang beberapa detik setelah tante Mia berkata demikian, ponsel pamannya tiba-tiba berdering.
"Ini ponsel Mia kayaknya tertinggal." Suara tante Nia sangat jelas terdengar.
"Iya, dia lagi sibuk nyari di tas, tunggu aku yang pergi ambil."
"Gak usah, Paman, biar Iyan aja yang ambil." Iyan menahan Pamannya yang bersiap-siap menuju ke gedung B.
"Serius kamu yang mau ambil?" tanya tante Mia.
"Iya, tante, Iyan juga ada perlu sebentar."
Iyan dengan lankah cepat pun berjalan menuju ke gedung B, perempuan yang sama dengan tadi subuh kembali muncul di hadapannya dengan wajah yang jauh lebih segar dan "Cantik," kata Iyan dalan hatinya.
Mira memasang wajah yang datar, tanpa senyum sedikit pun. "Mba," panggil Iyan setelah Mira melewatinya tanpa menyapanya.
Mira hanya membalikkan badan tanpa berkata apa-apa.
"Maaf, Mba, yang tadi subuh."
"Gak apa-apa, sudah kubilang jangan panggil, Mba."
"Eh, iya, maaf. Boleh minta nomor ponsel?" kata Iya gugup. Ia berkali-kali menyesali kalimat yang barusan meluncur tidak terkendali dari mulutnya.
Mira membalas dengan tatapan yang tajam membuat Iyan berkali-kali ingin menghapus waktu beberapa menit yang lalu seandainya bisa.
Nomor posel seketika meluncur dari mulut Mira dengan cepat, Iyan yang hanya mendengarnya sekilas hanya mampu menghapal sepuluh deret angka. Dua angka setelah terakhir tidak terbayang di ingatannya.
"Dua angka terakhirnya apa?" tanya Iyan.
Mira sedikit heran, kenapa pertanyaannya hanya dua angka terakhir. "Sembilan, satu angka sebelum terakhir, angka terakhirnya kamu aja yang tebak," kata Mira kamudian berlalu meninggalkan Iyan.
Iyan mendengus kesal, baru kali ini dia diperlakukan dengan gadis Bandung dengan sangat judes, gadis-gadis di sekolahnya bahkan mengemis-mengemis minta nomor ponsel Iyan yang aktif, giliran di Bandung, Iyan yang berubah profesi.
Ia kembali dengan cepat membawa ponsel tantenya dan juga nomor ponsel Mira yang kurang satu angka dan membawanya terbang ke Surabaya.
"Tadi siapa? Aku lihat kamu lagi ngobrol sama laki-laki di koridor," tanya Anto pada Mira.
"Hem, itu, yang kumaksud."
"Oh, lumayan juga, sih."
"Lumayan apa?"
"Lumayan ngeselin wajahnya."
Mira tertawa bersar mendengar perkataan Anto, ia kira Anto akan berkata lumayan tampan atau lumayan keren.
Iyan sampai di Surabaya di malam hari. Tante Mia lansung disibukan dengan mempersiapkan segalanya untuk besok pagi termasuk menyetrika baju suaminya dan baju Mutia, untuk seragam Iyan ia sama sekali tidak pernah membiarkan tantenya menyetrikakan seragam miliknya karena Iyan akan melakukannya sendiri.
Iyan merebahkan badannya di kasur sambil melihat langit-langit kamar, perjalanan singkatnya ke Bandung, pertemuannya dengan Mira, nenek yang sudah perlahan baikan membuat matanya perlahan-lahan tertutup. Celana jeans yang kenakan pun masih terpakai, kaos biru yang ia pakai di Bandung pun belum sempat ia ganti sampi tante Mia masuk ke kamarnya memastikan Iyan.
"Iyan, bangun, ganti celana sama bajumu dulu baru tidur," kata tante Mia.
Iyan seketika sadar mendengar suara tantenya, ia melihat jam yang menujukkan pukul satu malam.
"Ganti baju dulu," pesan tante Mia kemudian keluar dari kamar Iyan. Setelah ganti baju, celana dan cuci muka seketika rasa kantuknya hilang. buku saku berisi rumus-rumus yang telah ia tulis waktu di Kanada pun menjadi pelariannya hingga ia sendiri tidak sadar pukul berapa ia terlelap.
Iyan melihat langit yang tidak terlalu cerah namun, tidak juga mendung. Lama ia menatap langit hingga butiran salju pun terjatuh di tangannya, baju hangat warna cokelat favoritnya sudah melekat di badannya tiba-tiba tangan dengan segelas kopi hangat membuatnya menoleh ke samping.
Perempuan cantik dengan rambut pirang yang sedang mengenakan syal putih tersenyum pada Iyan. Namanya Charlotte Dunois, Iyan tidak pernah menyangka dorongan apa yang membuat orang tua Charl memberinya nama seperti itu, atau mungkin saja Charl lahir dengan rambut panjang yang berwarna pirang hingga namanya Charlotte Dunois, persis dengan anime rambut pirang kesukaan Iyan, satu-satunya teman yang paling memahami Iyan termasuk memahami kepercayaannya. Charl merupakan segelintir orang yang beragama Islam di Kanada, satu-satunya yang Iyan kenal dan bisa ia andalkan untuk urusan makanan yang halal.
Di tangan kirinya, setangkai bunga mawar merah yang tidak lagi berduri ia berikan pada Iyan.
"For me?" tanya Iyan.
"Of course, for who else?" jawab Charl sambil melihat orang-orang sekelilingnya yang tidak mungkin ia berikan bunga.
Iyan tersenyum juga heran, untuk pertama kalinya ia mendapat bunga dari perempuan.
"Thank you, it's like a dream."
Charl hanya tersenyum mendengar perkataan Iyan. Alarm yang berbunyi membuatnya seketika sadar. Kelopak matanya terbuka dan ia sadar ternyata salju, bunga mawar merah, dan Charl hanya mimpi.