Sany melihat Damian yang bersedia memasuki toko penjualan gembok tersenyum, lonceng yang berada di atas pintu toko selalu berbunyi jika ada pengunjung atau pembeli yang masuk. Sany melambaikan tangannya memanggil Damian agar segera mendekat ke arah mereka.
"Kak lihat, lucu ya warna gembok ini. Untuk Kakak warna biru, kakak harus menuliskan kata- kata pengharapan Kakak di sana."
Damian yang mendengarkan permintaan Sany hanya mendengus mendengarnya, baginya permintaan Sany masih saja tidak masuk akal dan nalarnya. Demi melihat wajah bahagia adiknya, akhirnya Damian mengangguk setuju.
Mereka terkekeh melihat pasangan yang berada di samping mereka. Wanita itu membujuk kekasihnya itu agar mau membeli gembok itu juga. Wajah pria itu terlihat masam, persis sama seperti Damian.
"Come on baby, just this once. Oke? Please."
Pria itu akhirnya mengalah dan menganggukkan kepalanya. Sany dan Chika segera ke kasir untuk membayar gembok yang mereka pegang. Antrian masih panjang, sehingga Damian yang tidak sabaran menunggu mereka di luar.
Begitu giliran mereka membayar gembok itu, seorang pramuniaga, membungkukkan kepalanya ke arah mereka.
"Annyeong hasimnika. Mueoseul dowadeurilk kkayo?"
Walaupun Sany tidak memahami maksudnya, dia yakin pramuniaga itu menanyakan apa yang dia bisa bantu.
"Yes, I want to pay for this padlock."
"Gamsahamida."
Pramuniaga itu kemudian mengambil ketiga gembok itu dan meletakkannya di mesin scan dan mengeluarkan sejumlah angka yang harus kami bayar. Sany segera mengeluarkan Won di tasnya dan membayarnya. Korea Selatan memiliki mata uang Won.
Pramuniaga itu mengucapkan terima kasih dengan senyuman lebar. Sany dan chika segera meninggalkan toko itu. Sany memandang Damian yang duduk di sebuah kursi, di sampingnya terdapat beberapa pohon besi untuk menampung jutaan gembok yang dipasang oleh muda – mudi yang lagi pacaran.
"Lihat Cha, indah ya pohon itu. Kita berfoto dulu di sana."
Sany segera menarik tangan Chika dan mereka mulai mengambil foto selfie berdua. Damian yang melihat mereka hanya menatap malas. Selain di pohon besi itu di sepanjang pagar besi juga dipadati jutaan gembok beraneka warna, dan gembok itu penuh dengan tulisan – tulisan dari berbagai bahasa.
"Lihat Cha, tulisannya 'Love forever', ini ada lagi. Kamu bisa membacanya, Cha?"
Sany memperlihatkan gembok warna merah yang ada ditangannya dan meminta Chika membaca tulisan yang ada di gembok tersebut.
"Tulisan dari mana itu? Ngak bisa baca, ah."
Chika menggelengkan kepalanya. Keseruan mereka membaca gembok membuat Damian merasa bosan.
"Ayo dicepatin dong masangnya, mau nunggu apa lagi. Aduh pusing ya menghadapi ABG seperti kalian," ejek Damian dengan kesal.
"Sebentar dong Kak, kita masih belum nulis gemboknya sama sekali."
"Iya dicepatin ah, bosan. Jangan kelamaan".
Damian kini menguap memperlihatkan betapa bosannya dia sekarang, tetapi Sany tidak memperdulikannya sama sekali. Mereka tidak menyadari ada seorang pemuda yang sedang memperhatikan Chika dan Sany dengan tatapan tajam, matanya terus saja mengikuti pergerakan mereka. Pemuda itu sengaja berdiri di tempat yang tidak terlalu menarik perhatian. Bibirnya bahkan tidak tersenyum sama sekali, bahkan raut wajahnya terlihat sangat kesal.
"Cha diatas masih ada lagi gemboknya."
Sany menunjuk ke arah dek Menara, di sana juga mereka melihat gembok yang jutaan banyaknya. Warna – warna yang cerah menambah keindahannya. Lampu – lampu yang dipasang juga sangat terang. Sehingga mereka seperti tidak merasakan cahaya gelap malam sama sekali, ketika mereka melihat ke arah perkotaan baru mereka menyadari penguasa malam telah berkuasa atas bumi, lampu- lampu kota kini menyinari kota Seoul. Sangat meriah dan indah sekali.
"Tapi sebelum itu kita harus menuliskan dulu pengharapan kita, baru kita akan memasang gembok ini."
"Kak ini punya Kakak, Kakak mau tulis apa di gembok ini?"
Damian mengambil gembok itu, dan tersenyum dengan lebar. Dia kini tahu apa yang akan ditulisnya.
"Kalian mau kemana memasang gembok ini?"
Sany menunjuk ke arah dek Menara.
"Untuk apa berjalan sampai jauh ke sana? Apa tidak sebaiknya disini saja. Kan lebih dekat?" tanya Damian dengan keheranan.
"Ngak ah Kak, semakin jauh semakin bagus."
"Lho memang ada peraturan begitu?" tanya Damian dengan bingung. Damian baru kali ini mendengarnya.
"Ya nga, lah Kak. Itu kan peraturan Sany sendiri."
"Ya sudah kalian kesana saja duluan, Kakak disini saja."
"Sany lihat punya kakak ya, Kakak tulis apaan sich?"
Sany kini penasaran dan memandang ke arah Damian, tetapi Damian melotot ke arahnya dan mengusir Sany berlalu dari hadapannya.
"Jangan kepo ah, sana urus urusan kamu sendiri."
"Lho tadi tidak suka sekarang pakai acara mengusir segala."
Sany yang jengkel melihat kakaknya menjulurkan lidahnya dengan kesal. Damian segera melotot memandang ke arah Sany.
"Ayo Cha kita cepat pergi, nanti harimaunya jadi ganas," ejek Sany lagi.
Chika segera mengikuti Sani menuju ke dek menara. Area itu terlihat sepi jadi sebaiknya mereka ke sana. Pemuda tadi juga mengikuti mereka secar diam-diam dan memperhatikan dari jarak jauh.
"Sejak kapan ini dibangun Sany? Apa kamu tahu? Soalnya ini merupakan salah satu daya tarik wisata, keren abizz dech."
Chika memandang sekelilingnya dengan kagum dan warna gembok yang sangat mencolok menambah daya tarik sendiri.
"Saya kurang tahu sich kapan mulainya, cuma gembok cinta atau love lock ini merupakan daya tarik sendiri."
"Mengapa namanya Namsan Tower?" Chika penasaran dengan Namsan Tower.
"Namsan tower ini merupakan menara tertinggi yang dibangun di atas Gunung Namsan. Menara ini sangat besar lho Cha. Ada ruang observasi, museum, toko souvenir. Nanti kita ke sana ya, kemudian ada restoran, kalau aku tidak salah dibangun pada tahun 1969 dan selesai dua tahun kemudian. Namsan Tower merupakan menara gelombang radio pertama di Korea, yang menyiarkan radio dan televisi di Seoul. Keren ya."
"Tahu ngak yang lebih kerennya lagi dulu pernah ada beberapa drakor yang menampilkan Namsan Tower, seperti My Love From the Stars. Pernah dengar ngak?"
Chika menggelengkan kepalanya, karena dia sibuk bekerja paruh waktu untuk memenuhi biaya sekolahnya. Chika tidak mungkin mengharapkan biaya dari nenek yang bergantung kepada uang pensiunnya sendiri. Nenek adalah pensiunan guru. Chika sudah yatim piatu sejak dia berumur 8 tahun, kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan. Hanya nenek satu – satunya keluarga yang tersisa. Kini nenek sudah meninggal, karena penyakit gula yang dideritanya menyebabkan nenek sakit gagal ginjal. Kini Chika hanya tinggal sebatang kara.
"Kamu tahu ngak Cha, kalau turun salju suasana di sini rasanya sangat berbeda dari sekarang."
"Wah, asyik dong. Soalnya saya belum pernah melihat salju sekali pun."
"Gimana mau lihat salju? Keluar negeri juga baru pertama kali ini. Hidup saja pas – pasan, tetapi aku tetap bersyukur karena aku masih bisa menikmatinya sekarang," pikir Chika kembali.
"Ayo ke sana Cha."
Sany menarik tangan Chika segara ke menara, Chika yang mengikutinya agak terseret karena jalan Sany yang cepat. Sany penuh semangat ingin memasang gembok tersebut.
"Cha Kamu disini saja, saya di sana ya. Kita masing – masing nulis apa yang mau kita buat. Supaya tidak intip – intipan ya."
Tanpa harus menunggu persetujuan Chika, Sany meninggalkannya begitu saja. Chika hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah Sany yang kadang kala seperti bocah SD.
Sany yang jaraknya jauh dari Chika tersenyum penuh misteri, ada ide yang berkelebat di kepalanya dan dia tidak mau Chika mengetahuinya. Sementara pemuda yang menguntit mereka juga berniat menghampiri Chika, wajahnya yang tidak tersenyum sama sekali menunjukkan dia akan melakukan sesuatu terhadap Chika.
"Awas kamu, ya!" pikirnya dengan geram.