"Apa kau sedang bercanda?" tanya Jina dalam batasan kebingungannya.
"Tidak. Itu adalah kebenaran," jawab Sonneillon dengan serius. "Jika kau jatuh cinta kepadaku, akan kupastikan kau menemukan kematianmu."
"Bagaimana bisa?" balas Jina masih tidak memahami.
"Menurutmu," Sonneillon menjeda sejenak. Berjalan satu langkah menuju ke depan perempuan itu. "Apakah arti kematian yang sesungguhnya?" tanya Sonneillon dalam balutan suara bariton yang begitu dalam.
"Tentu saja hilang dari dunia ini."
"Itu benar," jawab Sonneillon. Tangan pria itu bergerak menyentuh anak rambut Jina yang berterbangan sebab angin yang masih terasa lalu menyelipkannya ke balik telinga. "Tapi kematian yang sesungguhnya bukan hanyalah tentang dia yang akan menghilang dari dunia ini."
"Lalu apa?" balas Jina dengan sangat penasaran. Pandangannya yang tersihir oleh mata pria itu tampak meluruh dalam titik yang rendah.
"Kematian yang sesungguhnya bermakna kau akan merasa sangat bahagia sampai tidak ingin kehilangan waktumu di dunia ini bahkan untuk satu detik pun," jawab Sonneillon, belum menjatuhkan tangannya dari rambut perempuan itu.
"Jika kau jatuh cinta padaku, aku akan membuatmu merasakan kebahagiaan yang tidak terkendali. Aku akan membuatmu seperti berada di surga. Dan kau akan mati dalam keadaan sebagai orang paling bahagia dan spesial," lanjut Sonneillon.
Kaki perempuan itu bergerak maju kemudian menjinjit. Menjatuhkan satu kecupan singkat pada bibir pucat pria itu tanpa peringatan. Tangannya menyentuh kedua sisi lengan pria itu untuk menahan beban tubuh.
Tubuh Sonneillon sontak dibuat membeku dalam sentakan remang dari batas yang tidak terlihat begitu bibirnya merasakan sebuah sentuhan benda kenyal dari hal yang sejak tadi mencuri perhatiannya.
"Apakah itu cara untuk jatuh cinta, Tuan Hew?" tanya Jina begitu melepas kecupan dan tangannya dari tubuh pria itu.
Mata Sonneillon yang sempat terkejut kembali menemukan titik yang jelas. Kembali menatap penuh hujaman tajam yang menyorot lekat pada perempuan yang dianggapnya bodoh di depannya.
"Apakah itu ciuman pertamamu?" tanya Sonneillon, mengambil satu langkah mendekat lagi ke arah Jina.
"Terlepas dari adegan drama dan film, itu memang ciuman pertamaku."
"Kalau begitu kau dalam bahaya."
Belum sempat ketidakmengertian Jina berkembang, perempuan itu dilanda keterkejutan yang melumpuhkan seluruh akalnya begitu tubuhnya ditarik oleh pria itu untuk dibawa mendekat ke arahnya. Tubrukan antara kedua dada yang tidak keras dirasakan dalam kekenyalan yang meluruh.
Dengan sangat amat buas, Sonneillon mencium Jina tanpa memberi jeda waktu untuk hunian napas. Melumat bibir membiru akibat udara dingin milik Jina. Menghisapnya dengan sangat kuat. Lidahnya dengan cepat mendobrak masuk ke dalam mulut. Tanpa membiarkan Jina menikmati tempo.
Pakaian tipis dan basah itu membuat dalaman Jina terpampang jelas. Rambut panjanganya yang basah serta mata murni yang berulang kali berkedip tanpa jeda membuat Sonneillon semakin kehilangan akal. Dia terus menekan tubuh Jina untuk menempel sepenuhnya kepadanya.
"Kau sangat ingin menciumku, ya?" tanya Jina dalam rancauan kenikmatan begitu Sonneillon menjatuhkan ciumannya pada lehernya.
Padahal tidak ada balasan lumatan atau desahan yang keluar dari Jina begitu pria itu berusaha menyentuh semua bagian wajahnya. Tapi hanya dengan bibir perempan itu mampu membuat Sonneillon berada di dalam kegilaan.
"Jika kau menciumku senafsu ini, aku tidak akan bisa jatuh cinta padam."
***
"Jadi kau kemari untuk melihat badai dan tsunami?" tanya Jina kepada Sonneillon di sampingnya.
Kedua insan itu tengah duduk bersanding di depan sebuah kaca jendela di dalam villa milik Jina yang menampilkan rintik gerimis di atas pantai pada malam yang semakin dingin. Gelas kopi hangat tampak mengisi ruang kosong pada tangan masing-masing.
"Bukan melihat seperti dalam pikiranmu tapi."
"Mengawasi?"
"Tidak juga. Semacam melihat untuk mencari hiburan saja," jawab Sonneillon.
Jina memungkasi pandangannya dengan mengalihkannya dengan mata yang kembali menatap ke depan. "Kau memang bukan dewa," lanjut Jina sebelum menyeduh kopi hangat dari gelas di tangannya.
"Kenapa kau terus membahas dewa?" Wajah Sonneillon berputar menatap ke arah perempuan dalam balutan selimut tebal di sampingnya.
"Aku ingin membalas dendam kepada mereka," jawab Jina.
"Membalas dendam?" tanya Sonneillon kebingungan.
Sonneillon sejenak berpikir. Seingatnya Dimitri sempat berkata jika Najina ini adalah orang yang sangat agamis. Menyempatkan diri untuk selalu datang beribadah setiap minggu bahkan ketika sela jadwalnya begitu padat.
"Sejak ditinggal ayahku saat berusia sepuluh tahun aku selalu beribadah tepat waktu setiap minggunya. Berharap bahwa Tuhan akan mengangkat semua bebanku sehingga aku bisa hidup bahagia. Tapi sampai sekarang Tuhan tidak pernah melakukannya." Wajah yang menghadap ke luar itu terlihat jelas tengah menyorot diri jatuh ke dalam kesedihan hidupnya.
"Ayahmu meninggalkanmu? Mengapa?"
"Ibuku meninggal ketika berusaha menggugurkanku. Bodohnya dia ingin menggugurkanku ketika aku sudah berusia delapan bulan di kandungannya. Ayah lalu membawanya ke rumah sakit dan lahirlah aku. Tapi sayangnya ibuku meninggal karena terlalu banyak mengkonsumi obat penggugur," jawab Jina dengan gamblang.
"Kenapa ibumu ingin menggugurkan kandungan delapan bulannya?" tanya Sonneillon merasa kebingungan.
"Orang-orang pintar di desa ibuku berkata jika aku adalah bayi yang dikutuk oleh iblis," jawab Jina. Perempuan itu kemudian menyadari sesuatu. Dengan cepat menoleh ke arah Sonneillon. "Apa kau iblis?"
Belum ada jeda untuk Sonneillon menjawab, Jina kembali bersuara dalam kesimpulan yang diterka sendiri. "Tapi itu tidak mungkin. Iblis di komik selalu jelek sementara kau terlalu tampan."
"Wajahku memang terlalu tampan untuk ukuran hal apapun di bumi ini," jawab Sonneillon dengan penuh kebanggaan diri.
Jina berdecih. Melirik kembali dalam sejenak ke arah pria itu. "Kau harus bangga karena aku jarang memuji visual seseorang."
"Ngomong-ngomong mengapa kau disebut telah dikutuk oleh bangsa iblis?" tanya Sonneillon kemudian dengan luapan penuh rasa penasaran yang membengkak.
Jina kembali menoleh ke arah Sonneillon yang belum henti menyudahi pandangannya dari Jina. Matanya memincing menapuh rasa curiga kepada pria itu. "Bukankah biasanya untuk mahluk berjenis astral sepertimu akan mudah membaca kehidupan lampau manusia biasa sepertiku, ya?"
"Itu benar," jawab Sonneillon. "Tapi kau bukan manusia biasa jadi tidak akan ada yang bisa membacamu."
Itu adalah fakta yang nyata. Sejak hari pertama menjumpai Jina malam itu, tidak ada siapapun yang mampu membaca pikiran dan kisah masa lalu perempuan itu. Padahal melakukan hal seperti itu adalah hal yang mudah dilakukan. Namun tentang Jina, semuanya hanyalah rangkaian putih yang tidak terisi apapun.
Jina disentak dalam keterkejutan sesaat. Kemudian dorongan atas rasa tidak percayanya tentang apa yang diucapkan oleh pria itu mampu mengisi seluruh pikirannya.
"Omong kosong!" pekik Jina dalam ketidakpercayaan.
"Ya sudah jika tidak percaya," balas Sonneillon yang kembali menyesap kopi hangat pada tangannya.
Jina masih mengamati setiap hentakan pergerakan dari sosok di sampingnya. Bagi Jina, Hew memang terlalu sempurna untuk dipandang. Wajahnya sama sekali tidak memiliki cacat dan kekurangan. Pria itu adalah tipikal sosok yang hanya sekadar dilihat akan menimbulkan efek menggila bagi siapapun.
Apalagi ketika dengan perlahan bak diberi efek slow motion jakung pria itu bergerak menelan kopi hangat, seperti menciptakan deretan kegilaan yang lebih luas untuk fantasi para wanita.
"Mahkluk sepertimu juga bisa minum kopi seperti ini?!" ucap Jina, mengalihkan pandangan beserta pikirannya.
"Karena kami sudah biasa hidup di bumi ini," jawab Sonneillon sekadarnya.
"Mengenai perkataanmu tadi, apa maksudnya jika tubuhku bukanlah milikku?" tanya Jina dengan ragu-ragu.
Sonneillon terdiam sejenak. Menegakkan punggungnya dengan menjadikan kedua tangannya sebagai tumpuhan atas beban tubuhnya. Posisinya yang sedikit berada di belakang tubuh Jina perlahan mengangkat satu tangannya untuk menyentuh ke arah lengan kanan perempuan itu yang masih terbungkus oleh selimut.
"Tubuhmu adalah milikku," kata Sonneillon sembari menjalarkan tangannya menyeluruh ke atas bawah tangan Jina.
"Kau seorang perempuan dulunya?" tanya Jina dengan begitu polos.
Perempuan itu tiba-tiba dilanda rasa yang tidak terkendali. Ketika tangan dingin pria itu jatuh ke atas kulitnya dibawa lepas pada titik yang menggelikan. Menjalar ke atas pada leher mengusap dengan penuh gerakan yang terasa sangat asing baginya.
"Aku akan memiliki tubuh ini," kata Sonneillon dengan suara yang semakin terdengar dalam. Fokus mata yang sejak tadi digoyahkan oleh bibir berwarna merah muda menatap lebih dalam begitu tangannya berhenti pada sudut benda mungil itu. "Sepenuhnya. Seutuhnya."
Jina tersadar dari makna itu. Bahwa pria itu sangat menginginkan dirinya. Sebuah gairah dari seorang pria dewasa yang begitu mendambakan keinginan untuk merasakan malam yang panjang bersama dengan dirinya.
Hal seperti itu bukanlah hal yang baru dirasakan oleh Jina. Setiap kali ada pria yang mendekatinya semuanya akan berujung pada keinginan untuk disenangkan oleh tubuhnya. Bahkan semuanya secara terang rela membayar berapapun agar bisa bermalam dengannya.
Jina selalu menolak dan tidak pernah menganggap hal seperti itu dalam keseriusan. Padahal dia juga begitu ingin merasakan bagaimana rasakan bercinta.
Entah karena sihir yang dibawa melalui wajah dan mata itu atau karena momen yang sangat mendukung keduanya. Yang jelas malam ini, bersama dengan pria yang entah berasal dari mana, Jina ingin mencobanya. Mencoba sesuatu yang selalu ia ingin rasakan.
Dengan cepat Jina berpindah tempat. Dari yang hanya duduk di samping pria itu kini berada tepat di atas tubuh pria itu. Duduk di atas paha, mengalungkan lengan pada leher kemudian meraup bibir yang beberapa waktu lalu membuatnya merasa kepayang karena sentuhan kenyal.
Ketegangan tampak mengisi pria itu. Dalam balutan rasa terkejut yang dalam pria itu sejenak membeku sebab ciuman yang dijatuhkan Jina. Bahkan ketika Jina mengakhiri sepihak untuk menatap mata Sonneillon bersama dengan tangan lembutnya yang menggusar di sepanjang rahang dan leher, dia masih membeku.
"Aku memperingatimu! Kau dalam bahaya, Nona!" ucap Sonneillon kepada Jina, dalam konteks mata yang begitu dalam dan erat.
"Saat aku berusia dua puluh lima, aku ingin merasakan bagaimana rasanya bercinta," cerita Jina dengan tangan yang masih menapuk getaran pada tubuh sang pria. "Tapi aku tidak pernah punya kekasih ataupun teman pria selain Shan. Dengan gila aku memintanya melakukan hal itu denganku padahal aku tahu bagaimana besar kebenciannya kepadaku."
"Satu pelajaran baru untukmu, kau tidak bisa membicarakan pria lain di depan pria yang ingin kau ajak bercinta seperti ini." Tangan Sonneillon bergerak ke atas, menarik selimut yang membungkus tubuh Jina.
"Apakah itu disebut pengalaman jika aku ditolak olehnya?"
"Tetap saja kau membicarakan pria lain di depanku."
Mulut Sonneillon terbuka, menahan gairah. Matanya masih mengunci pada bibir berkilauan perempuan itu dalam lekat. Pria itu kemudian menarik lengan dari sweeter yang dikenakan oleh Jina membuat kulit putih berkilat pada bahunya terpampang nyata.
"Kau tahu apa yang disukai wanita?" tanya Jina, menahan diri sebab rasa menggelitik pada tubuhnya.
"Apa?" tanya Sonneillon singkat.
Tangan Sonneillon masih meremas bahu telanjang itu dengan satu tangan sementara satu tangan lain berada di punggung bawah menahan tubuh Jina untuk tetap dekat dan merasakan miliknya. Mata dan mulutnya pun masih melakukan hal yang sama.
"Didengarkan." jawab Jina penuh penekanan.
"Baiklah. Lanjutkan ceritamu!" pinta Sonneillon.
"Jadi aku pergi ke bar sendiri setelah ditolak oleh Shan. Aku sangat mabuk malam itu jadi tidak mengingat apapun," lanjut Jina bercerita. "Aku berkata siapapun yang mengambil selaput darahku, dia hanyalah orang yang beruntung."
Sonneillon menjatuhkan satu kecupan basah pada bibir perempuan itu. Menjulurkan lidahnya untuk membasahi bibir Jina kemudian disambut oleh lidah perempuan itu yang melakukan hal yang sama. Saliva mereka saling bertautan. Bersama dengan gairah yang sama-sama menyentuh batas tertinggi.
"Tapi ternyata selama aku mabuk, aku menelepon Chatrin dan meminta dijemput."
"Najina yang mabuk, pasti semakin seksi," jawab Sonneillon.
Tangan Sonneillon bergerak kembali. Mengangkat sweeter marun yang dikenakan oleh Jina dan menyisakan bra hitam yang membungkus dua buah mahkota di sana.
Dengan cepat tangan besar Sonneillon bergerak meraba ke sekujur kulit telanjang itu. Mengusapnya dengan gerakan yang membuat Jina menggila dalam gairah yang memuncak. Hingga kemudian jatuh bersama petikan dari kaitan bra.
Jari Sonneillon menjentik benda mungil berwarna kemerahan yang telah mengeras. Matanya semakin besar dihirup dalam nafsu yang semakin besar. Seketika mulutnya menjatuhkan kuasa untuk melahap dengan padat benda itu sementara satu tangannya mereka dengan sangat kuat pada benda satu lainnya.
Jina menggila. Begitupun juga Sonneillon. Dua insan itu tengah berpacu dalam gairah nafsu yang sangat kuat. Merangahkan dada dan kepalanya ke belakang menahan rasa sakit penuh nikmat pada kedua benda di dadanya sebab mulut dan tangan pria itu.
Mata Jina berusaha menatap lekat ke arah wajah pria itu bersama dengan rasa luar biasa yang dirasakan olehnya. Perempuan itu menyeringai menatap bagaimana pria itu jatuh ke dalam kenikmatan tubuh miliknya.
"Apakah kau sangat menyukainya?" tanya Jina terbata sebab sentakan yang terus dirasakan pada dada dan pahanya.
"Apakah itu perlu dijawab?" balas Sonneillon, dengan mulut yang masih menggigit benda mungil kemerahan itu.
"Tidak. Aku tahu kau sangat menyukainya," jawab Jina kembali tersenyum penuh rasa bangga yang tidak dimengerti.
"Seseorang dalam mimpiku berkata bahwa kau aman mengorbankan semua yang kau miliki demi melindungiku," lanjut Jina. Perempuan itu kembali menyeringai. "Bagaimana menurutmu, Tuan Sonneillon?"
***