Dahulu ketika bumi sedang mendapati keadaan yang genting dan tidak seimbang yang menyalahi ketetapan bangsa langit sebab bangsa iblis kaum pengkhianat sedang berusaha memporakkan melalui darat, laut dan udara, Ruby akan segera turun ke bumi dan memburu para iblis tersebut untuk menjalankan tugasnya sebagai dewa pelindung bumi.
Suara gulungan ombak yang terdengar semakin besar bersama bentuknya yang menyingkap banyak titik menerpah pada pesisir dan menciptakan jarak terjang yang sangat jauh bersama desiran. Angin yang terdengar sangat lebat daripada biasanya tampak hadir bersama dengan mendung tebal nan gelap yang menutupi hampir seluruh wilayah bagian utara yang sangat dingin dari bumi ini.
Berbagai jenis burung tampak berterbangan ke atas langit kemudian berhenti pada titik yang dirasa aman sebab angin yang terlalu kencang untuk sayap kecilnya berterbangan. Para anjing tampak menggonggong dan saling bersahutan. Sekelompok burung gagak tampak menderu ke atas langit menyajuk seolah menjadi sebuah pertanda. Serta manusia yang telah meninggalkan daerah ini menuju tempat yang lebih aman begitu pemerintah setempat mengeluarkan peringatan.
Tapi lihatlah kali ini. Dunia dan semesta telah berubah.
Ketika bangsa iblis penghancur dengan sengaja menjatuhkan permainan ke atas bumi dalam bentuk badai dan angin topan di seluruh wilayah utara, tidak ada lagi bangsa langit yang mencoba menghentikan. Seolah dalam ketetapan langit mereka membiarkan semuanya bertindak menciptakan skema kehidupan masing-masing.
Dan tentunya, Sonneillon masih menjadi sang pengamat atas kejadian seperti ini yang terus berulang. Baik dulu ataupun sekarang.
Duduk di atas tebing tinggi yang terletak tepat pada bibir lautan dan menampilkan seluruh kejadian penuh dengan detil yang lengkap. Tidak melakukan apapun, hanya duduk sembari menatap setiap sudut tempat yang menyisakan ingatan atas jejak Ruby dahulu.
Seolah dengan menyusuri jejak yang ditinggalkan Ruby mendatangkan wujud perempuan itu dengan nyata di hadapannya.
"AAAHHH!"
Teriakan itu cukup kuat untuk sanggup terdengar pada telinga Sonneillon. Rasa terkejut sedikit menguasainya begitu menyadari jika masih ada manusia yang bertahan di tempat ini. Tapi tidak ada ketertarikan untuk menggodanya, Sonneillon hanya datang ke tempat itu untuk menikmati waktunya sendiri.
"Katanya keberadaan Tuhan ada di mana langit dan lautan sedang menyatu dalam satu titik temu. Katanya Tuhan ada di sepanjang mata sanggup melihat jauh ke lautan. Aku sudah di sini, aku sudah melihat-Nya lagi, tapi kenapa kau masih tidak mengabulkan keinginanku?!"
Kembali suara itu masuk ke dalam pendengaran Sonneillon. Teriakan yang berisi penuh dengan kefrustasian atas keberadaan Tuhan-nya. Seolah Tuhan yang dimaksud sungguh berada tepat di depannya untuk menerima keluhan dengan mudah.
"Aku lelah hidup!" teriaknya lagi.
Sejenak Sonneillon terdiam. Teriakan itu mungkin puncak sebuah rasa frustasi yang terdengar sangat menyakitkan dikeluarkan langsung dari dalam hati. Teriakan yang begitu keras seolah rasa frustasi itu adalah bentuk paling dalam yang telah tertahan berabad-abad tahun.
Kediaman Sonneillon bermakna lebih pedih, bukan karena atas rasa frustasi yang tertahan berabad tahun melainkan ketidaksanggupan dirinya untuk melakukan hal yang sama layaknya manusia itu.
Sejurus mata Sonneillon bergerak mencari keberadaan manusia itu. Lalu dihentak pada kenyataan bahwa pincingan matanya harus terbelah sebab menyadari sosok yang tengah berdiri di bibir pantai.
Seseorang yang sudah dua minggu lebih tidak ditemuinya sejak kejadian di Britania waktu itu. Seseorang yang pergi meninggalkannya setelah menegaskan penolakan yang menciptakan perasaan hampa di dalam hatinya. Sekaligus seseorang yang hadirnya menciptakan pergolakan yang jauh lebih besar di dalam kehidupannya.
Itu Najina.
Pemilik raga Ruby yang begitu dicintai oleh Sonneillon.
Tengah berdiri menerima terpahan angin kencang dalam balutan baju tipis yang dengan mudah diterbangkan oleh angin. Rambutnya sangat berantakan dan tampak semakin buruk. Perempuan itu tengah berjalan menerjang ombak besar yang mengikis pesisir untuk menuju ke dalam gulungan ombak.
"Aku ingin mati!!" teriaknya lagi, bersama dengan air mata penuh kesedihan yang menyakitkan jatuh dari pelupuk matanya.
Ombak sontak datang untuk menerjang tubuh Jina. Membuat tubuh lemah itu sejenak tidak bisa tertahan sebab gulungan besar yang menjatuhi tubuhnya.
Entah mengapa dan untuk apa, tapi Sonneillon meraih tangannya. Menarik perempuan itu dan menahan tubuhnya agar tidak digoyahkan oleh gulungan air besar yang menerpah tubuh.
"KAU GILA!!" bentak Sonneillon, dengan sangat amat keras.
Ombak yang membumbung tinggi menerpah tubuh sejenak menciptakan ketidaksadaran pada diri Jina. Bentakan yang terlampau menggemparkan pendengarannya terdengar sangat jelas. Namun belum ada kesadaran yang membawa perempuan itu kembali.
Hingga ombak menarik diri dalam bentuk ketenangan yang sangat berbeda dengan gulungan sebelumnya, kesadaran mulai mengisi otak perempuan itu. Hanya pandangan kosong penuh keterkejutan dan kebingungan yang Jina wujudkan dari binar manik matanya begitu melihat bahwa ada orang yang dikenalnya berada di hadapannya.
Sejenak Jina jatuh dalam sihir yang hadir melalui hentakan waktu yang singkat, kemudian keinginan yang nyata mengisi relung hati dan menyita seluruh kesadaran perempuan itu.
"Lepaskan aku!" Jina berusaha melepaskan lengannya dari cengkeraman kuat pria itu. "Aku ingin mati!" lanjutnya.
Sonneillon segera melepas rengkuhannya begitu mendengar kalimat perempuan itu. Segera Jina berjalan dengan terseok menuju ke dalam air lagi. Hanya saja, tidak ada ombak besar seperti semula. Hanya ada perairan tenang tanpa suara gemuruh.
"Kau ingin mati?" tanya Sonneillon. Jina menoleh ke belakang menatap ke arah pria itu dengan rasa penasaran. "Biar kubantu!"
Sejurus suara gemuruh terdengar kencang bersama dengan bunyi aneh dari dalam lautan kemudian membuncah dalam bentuk ombak yang sangat amat besar dan tinggi berjalan menggulung diri menuju pesisir.
Hanya dalam satu kedip, air yang sangat besar mengguyur dan menarik tubuh Jina membuat tubuh perempuan itu gelagapan. Ombak itu berusaha menarik Jina ke dalam dan membawa perempuan itu dalam titik gelap yang tidak terlihat. Tubuhnya terombang-ambing dalam air. Dadanya seakan sesak karena kesulitan bernapas dan matanya tidak bisa melihat hal apapun.
Sementara sang Sonneillon yang berdiri tidak begitu jauh dari posisi Jina semula, dia tidak goyah sama sekali. Tubuhnya masih tegak berdiri tanpa dihentak dalam terombang-ambing satu inci pun. Termasuk juga dengan pandangan matanya yang masih berfokus dalam menghardik ke arah perempuan di sana.
Langkah diambil untuk mendekat ke arah perempuan itu. Meraih tubuh terombang-ambing di dalam terjangan ombak yang masih mengguyur kemudian memopoh tubuh tersebut untuk berjalan menuju tepi pantai. Langkah yang diambil bersamaan dengan lenyapnya ombak besar dan mengembalikan ketenangan pada lautan.
Sonneillon segera mejatuhkan tubuh itu ke atas pasir; sedikit membanting. Sementara tubuh perempuan itu masih sangat bergetar dan berusaha mengontrol napas dan dirinya. Sejurus kemudian ketika ketenangan sudah mengisi, perempuan itu kembali menapuh pandangan yang diliput amarah yang dalam.
"Aku hampir mati," lirih Jina memulai. "Aku sudah hampir mati. Kenapa kau menyelamatkanku?" lanjutnya bertanya dalam sudut mata yang begitu murkah menatap ke arah Sonneillon.
"KENAPA??" bentak Jina melanjutkan. Satu tetes air matanya jatuh begitu saja bersama dengan bentakan yang sangat keras yang sanggup dikeluarkan olehnya.
"KAU TIDAK AKAN MATI!" balas Sonneillon, turut membalas dalam bentakan yang lebih tegas. Tatapan matanya pun masih menyapu amarah yang sangat lekat. Sonneillon kemudian berguman sangat lirih, "Belum. Belum saatnya kau mati."
Alunan napas panjang terdengar dihembuskan oleh Sonnillon. Meluruhkan sedikit suara beserta matanya untuk lebih merendah.
"Dunia ini tidak akan membiarkanmu mati begitu saja," ucap Sonneillon lagi.
Jina terdiam. Mata yang semula membait amarah seketika berubah perlahan dalam remangan titik senduh yang nyata, menahan air matanya.
"Kenapa? Kenapa dunia ini tidak membiarkanku mati?"
"Karena kau terlalu istimewa jadi kau tidak akan mati dengan mudah," jawab Sonneillon.
"Apa yang istimewa dari jalang sepertiku? Aku tidak pernah bahagia. Semua orang yang kumiliki selalu meninggalkanku. Mana yang menjadikanku seorang yang istimewa?" ucap Jina.
"Bercerminlah! Kau akan melihat sendiri betapa istimewanya dirimu di sana," balas Sonneillon dengan meluap. "Meskipun orang lain tidak akan menganggapmu begitu, kau bisa menganggap dirimu sendiri dengan begitu istimewa dengan begitu kau akan bertahan hidup."
Sonneillon tidak tahu apa yang sedang dia lakukan saat ini. Mengapa ia malah menyibukkan dirinya memberi alasan untuk seorang manusia mau mempertahankan hidupnya. Padahal bagi bangsa iblis, rasa frustasi dan keinginan untuk bunuh diri yang dimiliki manusia adalah sebuah bentuk kesenangan bagi mereka.
Bahkan ketika dia melakukan semua ini hanya demi melindungi sebuah harapan yang dimiliki bangsa iblis dari hadirnya perempuan itu, dia pasti hanya akan melempar tubuh perempuan itu untuk kembali ke dalam rumahnya tanpa perlu memberinya pelajaran seperti ini.
"Aku yakin kau tidak pernah melihat dirimu sendiri di depan cermin," lanjut Sonneillon saat Jina hanya berdiam dalam lamunan kosong.
Masih tidak ada sahutan dari perempuan itu. Jina hanya berdiam dalam remangan kosong yang menghardik dirinya ke dalam bentuk kekosongan yang nyata.
"Tuhan-mu ada di atas sana," tambah Sonneillon. Jari telunjuknya bergerak menunjuk ke arah langit. "Jika kau ingin mati, carilah cara supaya kau bisa naik dan bertemu surgamu di atas. Bukan malah menenggelamkan diri dan tanpa pernah kembali ke tempat asalmu."
Itu kalimat terakhir yang dikatakan oleh Sonneillon sebelum berbalik meninggalkan perempuan itu. Tetapi baru tiga langkah diambil, pria itu kembali berputar dan menatap ke arah punggung perempuan itu.
"Jika kau ingin mati, matilah pada takdirmu dan pergilah bersama jiwamu saja," ucap Sonneillon dengan ledakan amarah yang tampak ditahan dengan kuat. "Karena tubuhmu itu, karena semua yang ada pada tubuhmu itu... bukanlah milikmu."
"Apakah kau dewa?" pertanyaan lirih Jina masih terdengar jelas pada telinga Sonneillon. Membuat sang Sonneillon harus menghentikan langkahnya sekali lagi.
Jina menjeda beberapa saat menunggu jawaban dari pria yang masih diam di tempat. Kemudian dengan langkah yang tak bernyawa perempuan itu berjalan menuju depan tubuh pria itu.
"Apakah kau dewa?" tanya Jina sekali lagi, dengan kalimat yang sama. "Kau dewa yang menjelma menjadi manusia, 'kan? karena itu kau menolongku."
"Bukan," singkat Sonneillon menjawab, kemudian berlalu pergi begitu saja dari hadapan Jina.
"Lalu kau itu apa? Kau jelas bukan manusia!" lanjut Jina dengan suara yang sedikit meninggi menahan tubuh pria itu untuk berlalu pergi.
Sonneillon menghentikan langkahnya sekali lagi, kemudian berdiam sejenak untuk mengendalikan diri. Pria itu kemudian berputar kembali menghadap ke arah Jina yang juga perlahan memutar tubuhnya.
Pandangan mereka sekali lagi lekat dalam sebuah garis yang lurus.
"Aku yang akan menghancurkan semua duniamu," aku Sonneillon.
"Jadi badai dan angin tadi adalah ciptaanmu?" tanya Jina.
"Bukan aku," jawab Sonneillon dengan singkat.
"Tapi kau yang menghentikannya, 'kan?" tanya Jina menyergah. Seketika Sonneillon tidak sanggup menjawab apapun karena itu memanglah perbuatannya. "Kalau begitu kita bisa berteman."
Kening Sonneillon memincing dalam sudut yang naik begitu mendengar kalimat yang dikatakan oleh Jina. Perempuan itu perlahan berjalan mendekat lagi ke arah Sonneillon kemudian menghardik tatapan yang berbeda dari sebelumnya.
"Aku ingin mati karena itu aku tidak bisa berteman dengan seorang dewa. Karena kau bukan dewa jadi ayo berteman dan hancurkan dunia ini bersama."
Tapi mendadak kebingungan yang memenuhi wajah pria itu digantikan dalam kilatan amarah yang datang kembali bak angin. Menyusup pada setiap relung dan menguasai batas kuasa atas diri sendiri.
"Kau masih ingin mati rupanya?!" ucap Sonneillon memincing tajam.
Jina mengangguk. "Aku tidak sanggup untuk hidup lagi."
"Kau tidak akan bisa mati dengan mudah. Itulah takdirmu!" tandas Sonneillon dengan dingin dan tajam.
"Pasti ada jalan untukku mati dengan cepat, 'kan?" tanya Jina lagi, penuh pengharapan.
"Jatuh cintalah padaku, maka kau akan cepat mendapatkan kematianmu."
***