Chereads / ABOUT HALF / Chapter 5 - Bab 5 - Antara Hujan dan Duka

Chapter 5 - Bab 5 - Antara Hujan dan Duka

Antara hujan dan duka, mereka sering berbatas hanya sebesar benang. Merangkai kaitan tanah lapang yang kosong kemudian meliput berbagai jenis duka di setiap lereng di bawahnya. Mereka mendatangkan tangis. Kemudian akan menimbulkan sesak yang begitu dalam sebab guyurannya.

Setiap kali hujan dan duka jatuh, yang diperlukan hanyalah sebuah kaki yang melangkah lebih jauh membawa tubuh beserta amukan beban yang terus dijatuhi untuk lebih berat. Kaki itu akan membawa berlari menyerah pertahanan diri atas sejauh apa ia sanggup bertahan. Dan kaki itu pula yang akan menjadi tempat dimana titik yang ditinggalkan bersama jejak akan menjadi ketiadaan sebab kikisan hujan sehingga dia tahu jalan mana akan ditempuh ketika menjumpai jalanan yang mirip.

Tiga hari berlalu dalam sunyi di Glasga. Tidak banyak hal yang terjadi. Padahal sudah jelas bagaimana riuhnya muka bumi terhadap skandal yang tengah menimpah Jina. Perempuan itu malah dipaksa untuk tidak ikut campur atas segala hal yang tengah terjadi di atas nama baiknya.

Jina tidak mengindahkan. Dia masih membaca dan mengikuti semua berita yang melibatkan namanya. Dia juga tahu jika Rebecca—istri dari pria di dalam video itu sekaligus teman sesama model dengan Jina—tampak juga turut memainkan peran dengan mengakui bahwa suaminya memang memiliki perasaan diam-diam kepada Jina.

Tidak ada kata yang menjurus untuk membenarkan bahwa Jina dan pria itu bersama dalam video syur itu. Rebecca hanya berkata bahwa dirinya sudah mengajukan cerai sebab sang suami yang terus bertingkah. Lucunya semua orang di muka bumi membesarkan dengan mengatakan tuduhan bahwa Jina sungguh bersama dengan suami temannya.

Buruknya lagi, ketika Jina diam-diam mendengar percakapan Shan dan Cathrin melalui ponsel, dia mendapati bahwa agensi berencana membuat semua skandal itu tampak nyata seperti yang biasa mereka lakukan ketika media membuat berita perkencanan Najina dengan beberapa pria.

"Katakan kepada mereka jika aku memutuskan kontrak dengan agensi. Jadi hentikan semua rencana untuk membuatku menjadi seorang pelacur!" seru Jina masuk dari luar pintu yang sontak membuat Shan terkejut bukan main.

Seseorang yang memiliki memar duka, selalu ingin menuju jalan yang berbeda alih-alih bertahan pada akhir yang sama. Padahal lebih baik melalui jalan yang sama dengan menjumpai berbagai lubang yang sedikit berbeda daripada harus memulai semua dari awal dengan akhir yang tidak diketahui.

Jawabannya sangat sederhana. Sesederhana membuka mulut. Bahwa seseorang yang memiliki memar seperti itu juga membutuhkan sebuah harapan baru agar mampu menyudahi semua duka yang terus terulang dengan sama.

"Aku setuju untuk itu. Tapi tidak semudah itu, Kak," ucap Shan membalas. "Kau akan lebih banyak kehilangan uang karena mengajukan pembatalan kontrak."

"Aku tidak perduli. Aku hanya ingin hidup normal."

Membicarakan hidup normal, tampaknya menjadi lagu yang jauh dari telinga Jina. Beberapa waktu yang lalu menghardik sebuah pemandangan yang aneh dengan mata telanjang, seketika semua hal itu sirna dalam batas yang tidak terjangkau. Tidak ada lagi penampakan aneh seperti semula. Pemandangan sosok tinggi dengan wajah paling rupawan itu menjadi penglihatan aneh terakhir yang Jina lihat sebelum semuanya tiada.

Glasga, kota yang sunyi dan jauh dari peradaban. Terletak di jajaran tanah lapang yang cenderung datar dengan jarak antar rumah yang terbilang sangat jauh. Tidak banyak hal yang Jina lakukan selain berdiam diri dengan buku bacaan serta telinga yang tersumpal earphone tanpa kabel dengan satu lagu yang selalu diputar sama setiap saatnya tanpa merasa jemu atau bosan.

"Apa yang akan kau lakukan jika kau membatalkan kontrak dengan agensi?" tanya Shan yang membuntuti langkah Jina menuju ke halaman belakang rumah.

"Aku akan beristirahat. Baru akan memutuskan melakukan apa ketika merasa sudah cukup istirahat," jawab Jina dengan santai.

"Kau pikir kau sungguh akan bisa istirahat setelah itu?" tanya Shan lagi dengan wajah yang mengeras.

"Tentu saja," jawab Jina dengan enteng. "Aku hanya perlu tidak bekerja lagi dan menikmati waktu luang."

Shan mentertawakannya jawaban Jina dengan begitu kencang. Seolah jawaban yang berupa rencana sederhana Jina adalah hal yang sangat konyol bagi pria itu.

"Kau sungguh berpikir jika kau bisa beristirahat setelah semua ini?" Wajah pria itu kemudian berubah mengeras dengan tatapan yang sekali lagi tajam menghujam diri Jina penuh rasa frustasi. "Kumohon sadarlah, Kak! Ini bukan negeri dongeng."

"Lalu menurutmu haruskah aku sekali lagi berperan sebagai seorang pelacur?" tanya Jina dengan tajam menatap ke arah sang manager. "Katakan padaku!" bentak Jina. "Apakah aku harus terus menuruti semua hal yang diberikan media dan agensi?"

"Bukan begitu," jawab Shan terlihat kebingungan atas situasi yang tengah di hadapi.

"Lalu apa?" sergah Jina dengan cepat, masih begitu tajam menyipit pandangan. "Apa yang kau inginkan dariku?"

"Aku juga tidak tahu." Shan menggusar rambut bro flow miliknya ke belakang tampak frustasi; rambut berwarna hitam pekat dengan panjang sedang yang dibiarkan berantakan. "Aku hanya tidak ingin kau banyak kehilangan."

"Jadi kau lebih perduli dengan berapa banyak aku akan kehilangan uang daripada bagaimana perasaanku sekarang?" Kekecewaan tampak jelas menguasai diri Jina begitu berkata demikian. "Apa kau sama sekali tidak perduli denganku, Shan?"

"Jika kau kehilangan semua uangmu, kau akan hidup seperti apa?" balas Shan masih dengan intonasi yang penuh ketegasan. "Di dunia ini orang tidak akan bisa hidup tanpa uang. Apakah kau tahu itu, Kak?"

"Uang dan asetku masih cukup untuk membayar semua pinalti termasuk pesangonmu dan Cathrin. Jadi kau tidak perlu khawatir aku tidak akan bisa membayar semua itu."

"Itu tidak akan cukup!" bentak Shan dengan lantang. "Kau lupa bagaimana liciknya bos sialanmu itu? dia akan membuatmu kehilangan semuanya jika kau tidak menuruti permainannya!"

"Aku lebih baik menjadi pelacur sungguhan dengan tidur dengan semua pria yang mau membayarku daripada harus terus berpura-pura dan menjadi bualan dunia," tegas Jina dengan lantang.

Siapapun tidak akan pernah tahu bagaimana lelahnya hidup di dalam sebuah kurungan kaca seperti Jina. Petakan kaca yang sudah retak dimana-mana dan hanya menunggu waktu saja untuk datangnya kehancuran yang tidak diketahui sebagaimana dahsyatnya. Tidak ada siapapun yang bisa membantunya keluar dari dalam kurungan itu karena alih-alih membantu semua orang hanya akan bisa menonton dan menunggu kehancuran diri Jina. Bahkan termasuk Shan ataupun Cathrin yang tidak akan melakukan apapun untuk membiarkan Jina keluar.

Karena itu Jina ingin mencobanya; keluar dari sebuah duka jalan lama yang terlalu sering ia lalui sampai membuatnya merasa begitu muak dengan setiap celah yang ada.

Jina sungguh ingin hidup normal. Tidak perduli akan sesulit apa dia tidak punya uang nanti. Atau sesulit apa pendapat orang kepadanya. Jina hanya ingin tinggal jauh dari kota itu dan pergi menuju tempat sunyi yang tidak tersentuh oleh sebuah peradaban.

Dan mungkin, dia akan bisa menemukan kedatangan sosok yang akan mengatakan, "Kau sudah bekerja keras. Tidak apa untuk berhenti."

"Lalu apa bedanya semua itu?" balas Shan setelah beberapa saat terdiam. "Pada akhirnya semua itu memiliki akhiran yang sama, pelacur."

"Aku tidak perlu merasa menjadi korban jika aku memang seorang pelacur. Itu bedanya!" teriak Jina sekali lagi meliput rasa kecewa dan amarahnya ke dalam tenggat yang lebih dalam. "Aku tidak perlu merasa terluka atas tuduhan orang-orang karena aku memang menjadi seorang pelacur. Tapi aku tidak, dan itu sangat menyakitkan, Shan."

Satu tetes air mata Jina jatuh begitu saja pada pipi kanannya. Dengan cepat perempuan itu menyekanya kemudian berusaha mengendalikan dirinya.

"Apa kau pernah sekali saja mencoba memahami perasaanku?" tanya Jina kepada Shan.

Pria itu tampak meluruh ke dalam kegelapan pikiran. Menghentak diri untuk menemukan sebuah petaka atas ucapan yang diyakini telah sepenuhnya melukai diri sang kakak.

Sejujurnya Shan tidak tahu harus bagaimana. Kenyataan bahwa semua hal yang diusahakan untuk menjadi hal baik bagi Jina hanya akan berakhir pada petaka yang lebih besar. Seolah seharusnya Shan tidak perlu memikirkan dan mengusahakan apapun untuk Jina lalu membiarkan takdir kehidupan perempuan itu menggerogoti waktu menjadi ketiadaan.

"Kenapa kau begitu membenciku?" tambah Jina.

"Aku tidak membencimu!" tandas Shan dengan penuh ketegasan dan kejujuran.

"Kau membenciku!" sergah Jina dengan intonasi yang kembali mengeras. "Sejak dulu kau selalu membenciku."

Shan diam beberapa saat. Jatuh ke dalam luasan kelam yang menelan dirinya. Pria itu kemudian menegakkan pandangannya untuk jatuh menatap Jina.

"Aku pasti akan bersyukur jika aku bisa membencimu karena aku memang sepatutnya harus membenci dan meninggalkanmu," ucap Shan. "Sayangnya, aku tidak memiliki kuasa untuk perasaanku. Tapi suatu hari aku bersumpah akan membalas dendam kepadamu."

Dan dalam bentangan asa bagi mereka yang berduka, sebuah pertahanan diri memanglah yang paling utama dalam pijakan langkah yang bergerak. Di sana, hanya diri sendiri yang memang kuasa untuk menyelamatkan diri sendiri.

***